Helaan napas panjang terdengar dari Harvey, dia mendongak memandang langit dan bergumam, "Biasa, masalah pekerjaan yang tiada habisnya.Lillian terkekeh pelan, " Hmmm, iya. Aku juga pernah merasakannya.""Oh, yeah?"Lillian ikut mendongak, memandang langit yang terhampar di atas mereka. "Dulu aku sering merasa kepalaku penuh, dikejar dateline dan masalah pribadi. Rasanya sumpek. Orang - orang di kantor tidak memperhatikannya. Aku terus menyibukkan diri dengan pekerjaan padahal hatiku kacau."Harvey melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Lillian, memeluk istrinya dari belakang dan berkata, "Aku cuma tidak mau merusak mood karena ceritaku tentang Ernest. Kamu sedang hamil muda ini. Aku lihat akhir - akhir ini kamu terlihat kembali ceria seperti Lillianku yang dulu. Aku ingin kamu terus berbahagia."Lillian mengangguk setuju. "Ya, apa pun yang terjadi sudah tidak aku pedulikan lagi. Asalkan ada kamu di sampingku. Bukankah kamu pernah berkata kalau kita akan menghadapi semuanya bersama? Ja
Gloria sebenarnya sudah berusaha.Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya dia pernah berusaha menjadi kekasih yang baik bagi Ernest. Mereka bertemu di dunia malam dengan masalah masing - masing. Gloria dengan pekerjaannya sebagai 'pelayan' bar, sedangkan Ernest sebagai pelanggan tetap tempat itu.Dia masih ingat benar saat pertama kali bertemu dengan Ernest. Laki - laki itu mengingatkannya pada kakaknya yang meninggal karena over dosis. Dari sana Gloria merasa iba dan bertekad untuk membantunya keluar dari dunia hitam.Selama tahun pertama, semua berjalan lancar. Ernest mulai memberinya banyak hal, termasuk rumah yang dia pakai saat ini. Awalnya, Gloria tidak mempermasalahkan Ernest yang sering keluyuran, atau tidak kembali ke rumah. Puncaknya adalah saat Gloria hamil dan melahirkan. Ernest sering datang dan muncul seenaknya dalam keadaan mabuk. Gloria tahu kalau Ernest kembali ke kebiasaannya. Uang bulanan yang diberikan pun kian menyusut. Saat disinggung soal itu, Ernest malah emosi d
Saat Monica tengah bingung dengan nasib bayinya yang kemungkinan besar lahir tanpa ayah, laki - laki yang tengah menghamilinya itu sedang berdiri di sebuah halte bus yang sepi. Lalu lalang orang - orang yang lewat tidak dia hiraukan sama sekali. Teriakan kondektur yang mengajaknya naik tidak dia hiraukan. Dia hanya berdiri menatap jalan dengan pandangan yang kosong.Debu, asap knalpot yang terbawa angin menerpa wajahnya. Tetap tidak dia pedulikan. Dia terbatuk - batuk tapi tidak berpindah tempat, sebaliknya malah menyalakan puntung demi puntung rokok dan menikmatinya dalam diam. Dia menghela napas, lalu menyemburkan asap keluar dari hidung. Gulungan - gulungan asap rokok membumbung ke udara menjadi temannya.Di kantongnya saat ini ada sejumlah uang, dia sudah menggunakan sebagian uang itu untuk bersenang - senang. Tapi, tetap saja hatinya tak tenang. Hatinya kian gelisah. Pelatihan pengendalian pikiran yang dia pernah dipelajarinya selama di panti hilang tak berbekas dalam hitungan ja
Setelah pertemuan dengan Monica, Gloria mencari pekerjaan. Dia harus melakukan sesuatu untuk masa depannya sendiri dan juga puterinya. Dia memutuskan untuk masa bodoh dengan Ernest yang datang dan pergi sesukanya. Suatu hari kalau laki - laki itu berani menginjakkan kaki di rumahnya, Gloria tak akan segan lagi mengusirnya. "Hhh... Kamu harus bersyukur karena Ernest tidak menikahimu. Lebih baik single dari pada menikah dengan laki - laki sepertinya. Sebelum denganmu, dia sudah punya istri. Lalu setelah bersamamu, hari ini, seorang wanita bernama Monica mengaku hamil anak Ernest. Siapa yang bisa menjamin tidak ada wanita lain di masa yang akan datang?"Itu adalah nasehat sekaligus penghiburan terbaik yang bisa diberikan oleh Francess pada sahabatnya.Gloria bisa mengerti maksud baik Francess, yang sudah berusaha keras mencarikan pekerjaan untuknya. Hal - hal yang disampaikan oleh Francess terasa masuk akal. Temannya itu mengatakan kalau uang yang saat ini dipegang oleh Ernest tidak akan
Setelah mendapat kepastian akan kehamilan istrinya, Harvey mencari seorang asisten rumah tangga untuk menemani Lillian saat dia tak ada di rumah. Untuk mobilitas Lillian, Harvey juga menyediakan seorang sopir yang bisa mengantarkan Lillian tanpa harus memakai taxi online.Rencana tentang pembukaan rumah makan masih akan dilanjutkan. Saat Harvey sibuk dengan pekerjaannya di kantor, maka Lillian kembali menekuni laptopnya. Dia membuat catatan tugas dan tanggung jawab orang - orang yang akan bekerja di rumah makannya, menetapkan kriteria lalu mulai menyusun iklan lowongan pekerjaan yang akan dia unggah di media sosial.Usai mengunggah lowongan, Lillian memeriksa aplikasi dimana dia memesan barang - barang secara online. Seharusnya pesanannya itu akan tiba hari ini dan bisa segera dibawanya ke rumah makan. Dia tak sabar ingin segera membuka rumah makannya. Senyum mengembang saat membaca kalau pesanannya sedang dalam proses pengiriman oleh kurir menuju ke rumahnya."Permisi, Nyonya.... " pa
Mobil terus meluncur. Tiba - tiba ada suara keras datang dari samping badan mobil. Suaranya seperti sebuah pukulan.DUK! DUK!Ernest dan Lillian menoleh berbarengan ke arah asal suara. Sopir melirik dari kaca spion tanpa mengurangi kecepatan. Mereka melihat dua orang laki - laki naik sepeda motor melaju di samping mobil mereka."DUK!" Orang yang duduk di belakang meninju mobil sementara yang satunya lagi berusaha mengendalikan motor supaya tidak oleng. Mereka berusaha mengikuti lajunya mobil."Sialan!" umpat Ernest. "Tambah kecepatan!" perintahnya pada sopir.Sopir bermanuver, dia sengaja menyenggol motor yang berada di sisi kanannya. Motor pun oleng karena menghindari tabrakan. Sopir mobil memakai kesempatan ini untuk menginjak pedal gas dalam - dalam. Meluncur cepat melalui jalan pintas di dekat perumahan yang tidak terlalu padat.Lillian memandang orang yang berusaha mengejar mobil mereka. Dia tahu kalau itu sopirnya bersama satu orang berseragam, satpam perumahan mereka. "Ya Tuhan
Decitan suara rem terdengar memekakkan telinga saat pengemudi menginjak rem dalam - dalam. Tubuh Lillian terasa seperti di dorong ke depan karena rem yang mendadak. Belum pulih dari rasa terkejutnya, Lillian kembali mendengar suara benda keras berbenturan. Arahnya dari sisi depan mobil. Benturannya cukup keras hingga Lillian kembali oleng. Ikatan di tangan membuatnya sulit bergerak."Sialan! Kurang ajari!" umpat Ernest. Dia menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih jelas dari kaca jendela. Keningnya sampai terantuk kursi yang ada di depannya. Untung saja dia sempat berpegangan. Moncong mobil mereka menabrak bagian samping sebuah mobil yang tiba - tiba saja menyalip dan menghalangi mobil mereka. "Siapa yang berani menabrak?" Belum sempat sopir menjawab, mereka melihat seseorang keluar dari pintu pengemudi. Disusul, tak lama kemudian, sebuah mobil dan dua sepeda motor berhenti mengelilingi mobil mereka.Ernest dan sopirnya yang ada di dalam mobil celingukan kaget melihat banyak orang
Lillian dirawat di rumah sakit.Marcia bergegas menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah cepat. Ketukan heels-nya bergema di lorong yang sepi itu. Matanya bergerak - gerak membaca nomor - nomor kamar, sampai akhirnya dia melihat seorang laki - laki berjaga di depan sebuah pintu kamar.Marcia berhenti dan bertanya, "Lillian Luther ada di dalam?"Jack berdiri dengan sikap sopan tapi tegas balas bertanya, "Mohon maaf. Apa boleh tau siapa nama anda, Nyonya?""Marcia. Marcia Luther. Saya ibu kandung Harvey dan mertua Lillian," jawab Marcia dengan napas terengah - engah. Dia mendengar dari Harvey kalau Ernest melakukan penculikan pada Lillian.Jack membukakan pintu dan mempersilahkan Marcia. Tanpa ragu, Marcia melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap."Lillian... "Tubuh Lillian terkulai lemas di ranjang, menantunya itu menoleh dan sebuah senyum terbit di wajahnya yang pucat, berusaha menampakkan semua baik - baik saja."Astaga! Apa yang terjadi? Harvey menelepon aku, katanya kamu di ru
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang