Share

33

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-25 14:35:59

Rojali masih menatap persawahan melalui kaca spion. Jendela mobil dibiarkan sedikit terbuka, memudahkan angin untuk masuk. Terdengar suara kodok bersahutan, juga serangga malam yang entah berada di petak sawah yang mana.

“Pasti berat ya, Kang,” ucap Deni, santri yang mengemudikan mobil. Pandangannya melirik Rojali sekilas, lalu kembali ke arah depan.

Rojali menoleh.

“Pasti berat karena Kang Rojali harus tinggal di Ciboeh, tinggal di desa yang angker, desa yang dikutuk,” lanjut Deni, “saya saja merinding saat membayangkannya, apalagi kalau saya disuruh tinggal di sana. Saya pasti—”

“Tidak ada yang namanya desa terkutuk, Den,” sela Rojali, melirik santri yang usianya lebih muda empat tahun darinya, lantas memercik senyum. Matanya yang sipit berubah menjadi garis lurus untuk sesaat

Punteun, Kang.” Deni menunduk, tak enak hati.

“Bagaimanapun juga, Kiai sudah menuga

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kafan Hitam   34

    “Den.” Rojali menampar pipi Deni hingga beberapa kali. Namun, pemuda itu nyatanya tak bergerak sedikit pun. Wajah santri itu tampak pucat. Rojali lalu mengangkat Denia dan mendudukkannya di kursi samping.Merasa ada yang tak beres, Rojali kembali tancap gas. Mobil sekali lagi membelah gelapnya kebun jati. Sekelibat bayangan yang bergerak cepat tak sengaja tertangkap matanya melalui kaca spion samping.Rojali terus berusaha membangunkan Deni. Akan tetapi, pemuda itu masih belum sadarkan diri. Rasanya tidak mungkin jika Deni sengaja tertidur.Mobil akhirnya berhasil melewati kebun jati. Dari jarak saat ini, tampak menara masjid pesantren sudah mulai terlihat. Secarik senyum mengembang dari bibir Rojali. Pria itu lantas melirik kaca spion. Para penguntit itu nyatanya memilih menyerah.Rojali menyipitkan mata begitu gempuran cahaya dari depan menyilaukan penglihatannya. Ia memelankan laju mobil untuk memastikan apa yang terjadi di depan sana.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Kafan Hitam   35

    Di tengah heningnya Ciboeh, Reza justru memilih keluar rumah. Pemuda itu hanya ditemani sebatang rokok yang terselip di sela-sela jari, berjalan melewati rumah-rumah panggung yang memiliki pekarangan luas. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi suasana desa seperti dini hari.Reza mengembus napas panjang, menyedot rokoknya kuat-kuat. Meski udara dingin, tubuhnya justru hanya dibiarkan berbalut kaus dan celana jin kumal, tanpa jaket.“Ieu desa sudah jiga (seperti) kuburan,” ucap Reza sembari memandangi sekeliling. Langkahnya berbelok ke halaman rumah Rojali. Kediaman ini tak jauh berbeda dengan rumah penduduk lainnya, berupa bangunan panggung dengan halaman cukup luas.Reza terpaku sesaat. Gemerisik angin merangkak di tengkuknya. Pemuda berambut gondrong itu menggaruk leher belakang yang terasa dingin. Kaki kanannya yang akan melangkah tiba-tiba ditarik kembali saat merasa seseorang tengah mengawasinya. Namun, ketika me

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Kafan Hitam   36

    “Menurut keterangan dari sosok yang mengaku sebagai anak Mbah Atim, mereka ingin mendapatkan kujang sakti dengan memanfaatkan buku itu sebagai petunjuk. Sejujurnya, saya kesulitan untuk menerjemahkan isinya. Saya baru bisa menerjemahkan asal muasal kujang itu.”Ustaz Ahmad menimpali, “Jadi—”Ucapan Ustaz Ahmad dihentikan oleh gerakan tangan Kiai.“Saya pikir akan lebih aman kalau buku ini berada di pesantren, terlebih ada Lukman yang mengerti dan paham dengan aksara Sunda,” lanjut Rojali, “dengan tau isi dari buku itu, kita bisa bertindak lebih cepat dibanding mereka.”Ustaz Ahmad melirik Kiai yang tersenyum meski ia tahu bila ayahnya itu tengah berpikir.“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Jali?” Kiai bangkit, memakai serbannya lagi. Meski sudah berumur, tetapi Kiai memiliki fisik yang kuat. Jarang sekali sakit-sakitan.Rojali masih duduk di tempat yang sama. “Saya

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Kafan Hitam   37

    Lukman langsung menutup mulut. Ia seperti terlalu jauh menceritakan soal Rojali. Menyadari kesalahannya, pria itu menggenggam bahu Aep kuat-kuat. “Kamu tolong jangan bilang sama Rojali kalau saya bicara hal ini sama kamu. Saya tahu kalau kamu orang baik. Makanya kamu ditolong Rojali walaupun kamu jadi penyusup. Dengarkan saya.”Aep mengangguk.Lukman menoleh ke kiri dan kanan, memastikan keadaan. “Rojali sebenarnya dibawa Kiai entah dari mana saat bayi. Dia yatim piatu dan tidak tahu asal-usul tentang keluarganya. Dia besar dan tumbuh di pesantren sampai usianya sekarang. Meski nasibnya tak seberuntung orang lain, tapi dia tumbuh jadi sosok yang tak hanya pandai, tapi juga tangguh secara fisik dan mental.”Aep menunduk, menelan ludah berkali-kali. Jakunnya naik-turun. Pantas saja ustaz muda itu jarang sekali membahas tentang keluarga, pikir Aep.“Tolong jaga Rojali selama di Ciboeh,” pesan Lukman sebelum menaiki tangga.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-25
  • Kafan Hitam   03 - Kafan Hitam (Part 1)

    Tahun 1985Suara entakkan kaki membangunkan Ujang dari tidurnya. Matanya mengerjap beberapa kali. Tubuhnya masih cukup sakit meski tak separah kemarin. Pria itu memaksakan berdiri, lalu berjalan ke luar kamar.Ujang menyusuri lorong yang berlawanan dari lorong yang kemarin malam ia lewati. Begitu menemukan sebuah pintu, ia lantas membukanya dan langsung disambut dengan dinginnya udara.Ujang meraup oksigen dengan rakus. Ia berjalan ke arah depan dengan sesekali menggosok tangan. Satu-satunya cahaya yang menjadi penerangnya hanya sinar bulan purnama dan taburan bintang di langit.Ujang berhenti saat mendengar suara deru air. Setelah memastikan tempatnya, pria itu menuruni tangga yang terbuat dari tumpukan batu. Ia berpegangan pada kayu sebelum akhirnya tiba di depan pancuran air.Ujang segera membasahi wajah dan rambutnya dengan air. Rasanya dingin sekali hingga langsung membuat kantuknya menghilang. Pria itu segera mengalihkan pand

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26
  • Kafan Hitam   03 - Kafan Hitam (Part 2)

    Perjalanan Ujang melewati hutan berakhir saat komplotan berhenti di sebuah sungai ketika bulan purnama sudah menggantung di langit. Tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat. Betisnya serasa mau meledak karena terus dipaksa berjalan. Rasa laparnya hanya diganjal dengan rebusan ubi dan pisang yang diberikan komplotan itu tadi siang.Ujang mencuci wajah dengan air sungai. Ia membasahi rambut untuk mengusir penat. Api tampak lahap menggerus kayu bakar. Begitu ia berdiri, seorang kakek berjenggot putih tiba-tiba muncul dari balik sebuah gubuk. Pria tua itu berjalan dengan tongkat kayu yang memiliki hiasan tengkorak di atasnya. Kalung-kalungnya menjuntai panjang hingga perut.Serempak, enam orang pria di dekat Ujang membungkuk, sedang pria berikat kepala merah berjalan ke arah kakek berjenggot panjang tadi. Ujang sendiri hanya menatap penuh keheranan. Tiba-tiba saja Engkos mendorong kepalanya hingga membuat tubuhnya agak membungkuk.“Segera siapkan ritualnya,&rd

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-26
  • Kafan Hitam   38

    Tangis haru masih menguasai kerumunan warga di depan rumah Mak Iyah. Aksi mereka seakan menjadi pengganti ucapan selamat datang bagi Ujang, pria yang sudah lama menghilang. Rojali sendiri hanya mematung di tempat tanpa bisa mengucap kata ap apun. Pandangannya mendadak kosong, dan telinganya tiba-tiba tuli, meski tangisan dan obrolan warga di depannya tampak mendominasi. Pemuda itu terperosok pada alam pikirnya sendiri. Tubuh Rojali bergoncang saat secara tiba-tiba Aep menabrak bahunya. Meski begitu, ustaz muda itu masih tak bergeming dari tempat dan pikirannya.Di sisi lain, warga silih bergantian maju ke arah depan untuk memeluk maupun menyalami Ujang. Beberapa kali bahu Rojali tertabrak. Namun, ekpresi pemuda itu masih sama.Reza yang menyadari keanehan pada Rojali segera menepuk bahu sahabatnya sekaligus memanggil namanya. Tak hanya sekali, tetapi hingga berkali-kali. “Jali!” panggilnya agak membentak.Suara Reza seketika memecah lamun

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-27
  • Kafan Hitam   39

    Rojali tengah bersiap-siap di kamar. Tubuh tegapnya dibalut koko berwarna merah dan celana katun hitam. Tak lupa, ia menyisir rapi rambut sebelum mengenakan peci hitam. Setelah memastikan pintu depan terkunci, ia bergerak menuju arah dapur.Rojali mengintip kediaman Ujang dari celah pintu yang sengaja ia buka. Kondisi rumah itu sudah ramai dengan para tetangga. Terlihat kumpulan bapak-bapak dan pemuda sudah duduk di kursi di depan rumah, mengobrol sembari tertawa. Jarang sekali kejadian ini terlihat, terutama semenjak peristiwa kematian Mbah Atim.Semenjak pulang dari kediaman Mak Iyah, Rojali sama sekali belum mengunjungi tempat itu. Ia hanya keluar untuk mengumandangkan azan dan mengimami salat. Aep dan Asep yang merupakan sahabat dekat Ujang tampak berada di sana semenjak siang. Wajah keduanya tampak begitu bahagia.Rojali berjalan ke arah kediaman Ujang yang jaraknya hanya beberapa langkah. Saat ia datang, bapak-bapak segera menyalami dan memintanya un

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-27

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status