ELLS terbangun dengan sendirinya. Geliatnya terlihat bertenaga. Tidur yang cukup yang membuatnya terbangun ketika tubuhnya merasa cukup. Masih dengan mata setengah terpejam, dia berusaha duduk dan kembali menggeliat. Dia masih belum sadar di mana dia berada. Duduk diam di tempatnya, Airlangga memperhatikan gerakan-gerakan Ells. Dan Airlangga yang diam menjadi pemandangan pertama yang Ells lihat ketika matanya utuh terbuka. Tubuhnya sedikit tersentak, tapi dia segera sadar diri. Ini bukan di rumah pohon yang kecil itu. Goa ini lebih besar sehingga mereka bisa lebih berjarak. “Hai,” sapa Ells sambil tersenyum dan menggerak-gerakkan leher yang terasa kaku. “Aku tidur nyenyak sekali. Tak mendengar dan merasai apa pun.” Nadanya terdengar menyesal. “Apa kau juga tidur?” Airlangga menggeleng. “Tidak. Jangan khawatir, aku tetap berjaga selama kau tidur.” Berdecak, Ells merapikan kainnya. “Bukan itu maksudku.” Gerakannya merapikan kain membuat desir lain hadir di hat
Hening. Mereka lebih banyak diam. Ubi jalar dan talas sudah habis menjadi makan malam mereka. Angin yang berembus bersiap mengantarkan hujan. Airlangga berjalan tertatih ke luar goa, berusaha mengumpulkan kayu bakar lebih banyak. Ells mengikut saja. Dia ikut mencari dan memilih ranting yang cukup kering. Mereka tidak bisa terlalu jauh. Terlalu gelap dan Airlangga pun tak kuat berjalan jauh. Setelah tidak ada lagi yang bisa mereka kumpulkan, mereka kembali ke goa. Dan kembali diam tanpa kata. Hanya duduk memperhatikan api yang menari yang menjadi pemisah mereka. Tak ada lagi yang bisa mereka kerjakan. Tak lagi membakar makanan, api itu benar-benar hanya membakar kayu saja. Kecanggungan menjadi dinding pemisah di antara mereka. Ini lebih aneh daripada ketika mereka belum saling mengenal. Ketika hanya kebencian dan amarah yang memenuhi rongga dada mereka. Keduanya merasa canggung berdua seperti ini. Saat ini, saat kebencian itu mencair, kedekatan dari rasa ingi
SINAR terang matahari yang menembus jauh masuk ke dalam gua membangunkan Airlangga. Dia terbangun dengan sesosok makhluk hangat yang memeluknya erat. Tangannya pun merangkul sosok itu. Terasa hangat, damai, dan menyenangkan. Dunia menjadi tempat yang sangat tenang. Tubuhnya sedikit tersentak dengan debar jantung yang mendadak menguat ketika teringat bersama siapa mereka berbagi ruang kecil ini. Tak perlu matanya menyusuri goa kecil ini, sekali pandang, langsung terlihat bahwa sisa mereka berdua menjadi penghuni goa. Harimau itu telah pergi. Entah kapan, yang pasti dia sudah tidak ada dan mereka masih hidup. Dia mengembuskan napas lega. Semua baik-baik saja. Dia tidak menyangka bisa berakhir sebaik ini. Meski dia merutuki diriinya sendiri yang tertidur di saat seharusnya berjaga siaga satu. Namun sedikit pemakluman dia berikan untuk dirinya sendiri. Dia masih belum pulih, butuh banyak istirahat, dan terutama, tubuh nyaman yang memeluknya membuatnya terlena. Meski
PERJALANAN pulang yang sungguh berbeda. Tak ada lagi teriakan marah dan suara datar membentak bersahutan dengan gerutu dan isak. Tidak ada lagi kaki tersaruk mengikuti langkah cepat sambil bibir memaki dan hati mendongkol. Tidak ada lagi tatapan mencemooh. Tidak ada tepisan kasar. Semua berubah. Mereka berjalan bersama, berpelukan saling menjaga dan menguatkan. Airlangga berjalan perlahan lebih untuk mengimbangi langkah Daniella, bukan karena lemahnya. Ells berkali-kali menanyakan kesehatan Airlangga. Jemari mereka tak pernah lepas, bertemu menjadi sanggurdi. Sekarang hanya ada bibir-bibir yang selalu tersenyum, mata-mata yang selalu ingin saling memandang, suara-suara lembut menenangkan atau suara bernada khawatir. “Kau tahu, Angga, aku sangat lega melihatmu kemarin.” “Yang mana?” “Ketika aku tersesat. Aku begitu asyik bermain dengan kelinci sampai tak sadar aku sudah terlalu jauh dari mata air. Lalu aku tidak bisa pulang. Aku berteriak memanggilm
DI sebuah rumah megah, Robert berjalan mondar-mandir di kamarnya. Sudah sepekan dan tidak ada temuan berarti bahkan nyaris tidak ada hal baru yang mereka temukan. Bagaimana caranya mereka menyelinap seperti itu? Mereka seperti hilang ditelan bumi. Di mana mereka sekarang? Apa mereka sudah keluar hutan lalu pergi jauh? Jika seperti itu, untuk apa mereka masih mengobrak-abrik hutan. Robert terus bergerak sambil bermonolog. Dia kehabisan akal mencari cara mencari Ells. Ayahnya dan ayah Ells sudah mengirimkan pesan kawat ke seluruh negeri. Laporan sudah masuk ke pusat. Petugas terus bekerja. Mereka pun terus mencari. Apalagi yang bisa dia lakukan? Sepekan berlalu, tak ada tuntutan apa pun yang datang. Sepekan berlalu, dia meragu Ells bisa ditemukan dalam keadaan hidup. Cemas? Kesal? Mengentak kasar dan menendang angin, Robert berjalan ke luar kamar membanting pintu keras membuat beberapa pelayan terkejut. Tak tahu apa yang bisa dia lakukan, dia mengamb
ELLS terbangun mendapati Airlangga sibuk dengan belatinya. Mendengar gerakan Ells, Airlangga menoleh. “Hai …” “Hai … kau tidak tidur?” Ells duduk sambil menggeliat, kainnya benar-benar melorot. Hanya tertahan puncak dadanya saja. Ugh … belahan itu …. Airlangga kembali menunduk, pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Dia bahkan nyaris melukai tangannya ketika tangan itu bekerja di luar kendali otak. Ells bergerak ke arah Airlangga, cukup membungkuk dan sampai. Tapi ketika membungkuk, tentu dadanya terpapar lebih … Oh, Daniella … aku sulit bertahan …. “Apa itu?” Ells sudah duduk di sampingnya. Tak bermaksud memperbaiki kainnya, dan aroma tubuhnya menambah siksaan Airlangga. Pemuda itu benar-benar harus fokus dengan pekerjaannya sebelum belati tajam memisahkan jari dan telapak tangan. “Sebut saja sepatu. Untukmu.” Airlangga menyerahkan sebelah sepatu yang sudah jadi. Sebut saja javanese mocassin. Sebuah sepatu dari kulit kelinci. Menyisak
PAGI datang memulai hari. Gelisah tadi malam menepi memberi jalan pada kesibukan melanjutkan hidup. Tubuh-tubuh kurang tidur tetap bergerak bersana napas dan aliran darah. Matahari belum sempurna membulat di ujung timur ketika Udayana sudah berjalan ke ladang. Mengabaikan lemah bergumul dengan hati, dia berusaha mengumpulkan semangat demi sesuap nasi. Sampai di ladang, tak dia sisakan waktu untuk melamun. Pekerjaan berbaris menanti menunggu tenaganya bergerak. Sepagi itu, tubuh liatnya sudah berpeluh di bawah matahari pagi. Ada yang harus dia kerjakan lepas mengurus ladang. *** Di pagi yang sama, dalam keadaan yang berbeda langit dan bumi, Robert menggeliat malas. Tidur tak lelapnya terganggu gelisah. Terlalu pagi untuk ukurannya. Bahkan ini bisa disebut masih malam jika malam dia habiskan dengan berpesta. Masih bermalas-malasan, dia termangu bersandar di kepala ranjang. Gelisahnya tadi malam membawa hal lain yang ingin segera dia selesaikan. Namun malas mas
DI tengah desa, desa yang lain, Rindang makin gelisah. Sudah beberapa hari dia di sana, tapi lebih sering menyendiri. Ini rumah pamannya, kakak ibunya. Lepas membantu pekerjaan Bibi, dia mencari-cari kesibukan di halaman rumah. Semalam tidurnya tak lelap, kepalanya sedikit pening. Di halaman, dia memilih sudut yang dilindungi tajuk pohon berkayu. Di sudut itu dia melamun sambil membersihkan rumput liar dan merapikan perdu. “Rindang, apa yang kau lakukan di sana, Nak?” Suara bibinya mengganggu lamunannya. “Tidak ada, Bi.” Dia segera berdiri. “Bisa kau mengantar makan siang pamanmu?” “Tentu.” Meski tubuhnya sedikit limbung, langkahnya ringan dengan senyum berjalan ke dalam rumah. Bibinya tersenyum. Sangat senang dengan kehadiran Rindang di rumahnya. “Makanlah dulu sebelum pergi. Bibi lihat kau agak pucat, Nak.” “Baik, Bi.” Tak lama dia sudah berjalan sambil tangannya memeluk wadah makan siang pamannya. Siang yang terik terabaikan untuk mengalihk
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t