ayo vote dan komen dong... ramein kolom komen depan dong, biar akyu semangat cyiin nulisnye ya ya ya hehe
Aku mendadak terdiam, tepat beberapa langkah dari Asep pada malam itu. Sebuah aura yang mencekam terasa olehku, bukan hanya hawa dingin pegunungan yang menusuk kulit. Tapi juga, ada hawa lain yang membuat kulitku seperti tertusuk jarum kecil ketika aku melihat sesuatu di depanku. Makhluk itu tiba-tiba menampakan dirinya, tepat ketika Asep mendekati jiwa anaknya yang muncul di jalanan setapak itu. Mungkin tubuh anaknya kini terbujur kaku di sana, karena jiwanya sudah ada di dalam genggaman makhluk tersebut. Sesosok makhluk yang sering kali menyebut dirinya Dewi Neng Tiyas. Makhluk yang menjadi penghuni dari batu nangtung, dengan memunculkan jiwa anaknya. Dia berhasil memancing Asep dan memegang tangannya dengan sangat erat. Sehingga Asep terjebak dan tidak bisa melepaskan diri dari genggamanya. Wuss, wuss, “LEPASKEUN AING (AKU) GOB*OG !!! ” Asep yang marah hanya bisa melayangkan tinjunya ke arah makhluk tersebut, namun tangannya ternyata menembus tubuh dari makhluk itu. Dan dia tid
Aku sungguh kaget, secara tidak sengaja aku bisa memukul makhluk itu dengan kedua tanganku. Padahal, aku lihat sendiri. Asep, orang yang ada di depanku ini tidak bisa memukulnya dengan kedua tangannya. “Apakah ini adalah hasil dari apa yang Bapak lakukan selama ini kepadaku?” Kataku sambil melihat kedua tanganku pada malam itu. Makhluk itu terpental, menembus beberapa pohon hutan yang besar dan tinggi di ujung sana, lalu menghilang dalam kegelapan malam Gunung Sepuh pada malam itu. Pada saat yang sama, aku melihat Asep tiba-tiba terjatuh, bersamaan dengan kesadarannya yang kembali pulih pada saat itu juga. Hah hah hah Jantungnya berdetak dengan sangat cepat, dia terduduk sambil memegang dadanya dengan salah satu tangannya. Asep seakan tidak percaya atas apa yang menimpanya, karena dia merasakan sendiri ketika jiwanya akan terlepas dari dalam tubuhnya dan hal itu membuat tubuhnya hampir kehilangan kesadaran. Asep yang tiba-tiba terduduk melihat anaknya yang masih menangis dengan t
KEH KEH KEH KEH Sratt Angin besar tiba-tiba berhembus kembali, bersamaan dengan bekas cakaran dari gigi tajamnya yang kini berbekas di pepohonan yang berada di sekitarku. Aku sudah menyuruh Asep untuk menunduk, dan tidak melakukan apa pun yang bisa melukai badannya sendiri. Asep juga sadar akan hal itu. Karena tubuhnya hanya bisa dipakai untuk berkelahi dengan manusia, dan tidak pernah dalam hidupnya berhadapan dengan makhluk yang seperti ini. “Ayolah, ayolah, ayolah!” Aku terus-menerus berusaha memegang anak tersebut, dan tak lama ketika angin besar yang datang untuk kedua kalinya. Tanganku tiba-tiba bercahaya kembali, cahaya berwarna biru muda yang muncul dengan sendirinya. Benar saja, setelah cahaya itu muncul. aku bisa memegang anak itu, seperti layaknya aku memegang tangan anak kecil dengan kulitnya yang masih terlihat halus. “Kang, hey Kang!” Aku sedikit berteriak, tepat ketika aku berhasil memegang anak tersebut untuk aku bawa ke depan Bapak. “Ayo kita cepet pergi dari t
Makhluk itu tiba-tiba berhenti, bersamaan dengan hilangnya aura hitam yang keluar dari dalam tubuhnya. Wajahnya yang tadinya mendekatiku ketika aku terjatuh tiba-tiba menoleh ke arah pepohonan hutan yang sangat gelap di sekitarnya. Wajahnya tiba-tiba berubah, menjadi wajah yang ketakutan. Jari-jari tangannya yang awalnya akan mencekikku kini dia dekatkan ke dada, mencoba menghentikan tindakan yang akan dia lakukan kepadaku pada saat itu juga. Situasi yang sangat aneh dan membingungkan, aku berharap itu adalah bapak. Yang datang di saat-saat yang tepat seperti halnya pahlawan-pahlawan yang sering kali aku baca di buku komik kepunyaan Caca. Namun, “JANGAN KAMU APA-APAKAN ANAK ITU, KARENA ANAK ITU ADALAH SESUATU YANG BERHARGA BAGI KU. ” Sebuah suara yang sangat berat terdengar, dan itu bukan suara bapak. suaranya muncul dibarengi dengan angin kencang ke arah makhluk itu. Bahkan makhluk itu langsung mundur dan menghilang. Meninggalkan aku, Asep dan jiwa anak bungsunya yang masih berdi
Rumah ku yang berada di ujung kampung, seringkali menjadi tempat kegiatan warga untuk berkumpul. Mereka berkumpul untuk membahas segala hal yang menyangkut tentang kampung dan Gunung Sepuh. Juga, hal-hal tabu yang hanya bisa diobrolkan dalam kumpulan tersebut. Biasanya, kumpulan rutin yang sering di laksanakan di rumahku itu dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Di mana kumpulan rutin itu dilaksanakan sebelum para warga berangkat ke ladang atau ke kebun pada pagi harinya, mereka akan datang ke rumahku terlebih dahulu untuk membahas tentang kampung dan hal-hal lain di dalamnya. Sebelum nantinya, mereka berangkat lagi ke kebun dan ke sawah ketika acara tersebut selesai. Apa yang warga bahas dalam perkumpulan tersebut sangatlah rahasia, ada kepercayaan yang saling mereka jaga agar isu yang mereka bahas tidak sampai keluar kampung. Karena, ini menyangkut dengan nama kampung yang semakin hari semakin buruk. Kampung yang di cap dengan berbagai nama yang negatif, membuat warga lebih memil
Bagi masyarakat Kampung Sepuh, masalah apapun yang melibatkan Gunung Sepuh sebagai penyebabnya, harus didiskusikan dengan semua warga kampung. Apalagi menyangkut ritual-ritual dan perjanjian di dalamnya, juga tumbal-tumbal yang mereka berikan di dalam gunung. Banyak sekali kejadian, para pencari madu hutan dan kayu bakar, yang setiap harinya berkeliling di hutan Gunung Sepuh untuk mencari kedua bahan tersebut, tiba-tiba menemukan mayat. Mayat yang sudah membusuk bahkan hanya tulangnya saja yang tersisa. Saking seringnya, mereka jadi tahu. Apabila mayatnya berada di tempat teduh dengan posisi duduk atau terbaring, maka itu adalah orang yang tersesat dan jasadnya baru ditemukan setelah sekian lama menghilang. Namun, apabila mayatnya berada dalam kondisi terikat atau tengkoraknya penuh luka, berarti itu adalah tumbal dari perjanjian dan ritual yang terjadi di Gunung Sepuh. Tahun 1980, informasi tidak semassive sekarang. Penyebaran informasi yang tidak merata membuat para warga hanya me
Kembali beberapa jam yang lalu, di mana dalam beberapa puluh lagi, akan terdengar suara ayam yang berkokok di seluruh kampung. Yang menandakan bahwa pagi akan menjelang, dan menyingkirkan semua aura mistis yang menyelimuti kampung dan Gunung Sepuh ketika malam tiba. Kondisi kampung yang gelap, hanya menyisakan kesunyian yang tergambar dari heningnya kampung pada malam itu. Meskipun ada beberapa warga yang tampaknya sudah bangun. Namun tetap saja, mereka tidak akan berani keluar rumah sebelum suara kokok ayam terdengar ke seluruh kampung. Warung yang ada di dekat rumahku pun, kini tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa Bapak tidur di dalam warung atau duduk depan warung dengan asap rokok yang mengepul hingga menutupi langit-langit dan menghilang di udara. Karena, Bapak kini berdiri di depan gerbang. Yaitu sebutan bagi sebuah pintu masuk hutan yang berbatasan dengan Kampung Sepuh. Pintu masuk dengan jalanan setapak yang penuhi oleh rerumputan dan pepohonan tinggi di kedua sisinya.
Bapak merasa, seperti ada sesuatu yang menjaga kita bertiga. Sesuatu yang membuat takut semua makhluk gunung sehingga tidak mau mendekati kita bertiga yang kondisinya sudah sangat parah ini. Bapak hanya menggelengkan kepala, dia tidak tahu mahluk apa yang berbuat seperti ini. Apakah hal ini berhubungan dengan apa yang dia cari selama ini, karena salah satu orang yang tersungkur di sana adalah keturunan Ki Wisesa yang nantinya akan menjaga warung selepas dirinya tidak ada. Atau memang ada mahluk yang baik yang sengaja menjaga mereka, ketika mereka tak sadarkan diri sehingga aman dari gangguan para mahluk yang ingin mengambil jiwa mereka. Bahkan, aura tipis berwarna biru yang Bapak keluarkan. Tidak mendeteksi satupun mahluk yang biasanya menyembunyikn dirinya di dalam kegelapan hutan, mereka seperti takut mendekati tubuh kita berdua tanpa ada alasan yang jelas dan tidak bisa diterima oleh akal Bapak. Apalagi, kedua tubuh dan jiwa yang lepas di sana biasanya menjadi santapan yang mani