Ingin rasanya aku gampar muka Naya yang sok kecantikan itu, batin Lika dengan tangan mengepal. “Ini enak, Nay.” “Coba saja icip, aku mau yang simpel saja. Menu di hotel ini kelas atas semua, nggak cocok sama lidah aku yang Indonesianis.” Kalisa cekikikan. “Ya jelas nggak cocok lah, kamu kan orang kampung.” Lika duduk di samping Nayara, tangannya terulur mengambil sepotong kue specook dan garpu mungil. “Dih, tamu nggak diundang!” cetus Nayara sembari bergidik. “Makan yang cepat, Lis. Selera makanku mendadak hilang.” “Jangan kabur kamu, Nay!” “Ngapain juga aku kabur?” “Karena kamu punya salah,” tuduh Lika terang-terangan, dia menusuk sepotong specook dan membayangkannya sebagai wajah Nayara. “Salah apaan? Ngerti saja enggak,” kilah Nayara. “Sudah deh, aku nggak punya urusan sama kamu.” “Terus kenapa kamu ganggu urusan aku sama Elkan?” Nayara menoleh ke arah Lika dan menatapnya tajam. “Halo? Kamu nggak salah bicara? Aku tuh pegawainya Pak Elkan, jadi su
Andika lantas membisikkan sesuatu ke telinga sang kekasih. “Sepakat!” Selanjutnya sepasang kekasih itu saling tos sebagai tanda bahwa kerja sama mereka akan dimulai dari sekarang. Beberapa hari kemudian .... Seluruh pegawai kantor El Food kembali ke rutinitas pekerjaan masing-masing, begitu juga Elkan yang mulai fokus merancang proyek baru yang akan dia ikuti. Ketika sibuk mempelajari isi proposal dari perusahaan rekanan, ponsel Elkan berdering beberapa kali. Nayara berusaha tidak terganggu dengan bunyi dering ponsel milik Elkan. Setelah mengabaikannya beberapa kali dan dari ponsel itu tidak juga berhenti, Elkan akhirnya meraih benda pipih itu. “Halo?” “El, sibuk nggak?” “Sibuk sih, namanya juga lagi kerja. Ada apa?” “Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama kamu, soal bisnis.” “Bisnis apa?” tanya Elkan tidak mengerti, karena dia tidak merasa memiliki kerjasama bisnis apapun dengan Andika. Orang yang saat ini sedang berbicara dengannya melalui
Untuk sejenak, Andika tidak tahu harus menanggapi bagaimana. “Kalau pinjam bank, prosesnya terlalu ribet, El! Aku kan maunya yang nggak bertele-tele, yah mungkin kamu nggak tahu gimana rasanya berproses dari nol.” “Maksudnya gimana?” “Kamu langsung dikasih fasilitas kan sama mama papa kamu?” tuding Andika blak-blakan. “Kalau caranya begitu sih, aku juga bisa. Sayangnya ayah ibuku bukan pengusaha kayak orang tua kamu, El. Makanya mungkin kamu nggak memahami susahnya perintis macam aku ini ....” Raut wajah Elkan berubah keruh. “Kalau kamu perintis, terus aku apa?” “Jelas-jelas kamu ini pewaris kan? Kerja juga tinggal tunjuk karena ayah kamu pasti punya banyak kenalan orang dalam di mana-mana.” Elkan menarik napas panjang, dia mengerti sekarang bagaimana orang-orang seperti Andika memandang kehidupannya. “Tidak juga, aku sama merintis dari nol seperti orang kebanyakan.” “Masa sih? Terus apa gunanya kamu punya orang tua pengusaha kalau kamu tetap berusaha dari no
“Aku nggak percaya, El. Kamu enak dapat dukungan orang tua, bahkan jalur singkat di mana-mana.” “Percaya atau tidak Itu terserah kamu, Andika. Yang pasti itu tadi saranku, lebih baik kamu mengajukan pinjaman modal ke bank. Sebelum itu, jangan lupa untuk bikin proposal. Setidaknya biar orang tahu bisnis apa yang akan kamu rancang ke depannya. Dengan demikian, kamu dan pihak kedua juga akan bisa mempertimbangkan untung ruginya kalau mengelola bisnis itu.” Andika mulai merasakan ketidaksukaan karena Elkan dinilai berbelit-belit dalam menanggapi permintaannya. “Harusnya kamu bilang dari tadi kalau kamu nggak berniat untuk bantu aku, El. Kalau begini caranya kan jadi buang-buang waktu,” gerutu Andika. Elkan yang tidak terima disalahkan begitu saja, sama-sama mengeluh. “Kamu pikir aku juga tidak kehilangan waktu? Apalagi banyak hal yang harus aku urus juga terkait proyek mal yang akan diluncurkan ....” “Ya, ya, terserah kamu. Pewaris mah enak, tinggal duduk meneruskan doang
“Kamu siap aku pecat?” Nayara mendongak menatap Elkan tanpa takut sedikit pun. “Ya sudah sih, pecat saja tidak apa-apa.” “Kamu ....” “Seharusnya sebagai bos yang baik, Anda jaga sikap dong. Formal juga kalau bicara, bukannya malah menanggapi ucapan saya dengan sok akrab begini.” Elkan menyipitkan matanya, dia sendiri baru sadar jika tadi sempat menggunakan bahasa santai seperti kepada teman sendiri. Cuek, Nayara melanjutkan makannya dengan tenang. Di samping rasa laparnya sudah tidak sebesar tadi, keberadaan Elkan sedikit mempengaruhi suasana hatinya. “Kamu masih utang penjelasan sama saya,” kata Elkan mengingatkan. “Dari mana kamu tahu kalau pacar Andika menginginkan sesuatu dari saya?” Nayara mengingat-ingat sesuatu yang janggal selama penyelenggaraan acara di hotel Alteza .... Ketika itu Nayara tidak sengaja melihat keberadaan Andika bersama pekerja lainnya di tengah-tengah tim dari perusahaan sebelah. Seingat Nayara, mantan suaminya itu tidak ada kepentin
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak