DI tengah desa, desa yang lain, Rindang makin gelisah. Sudah beberapa hari dia di sana, tapi lebih sering menyendiri. Ini rumah pamannya, kakak ibunya. Lepas membantu pekerjaan Bibi, dia mencari-cari kesibukan di halaman rumah. Semalam tidurnya tak lelap, kepalanya sedikit pening. Di halaman, dia memilih sudut yang dilindungi tajuk pohon berkayu. Di sudut itu dia melamun sambil membersihkan rumput liar dan merapikan perdu. “Rindang, apa yang kau lakukan di sana, Nak?” Suara bibinya mengganggu lamunannya. “Tidak ada, Bi.” Dia segera berdiri. “Bisa kau mengantar makan siang pamanmu?” “Tentu.” Meski tubuhnya sedikit limbung, langkahnya ringan dengan senyum berjalan ke dalam rumah. Bibinya tersenyum. Sangat senang dengan kehadiran Rindang di rumahnya. “Makanlah dulu sebelum pergi. Bibi lihat kau agak pucat, Nak.” “Baik, Bi.” Tak lama dia sudah berjalan sambil tangannya memeluk wadah makan siang pamannya. Siang yang terik terabaikan untuk mengalihk
“KAU kedinginan, Ells?” Tanpa menunggu jawaban, Airlangga menyambar kain yang ada lalu menyelubungi tubuh Ells. Ells memang menggigil, tapi bukan kedinginan. Tubuhnya meremang oleh sentuhan jemari Airlangga. Dan kabut di mata itu mengganggunya sangat. Ells tak tahan dengan keberadaan dinding itu. Bergerak, duduk di pangkuan Airlangga, dia merobek dinding itu. “Ada apa, Angga?” tangannya menangkup wajah mendung Airlangga. “Ada apa?” Sesak. Ells semakin serius menatap Airlangga. Isi kepalanya berputar mencari jawaban, berusaha menebak beban kabut di mata Airlangga. Sangat tidak menyangka pagi pertama setelah bersatu harus menghadapi lelaki berwajah sendu. Airlangga hanya mampu menghela napas. Melonggarkan ikatan yang menyesakkan rongga dada. Berusaha mengosongkan beban. Tapi tak bisa. Dadanya masih terasa penuh. Masih terasa membebat menyesakkan. Ternyata, pernyataan cinta itu membuat dadanya terasa sesak, tidak hanya oleh cinta, tapi juga oleh rasa yang
SESOSOK tubuh tiba-tiba muncul dari arah hutan dan menabraknya. Sigap, dia menangkap tubuh itu. “Rindang!” “Kakanda?” Dua suara terkejut saling menimpali menyebut nama. “Apa yang kau lakukan di sini, Rindang?” tanya Udayana cepat ketika dia sudah pulih dari keterkejutannya. “Ini sangat jauh dari desa.” “Tapi ini hutan terdekat dari desa pamanku,” sergah Rindang cepat. “Ah, iya. Kau benar.” Udayana menarik napas lega. “Lalu apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya lagi berkembali ke tajuk utama. “Aku mencari tanaman obat untuk Paman. Kaki dan tangannya terluka ketika mengurus ladang dan dia mengabaikannya begitu saja.” “Lalu mana tanaman yang kau dapat? Kau tadi dari arah hutan, artinya kau sudah mencari bukan baru akan mencari.” Pertanyaan penuh selidik dari Udayana menyentak Rindang. Rindang kembali panik, tangannya spontan memegang dadanya, menepuk-nepuk di sana untuk meredakan detak yang tadi sempat menggila. Dia terus begitu sambi
AIRLANGGA masih meragu dalam diamnua. Ells menyadari itu. “Angga, apa yang harus aku lakukan agar kau yakin? Kalau tubuhku pun tidak bisa membuatmu yakin, aku tak ada ide lain.” Dia mendesah lelah. “Aku sudah melamarmu. Tapi kau tidak mau. Aku harus bagaimana lagi?” “Kau memang mau menikah denganku, tapi bagaimana caranya kita menikah?” “Maksudmu?” “Menikah ada tata caranya, Ells. Ada yang menikahkan kita. Jika berdua saja itu bukan menikah. Kawin.” “Oh.” Ells tertawa kecil. “Itu yang membuatmu masih meragu?” “Aku tidak ragu. Aku hanya mencari jalan. Siapa yang bisa menikahkan kita tanpa orang lain tahu. Kita tetap harus bersembunyi, Ells.” Ells ikut memeras otak mencari jalan. Airlangga berpikir, cukup lama untuk Ells menunggu. Lalu— “Ayo, Ells.” Tiba-tiba Airlangga melepaskan pelukan eratnya dan langsung berdiri. “Ke mana?” Tapi Ells tetap berdiri. “Katamu kau akan ikut ke mana pun aku pergi.” Dia memakai kainnya dan memb
LEPAS bertemu tim pencari, Udayana bergegas menjumpai Paman Tirta. Lelaki paruh baya itu baru saja sampai dari ladang. Dia sedang sedikit membersihkan diri dan cangkul di sumur. Melihat Udayana datang masih dengan tubuh berkilau keringat, Tirta langsung waspada. Berita apakah gerangan yang pemuda ini bawa? Dia mempercepat gerakannya sambil mata dan lehernya bergerak acak seakan mencari orang yang bersembunyi. “Ada kabar apa?” tanyanya segera sambil mengeringkan tangan dan duduk di balai-balai di depan rumah. “Mereka mulai mencari di sisi hutan yang benar.” Udayana berbisik. Seperti Tirta, dia pun tidak mau ada telinga lain yang mencuri dengar percakapannya. “Ya, Tuhan…. Lindungi anakku.” Spontan Tirta berdoa. “Apa yang bisa kita lakukan?” “Aku tidak tahu, Paman.” Lelaki muda berkata pada yang tua. “Untuk itulah aku ke sini. Meminta petunjuk pada Paman.” “Pikiranku pun buntu, Nak.” Tirta memijit pangkal hidungnya. “Menurutmu, apa yang kira-kira membuat m
BERBARING di kasur, mereka terengah setelah sebuah percintaan maraton. “Aku suka di rumah ini, Angga. Ada kasurnya. Rumah pohon yang kedua hanya kulit saja. Rumah pohon yang pertama malah tidak ada apa pun.” Terbahak, Airlangga menjawab. “Untuk apa kasur jika kau tidur di atasku seperti ini.” Ells memang masih berada di atas tubuh telentang Airlangga, asyik bermain dengan dada keras Airlangga. Jawaban yang dibalas dengan cubitan, yang dibalas lagi dengan kekehan. “Tanganmu nakal, Sayang. Tangan nakal harus dihukum.” “Apa hukuman untuk tangan nakal?” Tangan Ells bergerak makin jauh dan makin menggoda, membuat Airlangga mendesah gelisah. “Nanti kupikirkan.” Dia tidak bisa berpikir di saat bibir Ells ikut bergabung bersama jemari nakalnya. “Seandainya kau tidak membuatkanku sepatu, aku akan memaksamu untuk mengambil sepatuku,” ujar Ells sambil terus menggoda Airlangga. “Ambil saja. Rumah pohon itu di barat sana. Dekat dari sini.” Airlangga s
FAJAR belum sempurna menjadi pagi ketika Udayana bergegas ke hutan. Ia bahkan membawa obor untuk membantunya melihat kondisi. Hatinya berdetak ketika mengetahui rute para pencari ternyata mengikuti rute Airlangga mengelabui mereka. Dengan jantung berdebar keras, dia bersandar di batang pohon meredakan rasa panik dan khawatir. Haruskah dia menemui Airlangga secepatnya? Dan kapan itu secepatnya? Sekarang? Bagaimana caranya mengirim berita pada Airlangga? Dia terus memaki dalam hati atas kelihaian tim pencari. Dengan bibir bersungut-sungut sambil memaki, dia terus berpikir mencari lokasi di mana bisa dia memulai membuat jejak palsu ke luar hutan. Dari sisi sini? Terlalu mencurigakan. Mereka akan berpikir, si penculik pasti membaca jejak tim pencari, sangat aneh jika si penculik tetap pergi dari sisi sini. Dari sisi lain? Apa mereka akan menemukan jejak palsu itu? Bagaimana cara mengarahkan mereka ke sana? Satu per satu lapisan pengecoh jejak berhasil mere
MALAM itu mereka menikmati makan malam ransum yang Arilangga siapkan sebagai cadangan. Waktu sore hari yang biasa dia sisihkan untuk mencari makan habis terpakai kegilaan mereka bergumul berdua. Makanan itu dia siapkan untuk kondisi darurat yang genting. Jika dia terjebak tak bisa berburu. Dia tidak menyangka, makanan yang dia siapkan itu terpakai karena alasan seabsurd itu. “Kenapa kau tersenyum-senyum seperti itu, Angga?” “Tidak. Aku suka melihat kau makan lahap.” Dia berusaha mengelak. “Aku pun heran. Sejak di hutan makanku banyak dan lahap.” “Mungkin karena di sini kau selalu aktif bergerak. Berbanding terbalik jika kau di rumah. Apa yang kau kerjakan di rumah?” Ells terkekeh. “Tidak ada.” “Apa kau tidak bosan hidup seperti itu?” Airlangga bertanya serius. “Rumah sebesar itu, penghuninya hanya kalian berdua. Untung ada pelayan-pelayan itu. Jika tidak, alangkah sepinya. Dan kau pun tidak akan bisa mengurus rumah itu.” “Aku sering berpesta.
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru
DUA pasang berjalan bergandengan berpelukan ke arah balai-balai dipimpin Tirta di depan lalu semuanya duduk kecuali Rindang yang langsung ke dapur mengambil minuman. “Apa yang sebenarnya terjadi, Angga?” Udayana tak membuang waktu untuk bertanya. “Berita terakhir yang kami dengar anak gadis Meneer van Loen akan menikah. Tak lama berita lain masuk, petunangan itu dibatalkan. Ada juga berita penculiknya datang menemui Meneer van Loen. Kami sangat cemas dengan berita ini, tapi aku tidak bisa mencari tahu lebih jauh. Sepertinya kabar itu ditutupi.” “Begitulah yang terjadi.” “Yang kami tahu Nona Ells pulang tanpa kau. Kenapa kau bisa ada di rumah itu?” “Aku tidak mungkin membiarkan istriku menikah dengan lelaki lain.” Tegas. “Bagaimana caranya kau bisa tetap hidup keluar dari rumah itu, Nak?” Tirta bertanya cemas. “Paman sudah nyaris mati mendengar selentingan itu. Kenapa kau menyerahkan diri? Kenapa kau tidak pulang saja ke sini? Selama ini kau tidak terlac
TANPA Ken Arok pun tak perlu waktu lama untuk mereka sampai di desa. Ini pengalaman pertama Ells berkuda tanpa pelana pun pengalamannya pertama berkuda berdua sedekat ini. Sangat menyenangkan. Sepanjang jalan dia tertawa-tawa. Airlangga sangat menjaga laju Ken Arok agar tidak menyakiti kandungan Ells. Mereka tidak diburu waktu. Mereka begitu menikmati kebersamaan ini. Pulang. Airlangga begitu merindukan rumah dan keluarganya. Dia ingin berlari, apalagi keberadaan Ken Arok yang gagah bisa membuatnya melesat pulang, tapi ada istri dan anak yang harus dia jaga. Tangannya nyaris tak lepas dari perut Ells. Airlangga semakin memperlambat laju Ken Arok ketika mereka memasuki desa. Dia menghentikan Ken Arok tepat di depan rumahnya—rumah kakeknya, tepat di samping rumah pamannya. Derap tertahan dan ringkikan Ken Arok membuat penghuni rumah—Paman Tirta dan Rindang—bersegera keluar, bersamaan dengan Airlangga yang membantu Ells untuk turun. “ANGGA! ANAKKU…!” teria
MEREKA keluar kamar dan menjumpai hanya dua orang tua di ruang tamu. Sedang duduk melanjutkan nostalgi. Robert? Dia tak sanggup membayangkan apa yang menyebabkan dua orang itu begitu lama di dalam kamar Ells. Kamar mereka. Dia pergi begitu saja setelah berpamit ala kadarnya. Lagi-lagi dia dikalahkan oleh inlanders. Spontan, van Loen tersenyum melihat rona merah di wajah Ells. Anaknya begitu hidup, bergitu bercahaya. Cayaha yang hilang itu telah kembali. Van Loen bersyukur dan menerima takdir mereka. Langit melalui takdirNya memang selalu memberikan yang terbaik. Papa harap, rona merah itu hanya salah satu dari kemampuan dia untuk membahagiakanmu, Ells. Mereka sudah berganti pakaian, hanya mengenakan kain. “Papa, kami pamit.” Ells mencium pipi van Loen. “Om, Ells pergi dulu.” Dia juga mencium pipi der Passe. Airlangga berjabat tangan dan mengangguk hormat seperti kebiasaan mereka meski kali ini dia hanya memakai kain. Bekas luka di tubuh Airlangga t