Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 07: Main TanganRusly nggak sabar esok tiba. Jam sudah menunjukkan dua puluh tiga lewat enam menit Waktu Indonesia Barat, rasa ngantuk sudah menghampiri netranya. Dia merebahkan badan gempal nya di atas ranjang. Akhirnya dia tertidur berlayar ke pulau seribu.Sementara ibu dan aku masih asyik bercengkrama di ruang tamu."Nesya, kalau Rusly mencoba macam-macam kepadamu, jangan sungkan cerita samaku. Agar ibu memberikan pelajaran padanya," ucap Bu Wardah sembari menyeruput teh manis hangat yang sudah dingin. Aku hanya mengangguk dan tidak menjawab apa yang diutarakan Bu Wardah."Maaf Bu, tanpa mengurangi rasa hormat. Alangkah baiknya kita istirahat sejenak, mataku sudah tidak bisa lagi di ajak kompromi untuk berceritera denganmu, Bu. Aku rasa lain kali saja kita lanjut," ucapku.Sebenarnya aku sangat sungkan mengatakan ini kepada ibu mertuaku. Aku takut dikatain kurang sopan."Aduh, aku sampai lupa waktu. Begini kalau sudah cerita, tidak sadar wak
Kain Basahan Basah di kamar MandiPart 07: Main TanganRusly datang sambil sibuk merapikan kancing bagian lengan. Dia memandangku melotot, seolah bola matanya mau keluar dari sarangnya. Aku bersikap biasa. Aku merasa tidak bersalah dalam hal apa pun."Nggak apa-apa, santai saja Bi Ijah. Lagi pula, Bi Ijah pasti capek habis bersihin gudang buat kamar tidur pembantu baru nantinya," ujarku sambil meletakkan telur dadar di meja makan.Aku sengaja menyuruh Bi Ijah membersihkan kamar belakang. Aku tidak mau lagi ada Lala di rumahku."Serius?! Nona Nesya nggak marah padaku?" tanya Bi Ijah dengan nada takut. Walaupun Bi Ijah sudah tahu, aku tidak bakalan pernah marah kepadanya. Lagi pula, aku sudah menganggap Bi Ijah sebagai ibu kandungku."Aku nggak berhak marah samamu, Bi. Dari segi usia nggak boleh marah kepada orang yang lebih tua. Pokoknya Bi Ijah santai saja. ok!" ucapku kembali.Senyum sumringah lahir di tepi bibirnya. Giginya nampak jelas berseri. Walaupun sebagian sudah ada yang copo
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 08: Tega Menuduh Aku Berzina"Apa mau kamu, Rusly?!" bentak Bu Wardah.Selama ini Bu Wardah tidak pernah berkata dengan nada tinggi. Kali ini dia tidak bisa lagi mengontrol emosinya. Menantu semata wayangnya disakiti anak kandungnya sendiri."Ng-nggak ada, Bu. Aa-aku hanya membela Lala saja."Rusly terbata, dia tidak tahu kalau ibunya datang pada saat memukul aku."Nggak ada kamu bilang?! Sudah jelas aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Masih saja kamu berbohong!" sergah Bu Wardah.Napasnya sudah tidak terkontrol karena darahnya mendidih. Bu Wardah lupa kalau dia tidak boleh terpancing emosi. Bisa-bisa darah tingginya naik."Kamu baik-baik saja 'kan, Non?" ujar Bi Ijah. Aku sangat lemas, sendi pertahanan di kakiku seolah tidak sanggup menopang tubuhku. Bi Ijah membantuku berdiri menuju kursi. Sementara Lala masih diam dan terkapar di atas lantai. Sesampainya, Aku meletakkan bobotku di atas kursi sambil mengambil napas panjang. Bi Ijah perg
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 08: Tega Menuduh Aku BerzinaSasak aku naik seketika, padahal tubuhku tadi masih lemah. Setelah mendengar tuduhannya yang sudah keterlaluan, aku langsung kuat dan tidak peduli lagi kalau ibu mertuaku sedang memijit tanganku."Ala nggak usah kamu berdalih. Seolah-olah kamu itu sangat suci. Ternyata di luar sana, kamu jauh lebih keji dan nista. Lebih nista daripada pelacur!" ledek Rusly."Sekeji itukah aku di matamu. Padahal janin yang ada dalam rahimku merupakan darah daging dan hasil buah cintamu kepadaku," ucapku dengan nada kesal dan gondok.Aku berpikir jernih untuk mencari jawaban yang tepat dan tidak bisa dibantah suamiku."Tanya saja sama rumput yang bergoyang! Mungkin dia bisa menjawab dari semua akar tuduhanku" jawabnya ketus.Aku tidak boleh lemah di hadapannya, meskipun hati ini remuk dan netraku mengukir mendung ingin menumpahkan semua buliran air mata. 'Kamu harus kuat, Nesya!' ucapku dalam hati."Apakah kehadiran janin ini kamu seng
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 09: Rencana Gagal"Silahkan saja! Paling nanti buktinya nggak akurat. Lagi pula, kamu itu wanita bodoh!" jawabnya datar dengan sorot mata tajam.Aku hanya diam dan buang muka. Aku tahu tidak ada gunanya berdebat dengannya. Dia selalu merasa menang dan benar."Kamu itu wanita lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Buktinya saja, kamu minta tolong mencari pekerjaan kepadaku. Kamu bekerja berkat usaha dan kerja kerasku. Kalau nggak, kamu pasti tidak mempunyai mata pencaharian sepersen pun. Anehnya, sejak kamu mulai kaya raya, malah mulai menginjak dan lupa daratan nan luas," ucap Rusly dengan sombong. Dia tidak tahu siapa diriku yang sesungguhnya.Aku hanya mampu menutup mata sejenak dan menganggap semua ocehannya laksana angin yang berlalu."Cukup, Rusly! Apa yang kamu kata sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Seharusnya kamu itu bersyukur mendapat istri seperti Nesya.""Ibu nggak usah ikut campur! Ini masalah biduk rumah tanggaku. Aku bisa
Kain Basahan Basah Di Kamar MandiPart 09: Rencana GagalRusly mengukir senyum tipis, dia melihat ke arah Lala.Suasana semakin rumit, aku tidak sanggup lagi berkata-kata melihat piciknya suamiku. Segala macam cara dia lakukan untuk memfitnah aku. Sungguh tidak kusangka."Kalau aku tahu, tidak mungkin kutanyakan lagi, Rus!," sahut Bu Wardah mulai kesal mendengar jawaban anaknya."Barang ini namanya tissue magic, Bu!" jelasnya dengan polos.Aku ingin mencari tahu apa itu tissue magic. Namun, aku lupa kalau ponselku ada di atas nakas. Akhirnya, aku memilih diam dan menunggu penjelasan suamiku. Sesekali aku memijit kening yang tidak sakit."Tissue magic," ucap Bu Wardah. Ibu melirikku penuh makna sambil geleng kepala. Aku hanya bisa menunduk. Aku merasa malu karena benda itu ada di tasku."Apa kamu mengetahui barang itu dan pernah menggunakannya, Nesya?!" tanya Bu Wardah spontan dengan wajah curiga."Wallohi, Bu! Aku tidak pernah memakai benda itu," jawabku tegas.Darahku mendidih menden
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 10: Kamu itu Pezina"Apanya yang tidak mungkin, Rusly?" tanya Bu Wardah."Tidak mungkin Nesya menggugat cerai. Aku yakin dan percaya itu."Aku ingin tertawa mendengar penuturan suamiku. Seolah dia tidak percaya apa yang aku katakan.****Flash back onSeminggu setelah check up, aku bersua dengan Dokter Faisal di salah satu restoran. Aku tidak tahu apakah itu kebetulan atau hanya spontan saja."Bu Nesya!" tegur Faisal dengan lembut. Aku mengarahkan pandanganku ke asal suara itu. Dari intonasi suaranya, tidak asing bagiku. Ternyata benar adanya."Dokter Faisal," jawabku sambil mengulas senyum tipis.Suasana restoran sangat hening, kebetulan baru jam sebelas lewat tiga puluh menit Waktu Indonesia Barat. Jam seperti itu, baru saja restoran itu opening dimana tempat aku dan Dokter Faisal bertemu. Itu sebabnya pengunjung masih sepi."Lagi nunggu siapa?" tanyaku memulai percakapan.Aku meletakkan gawai milikku, kemudian mempersilahkan Dokter Faisal dud
Kain Basahan Basah Di Kamar MandiPart 10: Kamu itu Pezina"Sudah!" jawabku.Faisal tidak menjawab dia hanya melihat wajahku. Namun, aku tidak sadar kalau dia memperhatikan aku. Aku tersipu malu dan salah tingkah. Sendok yang kuambil jatuh sangking groginya."Nggak usah grogi segala, Bu!" ucap Faisal sambil menyendok nasi goreng kampung ke dalam mulutnya.Aku hanya diam dan menikmati mie gomak kuah kacang. Sudah lima menit berlalu, tidak ada sama sekali percakapan yang keluar dari tepi bibirku dan Faisal.'Sungguh malangnya nasib kamu, Bu Nesya. Andai saja kamu menjadi bidadari surgaku, aku pasti membahagiakan kamu sampai akhir hayatmu.'Faisal memejamkan matanya, dia sangat mencintai aku, tapi tidak berani mengatakan apa yang dia rasakan."Oh iya, aku ingin menggugat cerai suamiku. Aku sudah tidak sanggup lagi melihat tingkahnya.""Bagus!" jawab Faisal spontan.Aku melihat wajahnya, seketika bibirnya kumat kamit membaca istighfar. "Ke-kenapa dokter bilang bagus?" tanyaku dengan nada
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai