“Lain kali jangan suruh aku ke sana, Oma.” Hanzel memberikan kue yang dibawanya ke sang oma dengan ekspresi wajah kesal. “Lho, kenapa?” Sang oma bingung karena Hanzel terlihat kesal dan marah. Hanzel tak menjawab pertanyaan sang oma. Dia langsung pergi begitu saja. Hanzel berpapasan dengan Cheryl, tapi dia juga tak menyapa wanita itu. “Kenapa lagi dia?” Cheryl kebingungan melihat sikap Hanzel. Cheryl menoleh ke sang mertua yang sedang menatap bingung ke Hanzel. Dia pun mendekat ke wanita tua itu. “Hanz kenapa lagi, Mi?” tanya Cheryl. “Mami tadi minta dia ambilin pesanan kue, eh pulang-pulang kok kesel dan bilang jangan menyuruhnya ke sana lagi,” jawab wanita tua itu, lantas membuka paper box yang diberikan Hanzel, takut ada masalah dengan kuenya karena Hanzel emosi. “Tumben-tumbenan dia disuruh marah-marah?” Cheryl pun ikut bingung. Sang oma mengecek kue yang dibawa Hanzel, tidak ada masalah tapi keheranan karena Hanzel kesal. “Padahal yang punya toko sangat ramah, anaknya
Hanzel benar-benar pergi menemui Jill. Mereka janji bertemu di sebuah kafe setelah Jill mengiakan menemui Hanzel.“Maaf kalau sebelumnya aku tidak menjawab panggilanmu. Apa karena itu sekarang kamu ingin bertemu? Padahal besok masih ada waktu lain untuk bertemu,” ucap Jill sambil menatap Hanzel yang kini sudah ada di hadapannya.Hanzel menatap Jill yang kini bersamanya. Sejak bersama Jill, banyak hal yang bisa dilepaskannya, termasuk beban kerja yang berat.“Entahlah, aku tidak bisa menunggu besok,” balas Hanzel.“Ada apa? Apa ada masalah?” tanya Jill sambil menatap serius ke Hanzel.“Jill, apa kamu akan pergi meninggalkanku?” tanya Hanzel tiba-tiba.Jill sangat terkejut mendengar pertanyaan Hanzel. Bahkan secara impulsif sedikit memundurkan tubuh, padahal sebelumnya dia sedikit maju ke meja.“Ap-apa? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”Hanzel menarik napas panjang lantas menghela perlahan seolah siap bicara.“Tidak ada, aku hanya takut kamu tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Aku tahu i
Hanzel diam di ruang kerjanya. Dia terus memikirkan ucapan Jill semalam yang membuatnya tak tenang sama sekali. Jika dulu dia mudah meninggalkan satu wanita untuk wanita lain, tapi berbeda dengan sekarang.“Tidak bisa!”Hanzel tiba-tiba berdiri lantas keluar dari ruang kerjanya.“Anda mau ke mana, Pak?” tanya sekretaris Hanzel saat melihat atasannya itu keluar ruangan.“Aku ada urusan sebentar,” jawab Hanzel sekalian pamit ke sekretarisnya itu.“Baik, Pak.”Hanzel pergi dengan sedikit terburu-buru. Dia pun meninggalkan perusahaan begitu saja. Hanzel mengecek ponsel lantas menghubungi Jill.“Kamu di mana?” tanya Hanzel saat panggilannya dijawab Jill.“Ada apa? Aku ada di perusahaan,” jawab Jill dari seberang panggilan.“Bisa bertemu sekarang?” tanya Hanzel sambil mengemudikan mobil.“Te-tentu.”Hanzel mendengar suara Jill yang tergagap, mungkin wanita itu terkejut karena Hanzel mengajaknya bertemu secara tiba-tiba.“Aku akan menjemputmu di perusahaan sekarang,” ucap Hanzel lantas menga
“Masa lalu mana yang kamu maksud?” tanya Hanzel dengan tatapan bingung. “Milea,” jawab Jill, “kamu masih mengharapkannya, Hanz.” “Aku dan dia sudah berakhir,” balas Hanzel meyakinkan. “Tidak, tatapan matamu cukup menunjukkan jika masih ada cinta untuknya, Hanz. Jangan mengelak dari hal itu, jangan menyakiti dirimu, diriku, atau dia dengan keputusan spontanmu. Meski aku menyukaimu, tapi bukan berarti aku bisa mengesampingkan perasaan orang lain. Aku tidak begitu. Sejak melihat tatapanmu kepadanya, aku tahu kalau dia masih memiliki tempat di hatimu.” Jill menatap Hanzel penuh keseriusan. Dia mencintai pria itu sejak pertama kali bertemu, tapi Jill memiliki alasan lain untuk tak egois dengan perasaannya. “Itu hanya pemikiranmu saja. Berhenti membahasnya, aku hanya berusaha untuk mengakhiri perasaanku kepadanya, apa salah jika aku ingin membuka hati untuk orang lain?” Hanzel menatap Jill untuk terus meyakinkan. “Tidak ada yang salah dengan itu, Hanz. Hanya saja, akan ada yang dikorb
Hanzel sangat terkejut dengan yang dilihat. Dia langsung mendekat dan mengambil Kainan dari pelukan Milea. Milea sangat syok melihat Hanzel di sana, apalagi pria itu langsung menggendong Kainan. “Kita bawa ke rumah sakit,” ucap Hanzel tanpa berpikir lama. Hanzel setengah berlari sambil menggendong Kainan menuju mobilnya. Milea ikut berlari di belakang Kainan dengan air mata yang terus mengalir. “Masuklah!” perintah Hanzel. Milea masuk ke bagian belakang, lantas Hanzel meminta Milea memangku Kainan. Setelah memastikan Milea memangku dengan benar. Hanzel segera masuk ke belakang kemudi, lantas melajukan mobil menuju rumah sakit. Sesekali Hanzel melirik dari spion tengah. Dia melihat Milea yang masih menangis sambil memeluk erat bocah laki-laki itu. Sesampainya di rumah sakit. Hanzel yang menggendong Kainan keluar dari mobil, lantas buru-buru membawa ke IGD diikuti Milea yang sudah lemas karena panik dan ketakutan. Perawat dan dokter jaga langsung mengambil alih Kainan, mereka l
“Kita tak seharusnya pergi ke pesta malam itu,” ucap Milea akhirnya mau membahas masa lalu. Milea dan Hanzel kini duduk di ruang inap Kainan sambil membahas masa lalu. “Karena kejadian itu? Bahkan karena ketidaksengajaan itu?” Hanzel menatap Milea yang duduk di seberangnya. Milea awalnya menatap Kainan, lantas beralih menatap Hanzel yang sudah memandangnya. “Iya, aku lupa sedang berada di fase masa subur, Hanz. Aku tidak pernah menyesal, hanya saja ….” Milea menghentikan ucapannya, lantas kembali menatap Kainan. “Hanya saja apa?” tanya Hanzel penasaran. Milea kembali menatap Hanzel, lantas tersenyum tipis. “Aku tidak bisa memberitahumu saat tahu hamil. Ada mimpi yang harus kamu gapai, sedangkan orang tuaku sempat tak menginginkannya. Saat itu, sulit bagiku membuat keputusan,” ujar Milea menjelaskan. Hanzel terkejut mendengar ucapan Milea, tapi dia tak mau memotong apa yang diucapkan wanita itu. “Papa murka. Jika aku menyebut namamu, maka aku yakin semua impianmu dan orang tuam
“Hanz!” Aruna begitu syok sampai kepalanya pening mendengar pengakuan Hanzel. Ansel hanya menggaruk kepala karena bingung dengan yang terjadi. Hanzel menemui Aruna dan Ansel, dia merasa jika bisa bicara dulu dengan mereka sebelum membicarakan soal Kainan ke keluarganya. “Jangan bercanda, Hanz. Jangan karena kamu sangat mengharapkan Milea, kamu mengaku-ngaku kalau anak Milea itu anakmu,” ujar Aruna masih menyangkal pengakuan Hanzel. “Aku tidak mengaku-ngaku. Kainan mirip denganku saat kecil, golongan darah kami pun sama, bahkan Milea mengakui kalau anak itu, anakku,” balas Hanzel meyakinkan. Aruna dan Ansel saling tatap mendengar ucapan Hanzel. Mereka benar-benar tak menyangka jika Hanzel memiliki anak dari Milea. “Jika memang itu anakmu, lalu sekarang kamu ingin melakukan apa? Kamu akan memberitahu kedua orang tuamu?” tanya Aruna. “Aku harus memberitahu mereka, karena itu aku ke sini meminta pendapat kalian. Aku tidak mungkin membiarkan Milea terlantar lagi, sudah cukup dia meng
“Hanz!” Cheryl sangat terkejut mendengar pengakuan putranya.“Jangan bercanda, Hanz.” Orion juga sangat terkejut mendengar pengakuan putranya itu.Hanzel melihat kedua orang tuanya yang sangat syok, bahkan sang mami sampai memegangi dada karena sangat terkejut.“Aku tidak bercanda. Aku juga baru tahu hari ini. Dia memang anakku, dari segi wajah sama, bahkan golongan darah pun sama,” ujar Hanzel meyakinikan.“Hanz!” Cheryl mendadak seperti terkena serangan jantung karena dadanya terasa sesak.Orion yang mengetahui hal itu buru-buru mengambil air agar sang istri agak tenang.Hanzel sangat cemas melihat sang mami yang sangat syok. Dia menatap sang mami yang sedang minum, sebelum kembali meyakinkan.Orion menatap Hanzel yang tampak tenang. Dia sampai menghela napas kasar.“Kamu tidak bercanda, Hanz? Jangan bilang kamu mengakui untuk suatu tujuan saja,” ucap Orion masih mencoba tenang meski hatinya tak karuan mengetahui putranya mempunya anak di luar nikah.“Aku tidak bercanda, Pi. Dia ben