Harvey oleng. Kakinya goyah ketika membayangkan kecurigaannya benar. Perasaan gembira yang menggebu - gebu berdesakan di dada. Dia segera mengambil ponsel. Dia menghubungi sekretarisnya untuk menggeser jadwal meeting internal pagi ini. Tak lupa dia mendelegasikan beberapa pekerjaan pada asistennya.Selesai koordinasi dengan asisten dan sekretarisnya, Harvey mengendarai mobilnya dengan cepat menuju ke apotek terdekat. Ada yang lebih urgent dari pekerjaannya saat ini. Mobilnya meliuk - liuk bagai pengendara profesional menembus ramainya jalanan di pagi hari. Di apotek, Harvey langsung membeli alat tes kehamilan. Tidak tanggung - tanggung, dia meminta lima merk yang berbeda sekaligus dengan pemikiran supaya hasilnya lebih akurat.Separuh hatinya sangat yakin kalau Lillian sedang mengandung anaknya, buah cinta mereka. Tapi dia juga tak mau gegabah untuk terlalu berbahagia sebelum melakukan test kehamilan pada istrinya."Ayo! Coba test urine-mu!" perintah Harvey sambil meletakkan kelima ala
Setelah dari rumah sakit, Marcia dan Lillian berencana seharian di mall. Mereka akan makan siang, belanja baju hamil, mencari skincare yang aman untuk ibu hamil dan melakukan perawatan tubuh, sementara Harvey kembali ke kantor. Lillian mencium pipi Harvey dan turun dari mobil bersama Marcia. Hal pertama yang akan mereka lakukan adalah window shopping. Ini pertama kalinya mertua dan menantu itu melakukan kegiatan bersama. Dan, hanya berdua.Perlahan - lahan mereka berjalan menyusuri etalase - etalase toko, melihat barang - barang 'new arrival dan sale' di toko - toko barang bermerk. Produk - produk mereka dijamin berkualitas tapi harga selangit. Sesekali mereka masuk untuk mengecek harga barang yang menarik perhatian mereka.Perasaan Lillian terasa sangat ringan untuk dua alasan yang berbeda. Yang pertama, hubungannya bersama Marcia sudah jauh lebih baik. Marcia belajar menjadi mertua yang baik. Alasan keduanya, hari ini adalah pertama kali dalam hidup Lillian merasakan belanja dalam a
Alis Harvey naik, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memperhatikan pelayanan yang diberikan oleh Carina kepada Ernest, tamunya dan di kantornya. Daerah yang jelas - jelas wilayah kekuasaan Harvey. Dia memandang Carina dengan jijik, wanita ini semakin tak tahu malu saja.Mariana merinding. Harvey tidak mengatakan apa pun, tapi kemarahan seakan memancar dari seluruh tubuhnya. Auranya sudah terasa, bahkan dari radius dua meter. Dia berinisiatif menyuruh office girl segera meninggalkan ruangan sebelum situasi semakin tegang.Lift kembali berdenting. Kali ini Richard keluar dari kotak besi dan berjalan menghampiri mereka."Har," sapanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suasana tegang terasa sekali."Mariana, bawa wanita ini keluar. Setelah ini, dia hanya boleh berkunjung di ruang meeting atau ruang tamu. Bila perlu, kunci pintu ruangan ini saat kamu tidak ada," perintah Harvey terang - terangan menyatakan rasa tidak sukanya pada Carina."Tapi, Har. Aku adalah mitra k
Mariana melongok ke dalam ruangan Harvey. Setelah Ernest pergi, Harvey tidak kunjung memanggilnya. Sudah dua jam berlalu, meeting internal bahkan sudah berjalan tapi Harvey sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Untung saja, asisten Harvey sangat cekatan sehingga semua bisa ditangani dengan baik tanpa kehadiran pimpinan mereka. Ruangan Harvey yang biasanya terang benderang, kini meredup. Senja sebentar lagi turun. Cahaya matahari tidak mampu lagi menerangi ruangan besar ini. "Sir," panggil Mariana takut - takut. Langkahnya ragu - ragu untuk mendekat pada meja Harvey. Kursi Harvey berputar, tiba - tiba saja dia menghadap ke Mariana. Sekretaris itu sedikit berjengit kaget karena gerakan Harvey yang tiba - tiba. "Tadi saya tulis cek dua milliar untuk adikku. Tolong kamu cek rekening saya yang ini. Aku lupa, dana disitu cukup atau tidak." Harvey memberikan buku cek yang tadi dia pakai untuk Ernest. "Kalau kurang, kabari saja. Aku akan menambahnya dari rekeningku yang lain."
Helaan napas panjang terdengar dari Harvey, dia mendongak memandang langit dan bergumam, "Biasa, masalah pekerjaan yang tiada habisnya.Lillian terkekeh pelan, " Hmmm, iya. Aku juga pernah merasakannya.""Oh, yeah?"Lillian ikut mendongak, memandang langit yang terhampar di atas mereka. "Dulu aku sering merasa kepalaku penuh, dikejar dateline dan masalah pribadi. Rasanya sumpek. Orang - orang di kantor tidak memperhatikannya. Aku terus menyibukkan diri dengan pekerjaan padahal hatiku kacau."Harvey melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Lillian, memeluk istrinya dari belakang dan berkata, "Aku cuma tidak mau merusak mood karena ceritaku tentang Ernest. Kamu sedang hamil muda ini. Aku lihat akhir - akhir ini kamu terlihat kembali ceria seperti Lillianku yang dulu. Aku ingin kamu terus berbahagia."Lillian mengangguk setuju. "Ya, apa pun yang terjadi sudah tidak aku pedulikan lagi. Asalkan ada kamu di sampingku. Bukankah kamu pernah berkata kalau kita akan menghadapi semuanya bersama? Ja
Gloria sebenarnya sudah berusaha.Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya dia pernah berusaha menjadi kekasih yang baik bagi Ernest. Mereka bertemu di dunia malam dengan masalah masing - masing. Gloria dengan pekerjaannya sebagai 'pelayan' bar, sedangkan Ernest sebagai pelanggan tetap tempat itu.Dia masih ingat benar saat pertama kali bertemu dengan Ernest. Laki - laki itu mengingatkannya pada kakaknya yang meninggal karena over dosis. Dari sana Gloria merasa iba dan bertekad untuk membantunya keluar dari dunia hitam.Selama tahun pertama, semua berjalan lancar. Ernest mulai memberinya banyak hal, termasuk rumah yang dia pakai saat ini. Awalnya, Gloria tidak mempermasalahkan Ernest yang sering keluyuran, atau tidak kembali ke rumah. Puncaknya adalah saat Gloria hamil dan melahirkan. Ernest sering datang dan muncul seenaknya dalam keadaan mabuk. Gloria tahu kalau Ernest kembali ke kebiasaannya. Uang bulanan yang diberikan pun kian menyusut. Saat disinggung soal itu, Ernest malah emosi d
Saat Monica tengah bingung dengan nasib bayinya yang kemungkinan besar lahir tanpa ayah, laki - laki yang tengah menghamilinya itu sedang berdiri di sebuah halte bus yang sepi. Lalu lalang orang - orang yang lewat tidak dia hiraukan sama sekali. Teriakan kondektur yang mengajaknya naik tidak dia hiraukan. Dia hanya berdiri menatap jalan dengan pandangan yang kosong.Debu, asap knalpot yang terbawa angin menerpa wajahnya. Tetap tidak dia pedulikan. Dia terbatuk - batuk tapi tidak berpindah tempat, sebaliknya malah menyalakan puntung demi puntung rokok dan menikmatinya dalam diam. Dia menghela napas, lalu menyemburkan asap keluar dari hidung. Gulungan - gulungan asap rokok membumbung ke udara menjadi temannya.Di kantongnya saat ini ada sejumlah uang, dia sudah menggunakan sebagian uang itu untuk bersenang - senang. Tapi, tetap saja hatinya tak tenang. Hatinya kian gelisah. Pelatihan pengendalian pikiran yang dia pernah dipelajarinya selama di panti hilang tak berbekas dalam hitungan ja
Setelah pertemuan dengan Monica, Gloria mencari pekerjaan. Dia harus melakukan sesuatu untuk masa depannya sendiri dan juga puterinya. Dia memutuskan untuk masa bodoh dengan Ernest yang datang dan pergi sesukanya. Suatu hari kalau laki - laki itu berani menginjakkan kaki di rumahnya, Gloria tak akan segan lagi mengusirnya. "Hhh... Kamu harus bersyukur karena Ernest tidak menikahimu. Lebih baik single dari pada menikah dengan laki - laki sepertinya. Sebelum denganmu, dia sudah punya istri. Lalu setelah bersamamu, hari ini, seorang wanita bernama Monica mengaku hamil anak Ernest. Siapa yang bisa menjamin tidak ada wanita lain di masa yang akan datang?"Itu adalah nasehat sekaligus penghiburan terbaik yang bisa diberikan oleh Francess pada sahabatnya.Gloria bisa mengerti maksud baik Francess, yang sudah berusaha keras mencarikan pekerjaan untuknya. Hal - hal yang disampaikan oleh Francess terasa masuk akal. Temannya itu mengatakan kalau uang yang saat ini dipegang oleh Ernest tidak akan
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang