“Sekalian saya mau mengajukan cuti, Pak.” “Jangan sekarang, saya sedang sibuk-sibuknya.” “Tapi saya belum pernah ambil cuti, saya kan juga mau menikmati hidup ....” Elkan menatap Nayara dengan sorot mata tajam. “Y—ya sudah, kalau tidak boleh juga tidak apa-apa kok, Pak ....” “Itu paham, cepat kerja lagi.” Dengan lesu, Nayara pergi meninggalkan ruangan Elkan untuk membuat kopi. Dia membutuhkan energi yang besar untuk menjalani pekerjaan yang itu-itu saja setiap harinya. “Butuh cuti ... butuh liburan ... bosan juga ya banyak duit, tapi nggak ada waktu untuk menikmati ...” keluh Nayara sembari menyeduh kopi. Pantas saja Elkan serius begitu, hidupnya pasti jauh-jauh dari piknik. “Lesu amat, mau tanggal gajian juga.” Kalisa menggoda Nayara saat makan siang. “Aku jenuh, nggak bisa menikmati uang gajiku.” “Eh, kok begitu?” “Nggak boleh ambil cuti sama Pak Elkan, kejam kan dia?” “Mungkin kerjaan kantor lagi banyak-banyaknya, Nay. Makanya nggak boleh cuti
Di saat yang bersamaan, dia melihat keberadaan Nayara yang sedang duduk menunggu. “Yang!” “Apa, Beb?” “Coba kamu lihat ke arah jam dua belas!” Andika refleks melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ah, baru juga jam sepuluh ....” “Arah, Yang! Maksud aku itu arah jam dua belas, ihhh!” Melihat wajah Lika yang merajuk, Andika justru tertawa. Perlahan dia melirik ke arah yang disebut kekasihnya dan mengerjapkan matanya. “Itu mantan istri kamu, bukan?” “Eh, iya ... kayaknya itu Naya deh!” Lika menundukkan kepala, pura-pura sibuk memeriksa isi tasnya. “Kok bisa sih mantan kamu itu ada di sini?” “Entah, kebetulan saja mungkin ....” “Maksud aku itu kenapa dia bisa ikutan nunggu di sini, memangnya dia punya uang? Ini salah satu cabang outlet kecantikan mahal, jangan-jangan ....” Lika menoleh ke arah Andika. “... kamu yang kasih uang sama dia, ya?” “Lah, uang apaan sih?” “Bukannya setelah bercerai, ada yang namanya nafkah iddah?”
Nayara menarik napas panjang saat Kalisa menyetop taksi, dia terus kepikiran tentang tingkah Lika dan segala omong kosong yang dikatakan pelakor itu. Jangan-jangan selama ini Andika sering menjelek-jelekkannya di depan Lika? “Lis, kok aku curiga ya kalau selama masih jadi suamiku, Andika sudah main belakang?” “Maksud kamu, selingkuh gitu?” “Ya semacam itu ....” Kalisa membetulkan letak duduknya di dalam taksi supaya lebih nyaman kemudian menanggapi, “Kenapa kamu bisa berpikir ke arah sana?” “Kamu dengar nggak omongan si pelakor tadi? Katanya Andika pernah bilang ke dia kalau aku tuh nggak bisa dandan, padahal sebenarnya bukan nggak bisa ... Aku cuma nggak sempat saja. Kerja seharian sudah capek, belum lagi beres-beres rumah, kadang masak, kalau ada waktu istirahat mendingan buat tidur atau nonton film.” “Ah ya, aku bisa membayangkannya ... Kita para istri kalau pegang peran ganda, memang seperti itu. Kecuali kalau kita punya asisten rumah tangga, nafkah bulanan
Semua ini gara-gara Naya, geram Andika saat lagi-lagi uangnya terkuras untuk belanja tas. Awas kamu, Nay! Begitu masuk kerja kembali di awal pekan, Nayara tampil dengan lebih fresh karena telah merapikan rambutnya sekalian. “Wih, wih, kemasan baru nih!” Putra berkomentar ketika Nayara tiba di kantor bersama Kalisa. “Sudah kayak pinang dibelah kapak ya kalian.” “Bisa saja, Mas Put!” “Sekali-kali ganti suasana lah, Put.” “Nggak sekalian ganti kerjaan?” “Nggak lah, aku masih butuh duit!” Mereka bertiga terkekeh sebelum akhirnya Nayara berbelok arah menuju ruangan Elkan. Pria dengan jabatan tertinggi itu mendongak ketika Nayara muncul dari balik pintu. “Silau ....” “Penampilan saya, Pak?” “Sinar mataharinya, tutup sedikit pintu.” “Lah, kirain ....” Nayara membuka blazer warna hitamnya dan menyadari jika ada yang keliru. “Tumben Bapak datang lebih awal?” “Saya mau merombak beberapa jadwal untuk satu minggu ini.” “Kok mendadak, Pak? Mana saja y
Ternyata kontak itu milik Andika, Nayara menggunakan jurus blokir untuk supaya suasana hatinya tidak rusak karena kelakuan mantan suaminya. Saat makan siang di kantor Andika .... “Yang, kamu ngapain mainan ponselku? Kamu kan ada ponsel sendiri.” “Pinjam sebentar, jangan pelit-pelit begitulah.” Lika cemberut, tangannya dengan gesit menghapus beberapa riwayat pesan yang telah dia kirimkan tadi. “Kok judes banget sih sama aku? Habis dibelanjakan juga ....” “Masih kesal aku sama mantan istri kamu itu,” gerutu Lika sambil menarik napas. “Aku mau suatu saat nanti bisa balas mempermalukan dia di depan umum, harus pokoknya.” Andika termenung. Kalau dipikir-pikir, dia sendiri juga memiliki dendam pribadi terhadap Nayara. Pertama karena masalah uang nafkah yang tidak dia kembalikan, padahal Andika sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk biaya rumah tangga mereka saat masih bersama. Yang kedua, karena Nayara dianggap terlibat dalam penurunan jabatan yang Andika de
“Karena ini mencakup kerja sama dengan perusahaan lain, saya minta kita semua untuk jaga etika, sikap, dan semua hal supaya tidak terjadi gencetan. Paham?” pungkas Elkan seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Paham, Pak!” “Rapat saya akhiri, silakan kembali bekerja.” Satu per satu pegawai melangkah keluar meninggalkan ruangan rapat dengan tertib, termasuk Nayara. “Mau ke mana kamu?” “Ikut keluar sama yang lain, Pak.” Elkan mengisyaratkan kepada Nayara untuk membuka pintu ruangan sedikit. “Untuk kamu ada tugas ekstra ....” “Astaga, ya ampun ...! Saya ini manusia biasa, Pak! Saya capek, lelah, ngantuk, tidak sanggup kalau dibanting terus-menerus!” “Dengarkan saja dulu, saya saja belum selesai bicara ini.” Elkan melotot. “Tapi perasaan saya sudah telanjur tidak enak.” “Kamu selalu berprasangka buruk sama saya, ya?” Nayara meringis, dia kembali duduk dengan pikiran yang begitu banyak beban. “Terus apa tugas saya? Pasti ke sana kemari
“Sumpah, meski saya belum punya bukti. Saya akan berusaha mencari buktinya, Pak.” Bobi menatap wajah Andika selama beberapa saat dengan tatapan menilai. “Entahlah, Andika. Kamu tahu kalau saya orang yang sangat sulit untuk percaya ....” “Saya bersumpah akan membuktikan keterlibatan Pak Mantyo, setelah itu saya harap Anda bersedia menilai ulang tentang kesalahan saya.” Bobi menarik napas panjang. “Oh ya? Tapi untuk naik jabatan, saya rasa tidak semudah itu.” “Tidak perlu buru-buru, Pak. Saya hanya minta sedikit saja rasa kepercayaan Anda lagi, saya janji tidak akan merusaknya.” “Lalu apa yang kamu inginkan?” “Maksud, Anda Pak?” “Kamu bicara seperti ini pasti memiliki beberapa tujuan, kan? Jika itu orang lain yang terbukti bersalah, saya yakin kalau dia lebih memilih untuk berhenti bekerja dari kantor ini. Tapi kenapa kamu masih mau jadi office boy dan sekarang berusaha membujuk saya untuk mempercayai kamu lagi?” Andika terdiam sejenak. “Karena ... saya t
Nayara menatap jijik pada Lika yang bersikap seolah-olah hanya ada dia dan Elkan yang berada di parkiran hotel, sementara yang lainnya makhluk tak kasat mata. “Kita harus kembali ke kantor, Pak.” Nayara mengingatkan dengan profesional. “Ayo.” Elkan mengangguk setuju dan berbalik masuk ke dalam mobil. “Sampai ketemu besok, El!” Lika melambai dengan kegirangan ke arah pintu mobil yang tertutup rapat. “Anda kenal sama Lika, Pak?” tanya Nayara penasaran setelah tiba di kantor. “Lika siapa?” “Perempuan yang tadi itu lho.” “Mungkin pernah bertemu di jalan, entahlah.” Nayara geleng-geleng kepala, tidak percaya jika Elkan adalah orang yang pelupa. Satu yang pasti, kini dia tahu bahwa kekasih Andika itu menunjukkan sinyal-sinyal ketertarikan terhadap atasannya. “Ngaku-ngaku teman, padahal kan dia pacarnya Andika ...” pikir Nayara tidak mengerti. Setibanya di rumah, Lika jingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Dia sangat bahagia sekali karena bisa bertemu Elkan kembal
"Ya, hiduplah dengan lebih baik lagi bersama keluarga kecil kamu." Gio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Nia untuk segera pergi.Sesaat setelah Nia keluar, sebuah taksi menepi di depan Kafe dan Kalila melangkah turun."Aku sudah sampai, nih ... Masih lama? Ya sudah, aku tunggu!" Kalila mengakhiri percakapan dengan seseorang, kemudian menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas.Namun, langkah Kalila sontak terhenti saat seseorang menabraknya tepat setelah dia melangkah masuk ke dalam kafe."Gio! Kok main tabrak saja?"Kalila terhuyung sebentar sebelum akhirnya bisa menyeimbangkan diri."Hati-hati kalau jalan!" imbuhnya sedikit kesal.Gio menyipitkan matanya."Mentang-mentang kita sudah bercerai, apa harus kamu seangkuh ini di depanku?"Kalila balas menatap Gio yang wajahnya sedikit memerah."Aku tidak mengerti kamu ngomong apa."Kalila bergegas pergi menjauh untuk mencari meja yang masih kosong. Jika sesuai rencana, seharusnya Zia akan menyusul lima belas menit kemudian.Na
"Terus kenapa menatapnya penuh curiga begitu? Saya ini bukan tukang tipu," sela Elkan sedikit tersinggung. "Bukan curiga, Pak. Aneh saja, kenapa tidak ambil pegawai lain saja untuk jadi asisten pribadi?" "Suka-suka saya, hanya saya lihat akhir-akhir ini kerjaan kamu beres semua ...." "Yang kemarin-kemarin tidak beres memangnya?" potong Nayara berani. "Beres sih, tapi akhir-akhir ini kamu gesit. Kebetulan saya akan sangat sibuk ke depannya." Nayara langsung memegang keningnya. Bayangan seberapa banyak pekerjaan jika menjadi asisten pribadi Elkan membuatnya tegang duluan. "Kenapa wajahmu begitu, seharusnya kamu bahagia karena ini penawaran langsung dari bos." Nayara memutar bola matanya dengan malas. "Gajinya berapa, Pak?" "Soal gaji, saya tidak pernah mengecewakan. Saya naikkan lima belas persen, lumayan kan?" "Cuma lima belas persen?" "Kenapa, kurang?" Nayara sibuk menimbang-nimbang. "Gimana, ya? Kalau dua puluh lima persen saya mau, Pak!" "Wah, mata duitan." Nayara ce
"Aku tidak bilang begitu, hanya saja apa kalian sudah mampu dari segi modal?"Pertanyaan Elkan tak urung membuat Andika dan Lika diam membisu."Justru itu! Kami sedang berusaha mencari investor yang mau kasih pinjam modal ke kita," kata Andika pongah."Kenapa tidak mengumpulkan modal sendiri dari gaji kalian? Minim risiko dan jelas lebih aman.""Kelamaan kalau kami harus mengumpulkan uang dulu, El." Kali ini Lika yang menjawab. "Berapa sih gaji pegawai seperti kami ini?""Tentu lumayan kalau digabungkan berdua," sahut Elkan kalem. "Saranku, kalian menabung dulu sambil memikirkan gambaran bisnis apa yang ingin kalian wujudkan. Investor kaya sekalipun, dia akan tetap mempertanyakan proposal bisnis kalian."Andika melirik Lika dengan isyarat seolah dia sudah menduga jika menemui Elkan adalah perbuatan yang sia-sia saja.Jaka tiba untuk mengantarkan minuman sesuai permintaan Nayara."Maaf menunggu lama, Pak ....""Apa Nayara tidak kasih tahu kamu kalau saya ada tamu?" tanya Elkan."Sudah
“Sudah dari tadi, Bu!” Nayara sengaja mengeraskan suaranya, seraya melirik ayah tirinya. “Anak datang kok nggak disuruh masuk sih,” omel ibu sambil menggamit lengan Nayara. “Ngomel terus perasaan, bikin pusing lama-lama di rumah ....” “Jangan di rumah kalau begitu, kerja sana!” “Aku ini suami lho, kepala keluarga, kok dibentak-bentak begini ... Kualat gimana?” “Nggak akan kualat kalau kepala keluarganya kayak kamu,” gertak ibu. “Yuk Nay, kita masuk saja.” Ayah tiri Nayara melengos, kemudian keluar dari rumah sambil mengentakkan kakinya. “Kok kayaknya aku datang di saat yang salah ya, Bu?” tanya Nayara tidak enak. “Aku pikir sudah lama nggak nengok Ibu, makanya sengaja datang. Tapi ayah malah marah-marah nggak jelas, memang aku yang salah sih ... Nggak pernah kirim kabar, apalagi kirim uang.” Ibu mengembuskan napas panjang. “Ibu lihat kamu sehat begini saja sudah senang, kamu tambah kinclong ... Itu artinya kamu bahagia, kurang apa lagi, coba?” “Kurang membaha
Andika hanya meringis, dia bersedia melakukan segala cara supaya bisa meraih simpati Elkan kembali. “Besok Anda ada kunjungan kerja, Pak.” Nayara memberi tahu Elkan di hari pertama akhir bulan. “Bersama Pak Kalandra dari Lazuardi, agenda kegiatannya meninjau pabrik daur ulang ... Saya tidak ikut kan, Pak?” Nayara mendongak menatap Elkan yang sedang menyeruput kopinya. “Pak?” Elkan hanya balas menatap Nayara dengan cangkir masih menempel di bibirnya. “Pak!” “Ohok!” Elkan langsung tersedak dan terbatuk-batuk. “Eh maaf, Pak!” Nayara jadi merasa bersalah karena memanggil Elkan di saat atasannya itu sedang minum kopi, buru-buru diulurkannya beberapa lembar tisu kepada Elkan. “Kamu ini ya ...” Elkan masih terbatuk-batuk. “Mau bunuh saja?” “Kejam amat, tersedak saja tidak akan membuat Anda lewat, Pak!” Elkan tidak menjawab, melainkan sibuk membersihkan tumpahan air kopi sembari masih terbatuk-batuk kecil. “Saya pesankan kopi baru ya, Pak!” Lagi-lagi Elkan tida
Elkan mendengus. “Saya kok tidak percaya.” “Lho, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa untuk percaya, apalagi orangnya juga belum saya temukan.” Elkan tidak bicara lagi, melainkan fokus mengemudi karena sudah ada pekerjaan yang menunggunya di kantor. “Argh, menyebalkan!” Lika memukul-mukul tangannya sendiri dengan kesal. “Kenapa sih janda satu itu selalu saja nempel sama Elkan? Bikin aku jadi susah untuk melancarkan pesonaku, padahal aku yakin kalau Elkan sebenarnya ramah ... Semua gara-gara si janda!” Lika mengembuskan napas gusar, dia memperbaiki posisi duduknya kemudian mengambil bedak untuk merias ulang wajahnya yang merah padam. “Semoga saja apa yang aku lakukan baru-baru ini bisa bikin Andika mendapatkan jabatan sekretaris lagi, uang jajanku sudah menipis ... Aku nggak mau hidup hemat kayak orang susah,” gumam Lika yang tidak bisa menutupi perasaan gusarnya. Salah satu alasan dia bersedia menjalin hubungan dengan Andika adalah karena pria itu sangat loyal da
“Jangan bahas itu di sini,” tegur Lika diiringi gelengan kepala. Sore harinya di kediaman orang tua Elkan .... “Bikin pusing saja.” “Kenapa, Pa?” Alvi menatap Elkan, lalu menarik napas panjang. “Masalah di kantor Al Drink, ada lagi, ada lagi!” “Namanya juga bisnis, Pa. Ada kalanya dapat ujian,” sahut mama Elkan. “Ujian apa sih yang tidak bisa papa hadapi?” komentar Elkan sembari meraih cangkir berisi teh. “Ini lain, kalian tidak akan menyangka ...” Alvi menatap istri dan anaknya bergantian. “Papa dapat kabar dari Pak Bobi, katanya ada pegawai lain yang ikut terlibat selain Andika.” Elkan terdiam, dia teringat kembali dengan kasus yang ditimbulkan Andika di kantor ayahnya. “Jadi Andika tidak bertindak sendiri, Pa?” “Tidak, makanya papa heran. Kecewa, lebih tepatnya. Kalau seperti ini, gimana perusahaan kita mau maju dan bertahan?” “Kalau memang kesalahan mereka sangat fatal, mungkin sudah saatnya Papa mempertimbangkan untuk memecat mereka.” “Elkan
Andika melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Bobi sembari membawa bukti rekaman yang sudah dia edit sedemikian rupa. “Pak Mantyo sudah sembuh?” sapa Wildan saat bertemu dengan Wildan yang akan menyeduh kopi. “Saya ... sedikit lelah,” jawab Mantyo linglung. “Oh ya, mana Lika?” Kening Wildan berkerut ketika mendengar pernyataan Mantyo. “Dia ada di mejanya, Pak.” “Kalau Andika?” Kening Wildan berkerut lagi. “Tadi sih setahu saya, Andika bersih-bersih ruang rapat. Memangnya kenapa, Pak?” “Tidak, tidak apa-apa.” Wildan mengangguk dan segera pergi setelah dia selesai menyeduh kopi. Baru saja dia mau masuk ke ruangannya, Andika muncul dan memanggil nama Wildan. “Kamu dipanggil Pak Bobi tuh!” “Oke, terima kasih sudah kasih tahu.” Andika tidak menanggapi ucapan terima kasih itu, Wildan sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti musuh kepadanya. Tanpa menunggu waktu lama, Wildan segera pergi menemui Bobi di ruangannya. Selang beberapa menit, Wildan keluar
Lika terus melakukan pendekatan-pendekatan melalui nada bicaranya yang manja. Mantyo dengan mudah terperangkap dalam pesona semua yang Lika pancarkan. “Kamu ... tidak kembali kerja?” “Pekerjaan saya adalah membuat Bapak bahagia, enak kan kopinya?” “Enak sekali ....” “Mau yang lebih enak?” “Ap—pa maksudnya?” Lika tersenyum dan terus mendekat Mantyo untuk meneguk kopi itu hingga tandas. “Saya agak kesulitan, Pak ...” Lika mulai mengeluh dengan gaya manjanya yang khas. “Kesulitan kenapa! Siapa yang berani-berani membuat kamu merasa kesulitan?” Lika tidak segera menjawab, hanya saja dia membuat wajahnya terlihat semelas mungkin. “Katakan apa yang kamu alami, Lika! Saya pasti akan bantu kamu,” bujuk Mantyo dengan wajah memerah. “Mana bisa kamu bekerja di sini, tapi tidak merasa nyaman seperti itu.” Lika mengangguk dengan wajah muram. “Terima kasih atas motivasinya, Pak ....” “Katakan siapa orang yang bikin kamu tidak nyaman?” “Saya ... tidak enak