Adiva diam, kulihat Arya menunduk dan Mas Fahmi pura-pura tidak melihatku. "Ada yang bisa menjelaskan? Sebenarnya ada apa? Kalian mengetahui sesuatu, tapi tidak mau menceritakan pada Ibu?" kataku dengan sangat emosi."Arya, kalau kamu sayang sama Ibu, cepat ceritakan apa yang terjadi." Aku menatap Arya, Arya semakin menunduk."Adiva, apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan, Nak? Apa kamu takut dengan Ayah? Jangan takut, Ibu akan melindungi kalian, walaupun nyawa sebagai taruhannya." Aku mulai menangis."Ibu, maafkan Arya. Bukannya Arya takut pada Ayah dan tidak menyayangi Ibu. Arya sangat menyayangi dan menghormati Ayah dan Ibu. Arya hanya ingin keluarga kita seperti dulu lagi, tidak ada pertengkaran dan keributan. Ayah yang selalu mengayomi kami, selalu mengajak kami bercerita, bercanda dan jalan-jalan. Ayah yang selalu membela kami kalau Ibu mulai uring-uringan. Bahkan Arya nanti kalau dewasa ingin seperti Ayah, karena Arya benar-benar mengidolakan Ayah. Bagi Arya, Ayah itu sosok ya
"Kok belum sarapan?" tanyaku pada Arya yang muncul di kamar Adiva."Nanti saja, Bu. Bu, maafkan Arya yang menyembunyikan semua ini. Arya sangat menyayangi Ibu, Arya takut melukai hati Ibu," kata Arya sambil menunduk."Kalian nggak bersalah. Betul kata kamu Arya, Ibu terlalu mencintai ayahmu. Dibutakan oleh cinta," ucapku pelan. Kemudian aku menghapus air mataku."Kalau kita diusir dari rumah ini, kita akan kemana, Bu?" tanya Adiva yang membuatku semakin sedih."Siapa yang akan mengusir kita?" tanyaku lagi."Ayah kan mau menikah dengan Bude Hani, terus mereka tinggal disini. Pasti Bude Hani akan mengusir kita," ucap Adiva pelan."Kalian nggak usah mikir sampai kesitu. Itu nanti Ibu yang memikirkannya," kataku dengan tegas."Terus kalau Ayah tidak mau membiayai kita lagi, bagaimana, Bu?" tanya Arya."Kalian nggak usah mikirin biaya. Pikirkan saja sekolah kalian, siapa tahu nanti kuliah bisa mendapatkan beasiswa. Kita tunjukkan pada semua orang, bahwa kita bisa berprestasi walaupun Ayah
Mas." Aku memanggilnya.Ia tetap menatap ke arah lemari pakaian dan mencari pakaian."Sudahlah, aku capek. Aku tidak mau berdebat denganmu." Mas Fahmi berkata sambil memakai pakaiannya."Tidak ada yang mengajak Mas berdebat. Percuma saja, karena Mas pasti merasa paling benar. Sedangkan aku hanya perempuan bodoh, yang beruntung dapat menikah dengan Fahmi Airlangga bin Rahman Hakim."Mas Fahmi mendelik ke arahku, sepertinya tidak suka dengan ucapanku."Mana ponselku," tanya Mas Fahmi dengan suara yang emosi."Nggak usah ngurusin ponsel.""Hei…." Belum sempat Mas Fahmi menyelesaikan ucapannya, aku segera memotongnya."Jangan berteriak, ada Ayah dan Ibu. Sana temui mereka," kataku sambil keluar dari kamar. Aku berjalan menuju ke dapur untuk membuatkan minuman. Terdengar gelak tawa Arya dan eyangnya. Segera aku selesaikan membuat minum dan menghidangkan di meja. Ternyata Mas Fahmi sudah bergabung dengan mereka. Aku melihat kalau ada kecanggungan antara Mas Fahmi dan Arya. Semoga saja Ayah
Aku tak mampu berkata lagi. Hatiku terasa sangat perih, kecewa, sedih, sakit hati, semua menjadi satu."Kapan Mas pertama kali mulai berhubungan dengan Mbak Hani?" tanyaku dengan sedikit emosi."Waktu itu dia datang kesini, Ibu sedang keluar bersama Arya. Jadi kami ngobrol-ngobrol bersama Adiva. Terus Adiva ditelpon sama temannya, ia menyingkir, sesudah itu nggak gabung ngobrol dengan kami. Habis itu Ibu dan Arya pulang. Besoknya waktu Mas di kantor, Mbak Hani mengirim pesan. Mengucapkan terima kasih karena sudah mendengarkan ceritanya. Dari situlah ia rajin mengirim pesan atau menelpon.""Mana ada kucing menolak diberi ikan asin, ya kan Mas? Mbak Hani itu orangnya agresif, kalau suka dengan laki-laki nggak akan diam saja. Akan mencari cara untuk mendapatkan laki-laki itu. Bahkan dulu ia pernah menyatakan cinta duluan pada laki-laki."Mas Fahmi hanya diam saja."Mas, kalau memang tidak ada kepentingan apa-apa, ngapain Mas selalu meladeni Mbak Hani. Mbak Hani itu dalam posisi sendirian
"Assalamualaikum," suara seseorang mengucapkan salam.Aku yang sedang duduk di ruang keluarga segera berdiri."Waalaikumsalam," aku menjawab salam dan membuka pintu depan."Ibu, kok nggak bilang kalau mau kesini? Ayo masuk, Bu," kataku pada ibuku."Kok, sepi?" tanya Ibu."Anak-anak sedang pergi dengan ayahnya. Ibu sama siapa?" "Sendirian. Bapak ke sawah, Hani nggak tahu pergi kemana.Aku mengajak Ibu duduk di ruang keluarga, aku hidangkan makanan dan minum putih. Ibuku penderita diabetes, jadi mengurangi makan manis. Alhamdulillah sehat, sudah dua puluh tahun lebih hidup berdampingan dengan diabetes."Bu, apa Mbak Hani benar-benar mau bercerai dengan Mas Kevin ya?" tanyaku pada Ibu."Iya, tapi Kevin tidak mau menceraikannya. Sepertinya Kevin sengaja menggantung status Hani. Ibu benar-benar pusing dengan kelakuan Hani. Mau diusir dari rumah, tapi anak sendiri? Tidak diusir bikin stress. Ibu jadi malu mau keluar ngumpul-ngumpul dengan tetangga. Takut mereka nanya macam-macam tentang Ha
"Sebentar, Bu. Aku belum selesai makan martabak ini dan aku juga belum sempat minum," ucap Mbak Hani dengan entengnya."Oh, ya Mbak, minumnya di belakang ya?" kataku."Lho, aku kan tamu, masa harus mengambil sendiri?" kata Mbak Hani."Sudahlah Hani, biasanya kamu juga ambil sendiri minumannya." Ibu mulai kesal dengan Mbak Hani."Maaf, ya, saya tinggal dulu," pamit Mas Fahmi sambil berjalan menuju ke kamar."Ya sudah, aku ambil sendiri minumnya," kata Mbak Hani sambil berjalan menuju ke dapur.Aku pun berinisiatif mengikutinya, karena sepertinya Mbak Hani mencari kesempatan dalam kesempitan. Kulihat Mbak Hani celingukan, mungkin mencari Mas Fahmi. "Lho katanya mau ambil minum, dapurnya disitu Mbak? Sudah lupa ya?" tanyaku pada Mbak Hani."Kamu kenapa ngikutin aku? Takut aku menemui suamimu, ya?" ejek Mbak Hani.Aku diam saja."Aku juga mau ke dapur. Tuh, Mbak, minumnya, silahkan ambil sendiri," kataku dengan menahan emosi. "Perempuan kalau di rumah jangan selalu memakai daster. Biar
Sudah hampir dua minggu, hubungan kami sekeluarga sudah membaik. Mas Fahmi sudah dekat lagi dengan anak-anak. Aku bahagia sekali, aku selalu berdoa untuk ketentraman dan kedamaian keluargaku. Suasana di rumah menjadi ceria lagi.Hari ini kami mau ke rumah orang tua Mas Fahmi. Ada acara makan-makan, karena Ayah berulang tahun yang ke enam puluh tiga. Kami berangkat sebelum Maghrib tiba. Suasana rumah Ayah sudah ramai dengan anak cucu. Ayah dan Ibu memiliki tiga orang anak, Mas Fahmi, Deswita yang biasa di panggil Wita dan Fariz. Semuanya sudah berkeluarga. Wita memiliki dua orang anak, sedangkan Fariz memiliki satu anak dan Zahra istrinya sedang hamil anak kedua.Aku datang membawa buah-buahan sebagai pelengkap hidangan. Azan Magrib tiba, kami melakukan salat Magrib berjamaah.Selesai salat Magrib, semua berkumpul di ruang keluarga. "Ayah senang sekali, hari ini kita bisa berkumpul disini. Alhamdulillah, Ayah masih diberi umur sampai hari ini. Harapan Ayah semoga keluarga kita selalu
Aku melihat ke ponselku. Jantungku serasa mau lepas dari tempatnya, setelah melihat foto dari Wita. Tampak Mbak Hani sedang duduk berdua dengan Mas Fahmi. Tangan Mbak Hani menggenggam tangan Mas Fahmi.Wita langsung menarik tanganku, mengajakku berjalan ke belakang. Aku berusaha menahan air mataku supaya tidak terjatuh. Aku duduk di kursi yang ada di teras belakang, Wita ada di depanku. Aku membuka ponsel Mas Fahmi, dan menunjukkan pada Wita. Wita langsung mengutak-atik ponsel Mas Fahmi. Beberapa kali matanya membulat, mungkin membaca pesan-pesan atau foto perempuan.Drtt...drtt ponsel Mas Fahmi berbunyi."Angkat saja," kataku."Halo," Wita menjawab panggilan dari ponsel Mas Fahmi."Halo, jangan main-main, ya?" sahut Wita."..............""Nggak ada. Kamu siapa?""..............""Oh, gundiknya ya? Mau-maunya jadi gundiknya Mas Fahmi. Nanti kalau dia sudah bosan, kamu pasti akan dibuangnya.""...............""Cinta? Bukan cinta tapi nafsu. Dasar perempuan nggak punya otak.""Ya, dim
Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.
"Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"
Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer
Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya
Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel
"Nggak ada, kok, Num. Memangnya ada apa?" kilah Mbak Hani."Mbak, nggak usah bohong. Aku sudah tahu semuanya. Aku kan pernah nanya sama Mbak Hani, apa Mbak Hani sakit. Tapi jawaban Mbak Hani, nggak apa-apa, hanya kurang tidur saja. Apa Mbak Hani mau cerita padaku, apa yang terjadi sebenarnya?"Mbak Hani hanya diam saja."Mbak aku sering memperhatikan Mbak Hani. Aku merasa ada yang lain dari Mbak Hani. Kulihat Mbak Hani badannya menyusut dan terlihat tidak bercahaya. Mbak, aku sayang sama Mbak Hani, tidak mau terjadi apa-apa pada Mbak Hani. Karena itu aku mencari informasi tentang Mbak Hani. Apa Bapak dan Ibu tahu? Mas Hanif, tahu juga?"Mbak Hani menghela nafas panjang."Nggak ada yang tahu, Num. Aku nggak mau membebani mereka.""Bukannya membebani, Mbak. Tapi kalau mereka tahu mereka akan merasa dibutuhkan, bisa untuk saling bertukar pikiran. Aku yakin, mereka pasti akan kesal kalau sampai tahu dari orang lain.""Aku bingung mau memulai dari mana untuk menjelaskan pada mereka." "Bic
Aku menoleh ke arah datangnya suara, ternyata Mas Fahmi bersama Dinda dan anak mereka. Aku tersenyum."Mas Fahmi," sapaku sambil tersenyum ke arahnya. Dinda diam, tampak wajah yang tidak bersahabat. Memandangku tak berkedip."Apa kabar Hanum," kata Mas Fahmi."Kabar baik. Kenalin Mas ini suamiku," kataku pada Mas Fahmi."O ya. Fahmi, ini Dinda." Mas Fahmi memperkenalkan istrinya."Ray." Mas Ray mengulurkan tangannya."Kami duluan ya, Mas?" pamitku."Oh iya." Mas Fahmi menjawab dengan gugup.Aku dan Mas Ray pun masuk ke dalam mobil. Mobil melaju meninggalkan rumah makan."Kok diam saja?" tanya Mas Ray. Kamu memang hanya terdiam sepanjang perjalanan pulang. Pikiranku terasa buntu, banyak sekali yang aku pikirkan."Terus harus ngapain?" "Ngobrol kek, atau apa.""Mas yang ngomong, nanti aku dengar," kataku.Mas Ray hanya diam, kebetulan juga sudah sampai rumah. Aku turun dari mobil, kemudian membuka pintu pagar dan membuka pintu rumah. Meletakkan makanan yang tadi aku beli di meja makan.
Dokter Fajar menarik nafas panjang dan kemudian berkata padaku."Begini Mbak Hanum, Ibu Hanifah Zahira menderita penyakit hipertiroidisme.""Penyakit apa itu dokter?" tanyaku, karena memang aku kurang paham. Lebih baik aku bertanya daripada sok tahu."Penyakit hipertiroidisme adalah gangguan yang terjadi saat kadar hormon tiroksin dalam tubuh terlalu tinggi. Hormon tiroksin yang diproduksi oleh kelenjar tiroid ini memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh. Jika kadarnya berlebihan, maka proses metabolisme pun akan terganggu. Penderita hipertiroidisme dapat mengalami gejala berupa: tremor,turunnya berat badan, mudah berkeringat,gangguan tidur, gugup, cemas, dan mudah tersinggung, jantung berdebar.""Yang saya tahu Mbak Hani itu berat badannya turun dan mengalami gangguan tidur." Aku berkata dengan pelan."Iya, Ibu Hanifah mengalami yang Mbak Hanum sebutkan tadi." Dokter Fajar menambahi."Apa penyakit ini bisa sembuh?" tanyaku lagi."Bisa, pengobatan rutin selama enam bula