"Pantas saja Lala tidak simpati atau pun empati sama kamu. Ternyata kamu itu bar-bar," ledek Rusly dengan melepaskan terkamannya."Ka-kamu mengenalnya?" tanya pemilik warung makan itu dengan nada terbata dan ekspresi wajah pucat dan takut."Ya." Rusly membuang napas kasar lalu memperbaiki bajunya. Keringat mengalir dari keningnya."Jangan sesekali membentak orang tua!" bisik Rusly tepat di daun telinga suaminya Lala.Suasana sore hari sangat tidak enak sejak tragedi yang ada. Rusly sudah tidak selera lagi menghabiskan nasi yang ada di meja. Namun, perutnya masih belum kenyang.***"Mau sampai kapan aku menasihatimu, Nesya!" cetus Lala. Baru saja dia tiba di rumah sudah merah padam. "Aku tidak ikhlas dan ridho kalau kamu kembali dekat bahkan sampai rujuk dengan Rusly.""Kalau kamu hanya membahas itu dan itu lagi, lebih baik kamu pergi dari sini!" usirku dengan terpkasa. Aku malas membahas yang tidak ada sama sekali manfaatnya. Apakah kamu tidak ada pekerjaan lain selain mengurus aku da
"Dari mana kamu mengetahui alamatku?" tanyaku dengan nada sinis. Aku sudah tidak ada lagi komunikasi dengan pria yang pernah menjadi suamiku walau hanya sekejap saja. Dia malah datang pada saat yang tidak tepat."Aku bisa saja mengetahui tentang apa yang kamu lakukan. Dinding kontrakanmu saja bisa jadi CCTV dan akan melaporkan semuanya kepadaku."Aku memasang wajah tidak suka. Aku tahu membenci atau menaruh dendam kepada seseorang tidak elok. Namun, keputusan yang diambil membuat aku menyabet gelar janda dua kali. Padahal dari awal sudah kukatakan jangan buru-buru. Tidak dihiraukan sama sekali.Arlan melangkah pelan menghampiriku. Namun, aku menjauh dari terkaman buasnya. "Aku belum menyentuhmu sama sekali. Aku juga belum menceraikanmu. Aku ingin melakukan aktivitas halal bersama istri tercinta." Ucapannya sangat menyeramkan. Aku memasang kuda-kuda lebih waspada. Walau bagaimanapun itu, aku tidak mau masuk ke dalam terkaman buasnya. "Mahar yang aku keluarkan belum sempat kucicipi, mal
Semua berlalu begitu saja. Aku juga tidak bisa memberikan informasi yang akurat. Arlan mengulas senyum tipis seolah mengejek kalau dia berhasil dan menang.***"Aku mau cukup sampai di sini saja pernikahan kita," sergah Lala dengan nada emosi. Langit hitam penuh sinar sang bintang dan bulan. Dia sudah merasa bosan dan jenuh dengan suaminya. Dulu alasan Lala menikung suami orang lain karena ingin merasa hidup bergelimang harta. Keinginannya tercapai setelah menikah dengan Rusly dan suami keduanya. Namun, apa yang dia harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Kini dia sadar akan hal itu. Bergelimang harta tidak membuat nyaman dan senang. Hati dan pikirannya laksana terbelenggu."Kenapa kamu malah meminta berpisah?" tanya suaminya dengan nada dingin. Lala tidak ingat kalau dirinya telah berhutang Budi kepada suami ke duanya. Dia sempat terlilit hutang setelah semua rahasianya terbongkar. Pada saat itu ada dua pilihan. Mau menikah dengan suaminya yang sekarang atau mendekam di balik jeru
"Sayang, kenapa kamu diam saja?!" teriak Lala terus berusaha menghindar. Pria yang sudah siap menghantam dirinya sudah mulai mendekat dan bahkan sudah berada di atas ranjang. Tolong aku, sayang!" teriaknya kembali. Namun, tidak ada sama sekali respon dari suaminya. Pasrah, tetapi dia tidak merelakan kalau tubuhnya disentuh oleh pria lain dan bahkan di depan mata kepala suaminya. Air mata kini mengalir tanpa diundang begitu deras. Di dalam hatinya, Lala merapalkan istighfar berkali-kali sambil berusaha menghindar. "Aku yakin kamu pasti haus belaian 'kan?!" bisiknya dengan mencoba mengelus wajahnya, Lala. Air mata yang sebak sudah tidak tertahankan lagi. "Suamimu sangat enggan menyentuhmu. Dia mau menikahimu untuk mendapatkan uang dengan instan tanpa perlu repot-repot bekerja keras banting tulang dengan cara menjual istrinya kepada pria yang haus akan belaian."Pria itu menatap ke arah suaminya Lala seolah meminta izin apakah sudah boleh dia menggauli perempuan yang sudah tidak berdaya
Part 95: Jangan Ngumpet"Ibu tidak mungkin kembali ke pelukan ayahmu, Nak."Tiba-tiba, Dhea pergi begitu saja dan tidak menghiraukan perkataanku. Baru sekejap aku memejamkan mata. Dhea sudah menghilang."Dhea .... Kamu ke mana, Nak?!" panggilku dengan nada tinggi. Aku tersentak bangun. Ternyata aku mimpi bersua dengan Dhea.'Apa kabarmu, Nak?! Kenapa ibu mimpi bertemu denganmu? Segitunya kah Rusly menginginkanku agar menerima rujukannya?' Aku memejamkan mata lalu membukanya. 'Apakah aku harus luluh dan ikhlas menerima tawaran mantan suamiku?' Aku gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Di usia seperti ini, aku memang sangat membutuhkan pria sebagai pendamping dalam menakodahi bahtera rumah tangga. Apalagi aku masih butuh belaian untuk memenuhi nafsuku. Rasa kesepian ini terkadang tidak bisa kubendung. Daripada jatuhnya ke Zina, aku harus membuka hati kepada pria yang mau menerima apa adanya dan membimbingku ke jalan yang di ridhoi oleh Allah.Waktu terus bergulir. Tidak terasa sud
"Kami hitung sampai tiga." Suara gertakan dan ancaman membuat aku semakin down. Aku mencoba menenangkan diri. Namun, suara riuh di luar membuat aku semakin nelangsa dan panik. "Kalian tidak bisa melarikan diri dalam kasus ini. Dan kami akan melaporkan kamu sesegera mungkin ke kepala desa."Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Teror selalu datang silih berganti tiada henti. Namun, otakku berpikir sejenak. "Kenapa aku harus takut? Toh juga tidak ada salah dan dosaku dalam kasus ini. Kalau pun mereka mengkasuskannya, aku punya bukti yang kuat kalau bukti transfer itu palsu alias editan."Bisa saja ini adalah cobaan. Akan tetapi, apa salah dan dosaku yang belum bisa termaafkan sehingga setitik kebahagiaan tidak pernah kucicipi setelah bercerai dengan Rusly? Apakah karena aku dan dia tidak rujuk? Atau ada salah dan dosa yang selama ini aku lakukan sehingga cobaan selalu datang tanpa mengetahui waktu dan tempat? Aku merenung sejenak.Suara di depan rumah kini tidak ada lagi. Apakah merek
"Sudahlah! Kamu manut saja!" Rusly terus menarik lenganku tanpa sedikit celah. Aku merasa kesal. Tidak ada hujan dan tidak ada angin. Dia malah main paksa macam binatang buas yang siap menerkam."Tolong hentikan trik brutalmu ini!" sergahku. Aku berusaha meronta dari terkamannya. Dari dulu Rusly tidak pernah berperilaku lemah lembut. Aku diam sejenak meratapi nasib. Kenapa bisa takdirku seperti ini? Apakah tidak ada setitik kebahagiaan yang menghampiriku? Atau ini ujian bagiku yang berdosa? Akh ... aku memejamkan mata sejenak."Kamu harus ikut aku sekarang juga!" paksa Rusly kembali tanpa berprikemanusiaan.Aku semakin kesal ulahnya tidak pernah berubah. Daripada menahan sakit, lebih baik aku ikuti ritme permainannya. Raut wajahku kusut akibat menahan emosi dan kesal."Silakan masuk!" titahnya dengan nada tinggi sambil membuka pintu mobil. Sejenak aku mengernyit. Mobil siapa yang dia bawa? Kenapa dia bawa mobil? Tidak mungkin ada orang yang mau mengasih pinjaman atau sekedar meminjam
Tidak terasa sudah sampai di pelataran parkir. Aku mengedarkan pandangan ke arah samping kanan dan kiri. 'Sepertinya aku mengenal tempat ini?' batinku sembari mencoba mengingat-ingat daerah sekitar.Rusly melepas seat belt lalu membuka pintu mobil. Dia melangkah keluar. Setelah mengitari mobil. Perlahan dibuka pintu sebelah kanan. "Silakan keluar!" titah Rusly sembari mengulas senyum. Aku terkejut ketika melihat batu nisan di ujung sana. 'Apakah ini tempat pemakaman umum di mana Dhea dikebumikan?' Aku bermonolog. "Jangan melamun saja kerjamu!" hardik rusly mulai meninggikan suara. Aku memejamkan mata sejenak lalu membukanya. Rasa gemetar lahir di dalam tubuhku. Sudah berapa lama aku tidak datang ziarah ke makam anakku. Mungkin ini arti dari mimpi-mimpiku selama ini?Perlahan aku melangkahkan kaki ke luar dari dalam mobil. Sesekali kusapu sekitar. Sungguh banyak sekali perubahan. Banyak batu nisan yang baru. Ada juga tanah bekas galian masih basah. Kuayunkan langkah kaki terus mengek
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai