Aruna pergi ke perusahaan di hari berikutnya. Dia berjalan masuk lobi, hingga langkahnya terhenti saat melihat banyak orang sedang berkerumun di sana.“Bu Aruna.”Aruna menoleh saat melihat satpam menghampirinya.“Ada apa ini, Pak?” tanya Aruna ke satpam.“Itu ada kiriman bunga untuk Bu Aruna,” jawab satpam.Aruna terkejut mendengar ucapan satpam. Dia pun buru-buru mendekat ke kerumunan staff yang ada di sana, lantas melihat bunga apa sampai semua orang berkerumun di sana.Hingga Aruna terlihat sangat terkejut ketika melihat banyaknya buket bunga yang ditata di tengah lobi, jika dihitung mungkin lebih dari puluhan buket.“In-ini?” Aruna sangat syok dengan yang dilihatnya.Di saat yang bersamaan Langit pun baru saja tiba di lobi. Dia melihat staff yang berkerumun di sana, sehingga dia mendekat untuk melihat apa yang terjadi.“Dari siapa untuk siapa?”Suara Langit mengejutkan semua orang, terutama para staff. Mereka menoleh ke Langit, hingga satu persatu dari mereka membubarkan diri kar
Aruna sangat terkejut saat Ansel menarik lengannya, hingga dia melihat pria menggunakan jaket hitam dan masker yang menutup setengah wajah berada dekat dengan mereka. Dia baru menyadari apa yang dilakukan pria itu hingga Ansel menariknya. “Ans!” teriak Aruna saat melihat tangan pria asing mengarah ke Ansel dan dirinya. Aruna melihat pria itu menarik tangan, hingga terlihat belati dengan darah yang melumuri benda silver itu. “Ans!” Aruna syok saat Ansel terkena tusuk karena melindunginya. Aruna langsung mencoba menopang tubuh Ansel yang luruh ke tanah. Pria yang menyerang Aruna pun kabur setelah salah menusuk. “Ans! Kenapa ….” Aruna terduduk di tanah dengan Ansel yang ada di pangkuannya. Dia melihat banyak darah mengalir dari perut pria itu. “Bumi! Bumi tolong!” teriak Aruna sambil menoleh ke kafe memanggil Bumi. “Bertahanlah,” ucap Aruna dengan suara bergetar. Tubuhnya gemetar melihat Ansel yang terluka. Ansel menahan sakit karena tusukan yang lumayan dalam. Dia melihat Aruna
“Runa!” Sashi langsung datang ke IGD saat mendengar dari perawat jika Aruna di sana. Tentunya sebagai kakak, Sashi cemas terjadi sesuatu dengan Aruna. Bumi menoleh saat mendengar suara Sashi, sedangkan Aruna masih menundukkan kepala. Aruna menunduk dengan kedua tangan yang masih berlumuran darah. Dia gemetar karena harus melihat Ansel yang masih mendapat penanganan medis. “Runa.” Sashi langsung berlutut di depan adiknya itu. Aruna mengangkat wajah hingga melihat Sashi yang sudah di depannya. Dia pun menangis, lantas dipeluk Sashi. “Dia akan baik-baik saja, kan? Semua karenaku, semua salahku.” Aruna menangis lagi setelah dipeluk Sashi. Sashi pun mencoba menenangkan. Dia melirik Bumi yang duduk di samping Aruna. “Kamu harus tenang. Aku yakin dia akan baik-baik saja, dokter sedang menanganinya,” ucap Sashi mencoba menenangkan. Aruna menangis semakin keras, membuat Sashi kebingungan karena baru kali ini melihat Aruna seperti ini. Setelah beberapa saat menangis dalam pelukan Sash
“Oma! Oma! Oma!” teriak Emily mencari Ayana. Emily baru saja pulang sekolah. Dia berlari mencari Ayana sambil memegang ponselnya. “Ada apa, Sayang? Kenapa lari-lari?” tanya Ayana keheranan saat melihat Emily berlarian di dalam rumah. “Ini, Kakak Cantik telepon, katanya mau bicara dengan Oma,” jawab Emily sambil memberikan ponselnya ke Ayana. “Kakak Cantik?” Ayana pun terkejut mengetahui Aruna hendak bicara dengannya. Ayana terlihat was-was, tapi tetap menerima ponsel Emily untuk bicara dengan mantan kekasih putranya itu. “Emi ganti baju dulu, ya. Oma bicara sama Kakak Cantik dulu,” ucap Ayana ke Emily setelah menerima ponsel dari cucunya itu. Emily menganggukkan kepala, lantas berlari ke kamarnya meninggalkan Ayana di ruang keluarga. Setelah memastikan Emily pergi, Ayana pun menjawab panggilan dari Aruna. Dia sengaja mau bicara setelah Emily pergi karena tak ingin cucunya itu mungkin mendengar hal yang tak seharusnya didengar. “Halo.” Ayana menjawab panggilan dengan rasa cema
“Maafkan aku, Bibi. Ans seperti ini karena menolongku.” Aruna bicara sambil menunduk.Aruna langsung minta maaf saat Ayana datang bersama ayah Ansel. Dia juga menceritakan kronologi kejadian agar kedua orang tua itu tak salah paham.Ayana benar-benar masih syok mengetahui putranya jadi korban penusukan. Bahkan kedua kelopak matanya pun terlihat bengkak karena menangis.“Ini musibah, tidak ada yang perlu disalahkan,” ujar Deon mencoba meredam ketegangan karena kasus yang terjadi.Aruna tetap merasa bersalah meski ayah Ansel terdengar tak mempermasalahkan apa yang terjadi.Ayana menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Dia pun mendekat ke Aruna, kemudian menepuk lengan mantan kekasih putranya itu.“Kamu bukan sengaja ingin membuat Ans terluka. Lagi pula Ans melakukannya pasti atas kesadarannya sendiri,” ucap Ayana terlihat ikhlas meski dalam tatapannya tampak kesedihan.Aruna masih diam sambil menunduk. Tangannya terlihat gemetar karena harus melihat banyaknya darah Ansel, s
Semalaman Aruna tidak bisa tidur, bahkan saat pagi hari pun dia sudah bangun karena terus memikirkan kondisi Ansel. Saat Aruna masih diam di ranjang, ponselnya yang ada di atas nakas berdering, membuatnya buru-buru mengambil benda pipih itu. “Emi.” Aruna melihat nama Emily terpampang di layar. Dia pun menebak jika gadis kecil itu pasti sedih karena Ansel masuk rumah sakit sehingga menghubunginya. Dia pun buru-buru menjawab panggilan itu. “Halo, Emi.” “Kakak Cantik. Papi masuk rumah sakit.” Aruna mendengar Emily yang menangis dari seberang panggilan. “Emi, Emi tenang dulu,” ucap Aruna berusaha menenangkan. “Papi takut jarum suntik. Tapi dia malah sakit, pasti Papi kesakitan. Aku mau lihat Papi, tapi tidak boleh.” Aruna kembali mendengar Emily merengek sesekali terisak. Dia juga terkejut mendengar Ansel takut suntik. Dia menengok ke jam digital yang ada di atas nakas, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. “Emi, bukankah Emi harus ke sekolah?” tanya Aruna untuk mengalihkan pe
Aruna pergi ke rumah sakit setelah mengantar Emily. Dia kini berada di depan pintu ruangan Ansel, tapi tidak langsung masuk ke kamar itu. Aruna memandang pintu kamar inap. Dia menggigit bibir bawahnya, terlihat ada kecemasan yang dirasakannya. Hingga saat Aruna masih berdiri mematung di sana, pintu kamar itu terbuka membuat Aruna terkejut. “Kamu mau menjenguk Ansel?” tanya Deon saat melihat Aruna di sana. Aruna sedikit panik, tapi tak mungkin berkata jika tak ingin menjenguk. “Iya, Paman.” Aruna menjawab sambil menganggukkan kepala. “Masuk saja. Dia sudah sadar, hanya saja masih kesulitan untuk duduk. Aku harus ke kantor karena ada urusan,” ujar Deon mempersilakan Aruna masuk. Aruna pun mengangguk lantas sedikit membungkukkan badan mendengar ucapan Deon. Dia pun memandang Deon pergi, sebelum akhirnya memantapkan hati masuk. Saat baru saja masuk ruangan itu. Aruna melihat Ansel yang masih berbaring di ranjangnya. Dia masuk perlahan, hingga tanpa diduga Ayana menoleh. “Runa.” An
Aruna gelagapan mendengar pertanyaan Ansel. Belum lagi Ansel menatapnya dengan keseriusan.“Aku mengatakan itu hanya agar kamu bertahan,” elak Aruna yang panik.“Aku sudah bertahan dan selamat. Apa aku tidak bisa meminta kesempatan kedua? Aku menyadari satu hal sejak kita kembali bertemu. Aku masih sangat menyayangimu, Runa.”Jantung Aruna mendadak berdegup cepat saat mendengar ucapan Ansel.“Aku tahu sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Jadi bisakah aku memiliki kesempatan lain untuk membahagiakanmu, Runa.” Ansel menatap penuh harap ke Aruna.Aruna diam memandang pria itu. Dia sendiri bingung harus bagaimana membalas ucapan Ansel.“Kamu belum memperbaiki apa pun, bagaimana bisa kamu meminta kesempatan kedua?” Akhirnya Aruna bicara.“Aku ingin memperbaikinya,” ucap Ansel meyakinkan.“Bagaimana? Katakan bagaimana caramu memperbaikinya?” tanya Aruna sambil menatap sendu ke Ansel.“Apa pun yang kamu inginkan, aku akan melakukannya selama itu bisa membuatmu benar-benar memaafkanku