“Kamu saya pecat!” Wajah Andika yang sudah pucat mendadak jadi semakin pucat ketika mendengar vonis sang bos. “Tapi, Pak ... saya tidak melakukan kejahatan yang ....” “Mengambil pungutan liar, kamu pikir bukan kejahatan, hah?” Andika menundukkan wajahnya. “Tapi ... saya tidak korupsi, Pak ...” Bobi menatap murka ke arah Andika. “Saya juga sudah lama bekerja di kantor ini, setidaknya saya sedikit berjasa ... Tolonglah Pak, jangan pecat saya ....” Bobi mengembuskan napas panjang. “Kamu beruntung, Pak Alvi masih mempertimbangkan status kekerabatan kalian.” Andika menarik napas lega. “... tapi jabatan kamu akan diturunkan.” “Apa, Pak? Diturunkan?” “Ya, kamu tidak lagi jadi sekretaris saya mulai minggu depan.” Andika menggeleng lemah. Turun jabatan, kira-kira dia akan berganti jabatan menjadi apa? “Sisa hari ini bisa kamu pakai untuk membereskan barang-barang kamu. Minggu depan, kamu ganti seragam ....” “Pakai seragam, Pak?” sela Andika buru-buru
“Aku harus bertemu Pak Mantyo, ada hal penting nih!” Andika buru-buru pergi meninggalkan Lika sebelum kekasihnya itu tahu apa yang terjadi. *** “Aman, Nay.” “Yakin si mantan rese itu nggak lagi nungguin aku?” Kalisa menyipitkan matanya sampai tinggal segaris. “Nggak ada kok, aman. Penampakan mantan kamu dijamin musnah, Nay.” “Syukurlah,” sahut Nayara lega, dia dan Kalisa memang sejak tadi memantau gedung kantor mereka dari warung depan sembari menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng. “Aku heran, kenapa ya Andika sampai marah-marah kayak orang gila?” Kalisa bertanya-tanya sembari berjalan menuju kantor. “Kamu sudah berbuat salah apa sih sama dia?” Nayara menggeleng cepat-cepat. “Sejak bercerai itu, aku sama Andika sudah nggak ada urusan apa-apa lagi, Lis. Kecuali ....” Kalisa menunggu kelanjutan ucapan Nayara dengan ekspresi tidak sabar. “Kecuali apa?” “Kecuali soal nafkah yang minta dibalikin.” “Sudah kamu kasih?” “Enggak, ya kali aku kembalikan nafkah y
“Jangan macam-macam kamu, Andika!” “Kenapa Pak, takut turun jabatan juga seperti saya?” Mantyo mendelik. “Ini ulah kamu sendiri kan, kamu tidak ingat?” “Tapi anda ikut menikmati uang itu, Pak!” “Sttt, kamu ini kenapa sih?” “Kenapa? Tentu saja saya tidak terima!” Tanpa menunggu jawaban dari Mantyo, Andika bergegas pergi untuk mencari beberapa nama yang sempat membayar uang jaminan kepadanya. “Mana Alif? Mana Lukman? Devi juga mana?” Beberapa pegawai mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan Andika yang tanpa rem. “Aku sudah nggak lihat Devi sejak kapan hari ....” “Sama, Lukman juga nggak kelihatan ....” Andika berdecak. “Yang benar saja, masa mereka bolos kerja barengan kayak begini sih?” “Nggak tahu juga, Dik. Coba telepon saja sana,” suruh salah satu rekan. “Kamu punya nomor kontak mereka?” “Enggak, sih.” Andika berdecak dan menatap kesal ke arah rekannya yang tidak mengerti apa-apa. “Berengsek semua, ke mana ya mereka?” Mantyo menarik napas lega
“Lho, Yang! Kamu kok itu ... pakai seragam OB sih?” Andika refleks menolehkan wajahnya dan .... Mampus! Nayara ikut menoleh dan langsung bertatap mata dengan Lika. “Ini lagi ... kamu ngapain di sini, sengaja merayu Andika supaya mau rujuk sama kamu?” “Idih, ogah banget! Masa aku turun kasta,” ejek Nayara sambil tersenyum miring. “Tutup mulut kamu ya, Nay!” Andika meradang, tidak terima. “Tapi lihat deh, kamu benar-benar turun kasta, Yang!” ujar Lika sambil berbisik tertahan, tapi Nayara masih bisa mendengar suaranya. “Kok kamu pakai seragam OB sih, baju kerja kamu di mana?” Nayara yang seharusnya langsung menemui Bobi, justru tertarik untuk mengetahui drama yang sedang terjadi di hadapannya ini. “Yang!” “I—itu anu ...!” Andika menelan ludah, kebingungan untuk mencari alasan yang tepat. “Aku terpaksa harus ... pakai seragam OB kayak begini ... karena ... itu ....” Lika menunggu kelanjutan ucapan Andika dengan tidak sabar. “Itu apa? Jawab jujur, Yang!”
Lika membuka galeri di ponselnya dan menghapus beberapa foto sang kekasih. Dia mulai berpikir keras mencari cara untuk bisa memutuskan hubungan dengan Andika tanpa perlu banyak drama. Lagian mana sanggup dia memenuhi semua kebutuhan aku pakai gajinya yang sekarang, pikir Lika sambil melamun. Gaji seorang office boy sampai berapa sih, mana cukup untuk menanggung belanja dan perawatan kulitku .... “Eh Lik, itu serius Andika turun jabatan?” bisik Erni, rekan kerja Lika. “Aku malah baru tahu kemarin, Er!” “Aku sudah dengar, aku kira itu cuma gosip anak-anak yang iri sama Andika. Secara selama ini kan dia sekretaris kepercayaan Pak Bobi, ya nggak?” Lika mengangguk. “Aku nggak terlalu memperhatikan gosip di kantor, repot sama urusan kerjaan. Yang penting gaji lancar dan bisa foya-foya, itu sudah cukup.” “Ha, ha, betul juga itu!” “Makanya aku nggak terlalu paham gosip di sini, selain ....” “Selain apa?” “Selain kapan kita bisa naik gaji?” celetuk Lika seraya tertawa. Ern
“Sekalian saya mau mengajukan cuti, Pak.” “Jangan sekarang, saya sedang sibuk-sibuknya.” “Tapi saya belum pernah ambil cuti, saya kan juga mau menikmati hidup ....” Elkan menatap Nayara dengan sorot mata tajam. “Y—ya sudah, kalau tidak boleh juga tidak apa-apa kok, Pak ....” “Itu paham, cepat kerja lagi.” Dengan lesu, Nayara pergi meninggalkan ruangan Elkan untuk membuat kopi. Dia membutuhkan energi yang besar untuk menjalani pekerjaan yang itu-itu saja setiap harinya. “Butuh cuti ... butuh liburan ... bosan juga ya banyak duit, tapi nggak ada waktu untuk menikmati ...” keluh Nayara sembari menyeduh kopi. Pantas saja Elkan serius begitu, hidupnya pasti jauh-jauh dari piknik. “Lesu amat, mau tanggal gajian juga.” Kalisa menggoda Nayara saat makan siang. “Aku jenuh, nggak bisa menikmati uang gajiku.” “Eh, kok begitu?” “Nggak boleh ambil cuti sama Pak Elkan, kejam kan dia?” “Mungkin kerjaan kantor lagi banyak-banyaknya, Nay. Makanya nggak boleh cuti
Di saat yang bersamaan, dia melihat keberadaan Nayara yang sedang duduk menunggu. “Yang!” “Apa, Beb?” “Coba kamu lihat ke arah jam dua belas!” Andika refleks melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ah, baru juga jam sepuluh ....” “Arah, Yang! Maksud aku itu arah jam dua belas, ihhh!” Melihat wajah Lika yang merajuk, Andika justru tertawa. Perlahan dia melirik ke arah yang disebut kekasihnya dan mengerjapkan matanya. “Itu mantan istri kamu, bukan?” “Eh, iya ... kayaknya itu Naya deh!” Lika menundukkan kepala, pura-pura sibuk memeriksa isi tasnya. “Kok bisa sih mantan kamu itu ada di sini?” “Entah, kebetulan saja mungkin ....” “Maksud aku itu kenapa dia bisa ikutan nunggu di sini, memangnya dia punya uang? Ini salah satu cabang outlet kecantikan mahal, jangan-jangan ....” Lika menoleh ke arah Andika. “... kamu yang kasih uang sama dia, ya?” “Lah, uang apaan sih?” “Bukannya setelah bercerai, ada yang namanya nafkah iddah?”
Nayara menarik napas panjang saat Kalisa menyetop taksi, dia terus kepikiran tentang tingkah Lika dan segala omong kosong yang dikatakan pelakor itu. Jangan-jangan selama ini Andika sering menjelek-jelekkannya di depan Lika? “Lis, kok aku curiga ya kalau selama masih jadi suamiku, Andika sudah main belakang?” “Maksud kamu, selingkuh gitu?” “Ya semacam itu ....” Kalisa membetulkan letak duduknya di dalam taksi supaya lebih nyaman kemudian menanggapi, “Kenapa kamu bisa berpikir ke arah sana?” “Kamu dengar nggak omongan si pelakor tadi? Katanya Andika pernah bilang ke dia kalau aku tuh nggak bisa dandan, padahal sebenarnya bukan nggak bisa ... Aku cuma nggak sempat saja. Kerja seharian sudah capek, belum lagi beres-beres rumah, kadang masak, kalau ada waktu istirahat mendingan buat tidur atau nonton film.” “Ah ya, aku bisa membayangkannya ... Kita para istri kalau pegang peran ganda, memang seperti itu. Kecuali kalau kita punya asisten rumah tangga, nafkah bulanan
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak