Sementara itu di tempat lain, Richard tergesa - gesa dengan langkah lebar menyusuri koridor kantor Harvey menuju ruangan Harvey untuk mengambil berkas sambil menelepon Harvey."Har!?" sapanya dengan napas sedikit terengah.Di belakangnya, Mariana berusaha mengikuti langkah Harvey dengan cepat. Mereka baru saja membahas kecelakaan yang terjadi salah satu proyek mereka."Ada apa?" balas Harvey. Dia ada di rumahnya, baru saja selesai membaca laporan hasil penjualan bulan ini."Ada kecelakaan kerja di Phoenix City. Kita harus datang kesana."Harvey tertegun, tidak bisa memutuskan dengan cepat. Dia masih trauma kasus penculikan Lillian, sedikit saja Ernest sembrono bisa saja nyawa bayinya melayang. Atau lebih parah, mungkin Lillian sudah tidak bersamanya lagi saat ini."Har, bagaimana? Kamu pimpinan, sudah seharusnya menunjukkan simpati pada korban," desak Richard lagi.Richard benar. Kepala Harvey pusing seketika. Dia menghembuskan napasnya. "Lillian di rumah sendirian sekarang. Aku kha
Harvey sengaja tidak memberitahukan soal kedatangan Amara pada Lillian, terlebih lagi soal rencana pernikahan Amara dan Richard. Dia ingin memberi kejutan pada istrinya dan membiarkan Amara menyampaikan sendiri kabar gembira itu.Tapi Marcia menggagalkan semua rencana. Pagi - pagi usai Harvey berpamitan, wanita itu menelepon Harvey hingga membuat sepasang suami istri ini kepikiran."Har, Harvey!" Nada suara Marcia yang terdengar panik membuat Lillian ikut penasaran pada pembicaraan Harvey dan Mamanya."Ya, Ma?" sahut Harvey sambil berjalan keluar rumah, sebentar lagi Richard tiba dan mereka akan berangkat ke airport.Lillian berjalan perlahan disamping Harvey, ikut mendengarkan."Mama mau kasih tau kamu kalau mama sedang dalam perjalanan.... ""Hah? Kemana?" tanya Harvey, matanya otomatis melirik ke langit yang masih gelap."Mama mau menginap di rumah teman mama di St. Moritz. Nanti mama kasih tau alamatnya, dekat kok sama kantor kamu." Suara Marcia terdengar agak jauh hingga Harvey h
"Hai."Lillian ternganga melihat wanita yang berdiri di ruang keluarga sambil tersenyum padanya. Beberapa kali matanya berkedip, seakan tak percaya pada penglihatannya sendiri.Dia memandangi wanita itu. Ada sedikit perubahan yang tampak dari penampilan luarnya. Terlihat lebih kalem dengan rambut yang lebih panjang dari sebelumnya. Pipinya tirus dengan make up flawless, membuatnya terlihat makin cantik dan segar. Hari ini dia mengenakan dress terusan warna pink pastel lembut, berbeda dengan sebelumnya yang selalu berpenampilan ala wanita karir dengan blazer, kemeja kerja dan celana panjang kain.Lillian baru sadar ternyata mereka sudah lama sekali tak bertemu."Lili?" panggil Amara sambil melambaikan tangannya, "Jangan kaget gitu dong. Lama tak jumpa. Ini aku, Amara.""Amara, kok tidak bilang - bilang kalau mau datang? Harvey dan Richard juga sama sekali tidak menyebut namamu pagi tadi." Lillian mengerjapkan mata seakan tak percaya.Senyum Amara makin lebar, melihat Lillian yang sewot
"Jadi Aunty Marcia telpon kamu pagi ini?" tanya Amara setelah mendengarkan cerita Lillian soal keanehan mertuanya pagi ini."Bukan telpon aku, tapi Harvey."Lillian terlihat berpikir di sofa ruang keluarga, saat ini mereka sudah berpindah dari kamar bayi ke ruang keluarga. Wanita hamil itu tadi sudah sarapan dan menemani Amara sarapan sekaligus makan siang, tapi Anna masih saja menyodori berbagai macam makanan kecil dan potongan buah untuknya.Meski pun sedang khawatir terhadap mertuanya, nafsu makan Lillian sama sekali tidak berkurang. Sambil berpikir tangannya mencomot beberapa potong buah segar dan mengunyahnya. Amara maklum saja, sahabatnya ini makan untuk dua orang."Apa aku coba telepon saja ya?" usul Amara penasaran."Ponselnya sekarang mati," sahut Lillian dengan mata menerawang. Harvey sempat mengirimi Lillian pesan untuk memberitahu kalau ponsel mamanya mati tapi belum mengirimkan lokasi yang dijanjikan."Baterenya habis mungkin...," Amara mencoba untuk berpikir lebih positif
Amara baru saja selesai mandi dan mengenakan rok terusan yang nyaman. Dia sedang berdandan di depan cermin. "Amara," panggil Lillian langsung nyelonong setelah mengetuk pintu."Ya?" Amara menoleh dari cermin."Harvey bilang kalau Mama sudah menghubunginya dan mengirimkan alamat tempat tinggalnya. Tapi pesannya masih sama, beliau berpesan supaya tidak memberitahu siapa pun.""Aunty Marcia? Dia sudah ada kabar?""Ya. Tadi pagi dia kirim pesan ke Harvey.""Dimana?""Di rumah temannya. Katanya dari kemarin Mama berpindah - pindah dan banyak acara, makanya baru sempat memberi kabar. Harvey berencana akan mengunjunginya begitu dia pulang. Apa kamu mau ikut?""Tentu saja. Tinggal atur jadwalnya saja atau mungkin nanti saat Aunty Marcia ulang tahun, kita bisa mengunjunginya. Hari ini aku ada janji sama orang dari event organizer di cafe dekat sini. Cuma sebentar kok, nanti aku langsung kembali.""Oke. Tidak apa - apa. Aku juga punya acara sendiri setelah ini," jawab Lillian sambil mengedipka
Ini hari yang ceria buat Lillian.Dia lupa dengan sakit pinggangnya, perutnya yang berat dan kandung kemihnya yang setiap lima menit sekali terasa penuh dan minta untuk dikosongkan.Seharian penuh dia menghabiskan waktu di 'istananya', menonton cara memasak hingga mempersiapkan bahan - bahan yang dibutuhkan.Rencananya, besok malam Lillian dan Amara akan datang diam - diam ke tempat tinggal Marcia dan memberinya surprise ulang tahun dengan membawa kue ini.Untuk pertama kalinya, Lillian menggunakan alat - alat canggih di dapurnya demi sebuah kue impian. Awalnya dia bahkan hanya tahu satu nama alat, yaitu mixer. Tapi demi niat mulia, Lillian bersedia mempelajari satu per satu cara memakai barang - barang tadi. Selama ini alat - alat itu menjadi tanggung jawab Anna, kini beralih ke tangan ke pemilik yang sesungguhnya."Anna, apa kamu yakin kalau gulanya sudah cukup segini?" tanya Lillian sambil memegang mangkuk berisi gula pasir, di depannya ada standing mixer yang sudah diputar."Iya,
"Yes! Sudah selesai!" seru Lillian sambil menatap dengan puas karya terbaiknya yang baru saja dia hasilkan setelah hampir tiga dekade usianya. Mereka menghabiskan seharian ini untuk membuat kue sesuai dengan yang diinginkan Lillian."Fiuuh... akhirnya... aku bebaaaass," seru Amara sambil merebahkan diri di atas sofa. Baginya, lebih baik menghabiskan waktu dengan mendengarkan orang depresi curhat selama satu hari penuh dari pada berkutat dengan krim dan tepung di dapur."Eeehhh, jangan tidur disitu, Nona! Itu kursi kesayangan tuan," seru Anna panik ketika melihat Amara berbaring di sofa dengan baju penuh terigu dan gula."Arrgh!" erang Amara sambil memaksa diri bangun dari posisi rebahannya yang sudah nyaman. "Bawelnya kamu, Anna. Tega banget sih! Aku baru saja mau relaksasi tulang - tulangku yang rasanya patah semua."Lillian tertawa. Dia sedang asyik memfoto kuenya dari berbagai angle, sedangkan Anna dan pasukannya sibuk membersihkan kembali dapur yang seperti kapal pecah."Amara, ba
"Selamat malam, Har" sapanya ceria, euforia atas keberhasilannya membuat kue masih belum hilang dan terbawa saat menerima panggilan dari suaminya. "Hhh...! Lama sekali sih, Sayang? Aku sudah meneleponmu sudah sejak sepuluh menit yang lalu. Hampir saja aku ketiduran gara - gara nunggu kamu." Wajah Harvey terlihat mengantuk, setelan baju tidur sudah terpasang di tubuhnya."Kan aku sudah pamitan kalau mau buat kue untuk mama. Seharian aku sibuk sekali di dapur, trus berendam di jacuzzi sama Amara sambil makan camilan. Sekarang mau makan malam sambil video call kamu. Temani aku makan ya." "Hmm... " Harvey mendesah pasrah, nyonya tak pernah salah, kata - katanya adalah perintah. Harvey menguap lalu mengungkapkan perasaannl rindunya, "I miss you, Sayang." Lillian tertawa, dia memasang ponsel di stand holder HP bertepatan dengan Anna yang datang untuk mengantarkan makan malamnya."Terima kasih, Anna.""Selamat makan, Nyonya," pamit Anna.Beberapa saat tidak ada yang berbicara. Harvey hany
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang