Keputusan telah diambil oleh Dido dan Ode. Mereka akhirnya berhenti bernyanyi, tidak diteruskan lagi dan pergi meninggalkan warung kaki lima, terutama meninggalkan bapak tua beruban yang tidak memiliki rasa hormat sedikitpun kepada seniman jalanan.
“Kelewatan tuh bapak tua, masa kita diadu dengan suara burung beonya?” gerutu Dido masih kesal dan tidak terima. Ia tidak menduga kenapa bisa bertemu dengan orang yang sama sekali tidak punya rasa menghargai atas sebuah karya seni, walau mungkin karya seni tersebut biasa saja atau bahkan tidak enak didengar.
"Kalau dia tadi ndak suka suaraku, nyanyianku, lebih baik dia tutup telinga saja, daripada bandingkan dengan burung beonya. Sakit hatiku!" keluh Dido masih kesal.
"Ya lebih bagus dia bilang gitu Do, daripada tutup telinga, malah lebih menyakitkan lagi," sahut Ode masih coba tenangkan Dido sekaligus menghibur dirinya. Bagaimana pun, ia juga merasakan kesal dan malu atas sikap bapak tua tersebut.
Di awal mula mengamen justru mendapatkan hal tidak menyenangkan. Tapi akhirnya Ode sadari dan anggap sebagai hal biasa untuk menguji mental. Malam itu mereka mengalah dan berusaha tidak ambil hati atas perlakuan tidak menyenangkan.
Malam ini, sudah kesekian puluh kalinya mereka mengamen. Justru peristiwa pertama mengamen dan dapat insiden tidak mengenakan membuat mental mereka kuat dan tahan banting. Tidak ada lagi rasa malu sedikitpun.
Sekitar dua puluh meter Ode dan Dido melangkah, tibalah di sebuah perempatan lampu merah. Beberapa kendaraan sedang berhenti, mobil dan motor masih ramai menunggu antrian untuk lampu hijau.
Hilir mudik kendaraan dari arah lain yang mendapat giliran untuk jalan tidak luput dari pandangan Ode. Lalu lintas malam ini sangat ramai. Tidak heran, untuk kota sebesar Surabaya, pemandangan ramai seperti malam ini menjadi hal yang biasa.
Ketika sedang asyik memperhatikan keramaian kendaraan, tiba-tiba samar terdengar suara orang, tidak jauh dari tempat Ode dan Dido berdiri.
Ode menoleh ke arah datangnya suara. Tampaklah seseorang yang dari cara penampilan dan dandanannya terlihat berbeda. Dido juga sempat menoleh dan memperhatikan orang itu.
“Permisi kakaaa ...” ucapnya dengan nada lembut pada seorang supir mobil pribadi yang kacanya terbuka. Bapak supir itu cuma menoleh sejenak, cuek.
Tetapi, pria yang mencoba menunjukkan gerak geriknya seperti gerakan gemulai wanita, tanpa malu langsung beraksi. Ia membunyikan alat musik gemericik kumpulan penutup botol, berusaha melakukan improviasi nada pembuka disertai goyangan badan sedikit meliuk-liuk.
“Anggur meraaahh ...” mulai terdengar suaranya yang berusaha dilembutkan meskipun tetap terdengar bass. Satu kalimat lirik lagu dari salah satu lagu dangdut telah mulai ia nyanyikan.
Baru dua kata yang ia ucapkan, tiba-tiba ...
“Eeeeehh ... sudah hijaaauu,” lanjutnya lagi sambil menahan tawa, geli sendiri. Gerak gemulai dan suaranya terhenti. Pria itu tidak lagi membunyikan gemerincingnya karena baru menyadari kalau lampu merah telah berganti jadi lampu hijau.
Bapak Sopir itu tertawa, tapi ia mulai bersiap memajukan mobil yang dikemudinya, untuk bergerak bersama kendaraan lain. Sedangkan waria itu tidak lagi melanjutkan nyanyiannya.
“Kakaaa ... duitnya mana? Kan udah nyanyi,” jelasnya percaya diri, berusaha merayu sambil menyodorkan telapak tangannya.
“Ndak ada duit kecil,” sahut Bapak sopir sekenanya.
“Duit besar juga boleh, ada kembaliannya kok,” jawabnya, agak genit. Tapi bapak Sopir itu terus cuek dan kendaraannya mulai melaju.
Dido yang sebelumnya terlihat sangat mengantuk, tiba-tiba seperti orang kesetanan. Tanpa angin tanpa hujan, ia langsung tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia tertawa hingga matanya sempat terpejam, tidak kuasa menahan tawa setelah mendengar sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan pria itu. Termasuk juga tertawa karena melihat pria yang berdandan menor itu ngotot meminta duit dengan menyediakan uang kembalian.
Sebenarnya Ode juga ingin tertawa, tapi agak ditahan dan perutnya jadi sedikit tegang. Ode heran karena baru kali ini ia melihat ada waria di lampu merah tempat mereka berada. Pada malam-malam sebelumnya mereka tidak pernah menemukan.
“Mungkin dia nyasar, bukan hanya kesasar arah jalan, tapi juga kesasar arah pendirian jati dirinya,” pikir Ode.
“Wooii!” terdengar suara teriakan lelaki dengan lantang.
Keduanya terkejut. Tawa Dido tiba-tiba terhenti karena baru menyadari sesuatu. Ternyata pria yang menirukan gaya wanita tersebut marah dan merasa tersinggung oleh tawa keras Dido. Suaranya yang tadi terdengar lembut, berubah jadi garang. Tidak ada lagi suara lembutnya.
“Siapa yang kalian tertawakan?! Kenapa ngamen di lampu merah ini?! Ini kan wilayahku!” teriaknya dengan lantang melawan deru hilir mudik kendaraan, tegas, dan berkacak pinggang. Wajahnya berubah jadi sangar, menunjukkan amarah. Ia merasa tidak terima dan bergegas menghampiri Ode dan Dido yang jaraknya cuma sekitar sebelas meter darinya.
Ode melihat tanpa berkedip pada waria yang hampir sama tinggi dengannya, seketika rasa gugup menghampiri. Ingin rasanya Ode menjelaskan bahwa mereka berdua tidak mengamen di wilayah tersebut, tapi niat itu diurungkannya.
“Doo? Didoo … gimana nih, Do,” pinta Ode pelan, mulai panik dan matanya tetap serius melihat gugup pada waria yang mulai mendekat.
Tapi apa yang terjadi ...
Dalam kondisi panik dan gugup, Dido sama sekali tidak menjawab. Ode penasaran dan ia palingkan wajah sejenak untuk melihat reaksi Dido yang berdiri di sampingnya.
Astaga, Ode sangat terkejut. Matanya semakin terbelalak melihat apa yang terjadi pada Dido.
Di sana, sekitar sepuluh meter, Ode melihat Dido telah lari lebih dulu, terbirit-birit seperti orang kebelet pipis dikejar hantu. Dido seperti sudah tidak peduli lagi pada Ode karena yang ada di benaknya hanyalah pikiran untuk lari sejauh mungkin. Rasa kantuk yang tadi menderanya, musnah seketika.
“Didooooo! Tungguuuu!” teriak Ode semakin panik dan bergegas ikut lari, menyusuri trotoar, memburu Dido. Sedangkan sang waria, tidak juga mengalah. Ia semakin emosi dan penasaran mengejar Ode dan Dido.
Malam ini, seperti adegan drama ibukota di saat petugas dinas sosial melakukan razia penertiban. Kejar-mengejar terjadi. Ode mengejar Dido yang lari ketakutan, sedangkan Waria juga mengejar Ode dan Dido dengan penuh semangat. Tetapi waria juga tampak dipenuhi rasa takut dan was-was jangan sampai juga ia sedang dikejar petugas trantib satpol PP.
Seorang gadis yang sempat mereka lalui terkejut melihat Ode dan Dido berlari ketakutan. Bukannya menghindar, gadis itu justru tetap diam berdiri di tepi trotoar dan seperti jadi sangat tertarik menyaksikan. Seolah-olah ingin memberi semangat laksana para cheerleaders yang memberi semangat para pemain basket. Memberi semangat idola pujaan mereka sambil teriak histeris: “Ayo sayang... lari yang cepat...”
Dido sempat terpana melihat gadis cantik yang ikut menyaksikan kejar-kejaran. Larinya melambat, nalurinya seperti ingin mengajak kenalan gadis itu.
“Wooooiii! Ojo mlayu. Awas yoo! Nakal deh!” terdengar lagi suara teriakan tapi bernada gemas dari mulut waria tadi, ia masih tetap mengejar Ode dan Dido.
Keadaan semakin genting. Dada Ode dan Dido berdebar makin cepat. Pikiran Ode dan Dido dihantui ketakutan jika tertangkap akan seperti apa nanti nasib mereka. Jarak antara mereka juga makin dekat. Waria itu tidak menyerah dan terus berlari cepat laksana singa yang menerjam mangsanya.
"Bahaya! Kalau begini bisa ketangkap," batin Ode semakin dihantui rasa takut dan tanda tanya apakah akan berhasil lolos atau malah tertangkap.
۞ ۞ ۞
Keadaan menjadi genting dan penuh ketegangan. Kejar mengejar masih terus terjadi. Segala tenaga dikerahkan Ode dan Dido demi bisa menyelamatkan diri dari waria yang tanpa lelah dan berusaha keras ingin berhasil menangkap mereka berdua, atau minimal salah satu dari keduanya.“Ayo lari yang cepat Doooo.!” teriak Ode karena menyadari Dido melambat.Dido terkejut dan kembali menambah kecepatan larinya dengan penuh semangat meski berat hati untuk meninggalkan gadis yang memikatnya. Ia merasa satu kesempatan langka untuk berkenalan telah terlewatkan begitu saja.Tetapi agaknya tidak hanya sang gadis saja yang terkejut. Ada juga seorang pemuda yang terlihat kaget dan heran. Ia justru jadi begitu bersemangat memperhatikan dari jarak belasan meter di depan Ode dan Dido. Mengamati sambil menunggu makin dekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Perlahan pemuda berbadan kekar itu semakin yakin kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, l
Sinar matahari siang tampak begitu terik.“Surabaya oh Surabaya.. panas banget.” keluh Ode dan makin cepat berjalan karena gerah dan haus. Jarak rumah kosnya hanya tinggal beberapa meter lagi dan letaknya tidak jauh dari kampus.Ketika sampai, Ode bergegas buka kunci pintu kamar dan masuk ke dalam. Tidak begitu luas, hanya berukuran tiga setengah kali tiga meter.Ode langsung mengambil minum.“Segaarr..” ucapnya lega dan kembali meneguk beberapa kali.Setelah itu Ode merebahkan badan di kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menghampiri. Mata Ode terasa berat dan tidak ingin lagi dibuka meskipun hanya untuk sejenak melirik jam yang ada di meja belajar kecil, tidak jauh dari tempat tidur. Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul dua siang.Ode lebih memilih tidur saja daripada harus keluar kamar dan berjalan kaki di bawah terik matahari untuk kembali ke kampus. Ia sudah tidak berminat untuk balik kembali ke kampus hanya kare
Ode diam terpaku di dekat pintu memperhatikan Aryo yang justru tidak peduli padanya.“Ada apa Yo? Kok kelihatan kayak ada masalah gitu?” tanya OdeSesaat kemudian Aryo kembali berdiri dan mondar mandir seperti mandor. Mukanya merah bagaikan udang rebus dan ingin meluapkan amarahnya. Tindakannya telah membuat rasa kantuk Ode hilang seketika.Sejak tadi Aryo belum juga tenang dan sesekali mengosok-gosok rambutnya. Dari cara menggosoknya telah membuat Ode paham jika kepalanya itu tidak gatal. Lebih tepatnya, gosokan itu hanyalah refleksi seketika akibat emosinya. Dasi coklat yang dipakainya langsung dilonggarkan dan kemeja putihnya digulung sampai sebatas siku. Ia mulai merasa kepanasan, bukan hanya sekedar jasmaninya yang panas, tapi hatinya juga ikut panas membara. Keringat tipis mengalir di keningnya.Ode jadi heran dengan sikap Aryo. Kulitnya yang putih terlihat jadi agak merah seh
Melihat sikap sahabatnya, Ode berdiri untuk mengambil segelas air minum dari gallon mineral yang ada di dekat meja.”Minum dulu..” Aryo memandang Ode sejenak. Tanpa pikir panjang lagi dengan tawaran tersebut, Aryo langsung meraih gelas yang ada di tangan Ode dan meminumnya segera. Setelah itu ia menaruh gelas plastik bermotif biola tersebut di atas meja.Ode memperhatikan wajah Aryo, emosinya mulai berkurang.”Kamu kenapa? Ada masalah dengan Dona..?” Aryo mengusap wajahnya seakan ingin meluapkan kekesalannya.”Nggak ngertilah De.. Aku juga mangkel..! Akhir-akhir ini dia juga sering marah. Aku tanya kenapa? Jawabnya selalu nggak jelas..!!” katanya gusarEmosi Aryo mulai naik lagi, bahkan ia bersikap seperti orang yang ingin memukul tapi kedua tangannya hanya mengepal kejang penuh tenaga dan tak terluapkan, sedangkan wajahnya memerah. Ia juga merapatkan rahang atas dan bawah hingga gigi-giginya sa
Motor Aryo berlalu meninggalkan kos Ode. Setelah itu Ode kembali masuk kamar dan menutup pintu. Ia coba rebahkan diri di kasur untuk tidur. Tetapi, Ode masih diliputi rasa heran, menyimpan tanya tentang masalah apakah yang sedang dihadapi Aryo.“Kenapa tadi dia terlihat sangat emosi, lebih emosi dari kebiasaan lamanya di kampus yang memang gampang marah?” pikir Ode.Tapi dibalik sikapnya yang sedikit temprament, Ode mengakui ada sisi lain yang begitu menonjol pada diri Aryo sejak dulu, yaitu selalu berpenampilan keren, terutama bila mengikuti perkuliahan. Apalagi Aryo memang memiliki wajah yang tampan. Ia sudah begitu terkenal dan disenangi di kampus sejak awal masuk kuliah.Beberapa gadis di kampus mereka, bahkan ada juga teman mereka di kampus lainnya di Surabaya, jadi tergila-gila dan menganggap wajah Aryo hampir mirip dengan artis penyanyi top Justin Timberlake. Kadang juga, kebiasaannya yang sering memakai kacamata hitam m
Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-
Pada saat Ode balik belakang, ternyata Dido juga terlihat begitu tergesa-gesa. Ia baru saja keluar dari kamarnya dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan di leher. Tangannya satu memegang gayung yang berisi sabun, sampo, pisau cukur, dan sisir.”Aku duluan ya. Soalnya takut terlambat acara temu akrab, jam lima sore ini. Biasa, anak maba nunggu aku. Mereka pasti sudah ndak sabar ingin jumpa aku,” celoteh Dido dari depan pintu kamar dan berjalan ke arah Ode sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya.Ode mengalah dan hanya geleng kepala melihat tingkah Dido yang sok tahu dan sangat percaya diri.”Oya, ojo lali... nanti bawa biolamu,” pinta Dido dengan ekspresi serius. ”Iya... buruan mandi. Tapi cepat. Ada yang ingin aku bicarakan, soal tadi, penting. Tentang Aryo dan Dona..” Dido sempat terkejut dan langkahnya terhenti
Dirapikannya kembali baju kemeja putih dan dasinya, mengusap keringat yang masih ada, kemudian Ode melangkah masuk ke dalam untuk kembali menemui tiga orang dosen yang telah selesai berunding memutuskan apakah Ode lulus atau tidak.Setelah dipersilakan duduk, ketiga dosen melihat Ode dengan bermacam ekspresi. Ada yang semula senyum, tapi setelah itu wajahnya menjadi datar. Begitu juga dengan dosen ketiga yang jadi penguji utama. Ia tidak ada senyum sama sekali. Terakhir, Ode melirik dosen pembimbingnya, tapi ia sedang melihat kembali skripsi Ode di mejanya. Ia juga tanpa senyum sedikitpun.Pikiran Ode semakin kalut setelah melihat tanda ekspresi wajah dosen. Ode dihinggapi kecemasan kemungkinan tidak lulus ujian.Tapi Ode mencoba tenang dan menunggu apa yang akan mereka sampaikan.”Baiklah saudara Laode, kami telah berunding setelah melakukan pengujian skripsi Anda. Kami berharap, apapun hasilnya nanti, Anda harus tetap memenuhi janji almameter Anda
Adanya telepon darurat telah membuat Ode mengebut dan menuntaskan pengerjaan skripsinya. Siang malam ia banyak habiskan waktu mengerjakan dan melupakan sejenak urusan persahabatannya. Kegiatannya lebih banyak di kamar, perpustakaan kampus, bertemu dosen di tempat janjian demi jemput bola menyusul dan mengetahui perbaikan. Semua itu dilakukan dengan serius hingga akhirnya membuahkan hasilPagi ini, Ode telah berada diujung perjuangan skripsinya. Sejak sepuluh menit yang lalu, Ode telah duduk di kursi depan ruang sidang seorang diri. Meskipun ruangan ini dilengkapi dengan AC, tapi ternyata hal tersebut tidak menghalangi keringat dinginnya keluar membasahi keningnya.Dadanya berdetak cukup kencang dan ia tidak tenang karena pikirannya terus terbawa pada kejadian yang baru saja selesai dia alami lima menit yang lalu. Ya, di depan kursi tempat dia duduk ini, ada sebuah ruangan yang menjadi tempat diadakannya ujian skripsi. Tempat yang telah membuat Ode gugup, cemas, bimbang
Dengan wajah sendu, akhirnya kakak Dido bicara juga untuk menjawab pertanyaan tentang Dido.“Dido sakit. Belum tahu sakit apa, sampai sekarang belum sembuh. Katanya dadanya sakit,” jelas kakaknya sambil menahan sedihnya. Bahkan kali ini ibu Dido juga mulai tidak kuasa menahan air matanyaLalu mulailah kakak Dido melanjutkan ceritanya, dari awal mula sakitnya hingga sekarang, dengan begitu serius dan terharu. Meskipun ia tahu bahwa ibunya tidak sanggup menahan rasa sedih ketika mendengar apa yang menimpa Dido, anak yang jadi harapan keluarga, tapi dia tetap berusaha menceritakannya.Dengan serius mereka semua mendengarkan ceritanya dari awal. Dona juga terbawa perasaan hatinya karena sedih ketika mengetahui apa yang terjadi pada Dido.“Tadinya kesehatan Dido bisa membaik, tapi ndak ngerti kenapa, seminggu belakangan kambuh lagi. Dadanya bahkan semakin terasa sakit dari sebelumnya. Pikirannya juga kadang ndak ibu mengerti. Kata dokter di p
Ekspresi kemarahan kakak Dido semakin tinggi, ia seperti tidak dapat menahan diri lagi dan tanpa banyak basa basi, ia langsung luapkan kemarahan itu.“Ooooh, jadi ini tho yang namanya Aryo?! Kamu yang suruh preman untuk mengeroyok Dido. Untuk apa kamu ke sini?!” tanya kakak Dido dengan nada tegas dan ekspresi marah.Semua terkejut, apalagi Dona. Suara kakak Dido yang tadinya masih terdengar ramah dan halus, seketika berubah menjadi keras. Kakak Dido melihat Aryo dengan tatapan serius. Ia sama sekali tidak menyangka jika tamu yang datang siang ini adalah orang yang dianggapnya telah menjadi biang keladi dari sakit yang diderita adiknya.Dona yang kebetulan duduk di dekat Aryo memandang Aryo dan kakak Dido bergantian.“Apa maksudnya nih?” pikir Dona heran sembari melihat Aryo dan kakak Dido bergantian. Ia masih bingung belum paham apa yang terjadi. Bagi Dona, tuduhan itu tidak bisa diterimanya. In
Aryo tetap ngotot dan terus melangkah. Teman-teman yang datang menjenguk semua semakin penasaran. Ode tidak menyangka dengan apa yang ingin dilakukan Aryo.Di sisi lain, Ode bersyukur karena akhirnya rasa kekeluargaan dalam persahabatan mereka sepertinya kembali terjalin. Meskipun Ode tahu keputusan Aryo konyol dan pasti akan dilarang dokter, tapi ada sebuah harapan dalam dirinya bahwa semoga saja Dido bisa ditolong dan dibawa ke rumah sakit karena ada donatur.Sementara itu, beberapa adik kelas yang baru saja datang untuk menjenguk Aryo juga tampak terkejut. Mereka tidak menyangka jika pasien yang akan dijenguknya telah berdiri layaknya orang sehat.“Eeaaalaaahh.. Uweis waras ta rek?” celetuk salah seorang adik kelas OdeMereka yang baru saja datang ini adalah gadis-gadis kampus yang dulu pernah memuja Aryo. Tapi kini sebagian dari mereka tidak datang sendirian lagi karena ada belahan jiwa yang telah mengisi hatinya. Kecuali satu ora
Siang ini, Ode dan beberapa teman dekat yang satu angkatan dengan Aryo, datang menjenguk Aryo ke rumah sakit. Kondisinya kali ini lebih baik dari kemarin, meskipun sudah bisa bangun, duduk, bahkan berdiri, tapi tetap saja tangannya masih sakit untuk digerakkan. Bahkan digantung dengan alat bantu yang diikat di bahu dan leher. Sedangkan Dona, ia hanya mengalami luka lecet di siku dan diperban saja.Setelah berhasil mengumpulkan uang sumbangan sukarela, akhirnya Ode dan teman-temannya datang dengan membawa amplop dan sekantong buah-buahan.”Aryo, ini dari teman-teman semua. Mungkin cuma sekedarnya, tapi semoga bisa membantu. Cepat sembuh ya,” kata Santy, teman yang satu angkatan juga dengan Aryo. Karena Aryo tidak bisa menerima, maka Dona yang selalu setia menemaninya, menerima pemberian tersebut.”Makasih ya, sudah merepotkan,” kata Dona dengan riang.”Nggak repot kok, ini semua keinginan dari teman-teman. Pokoknya nggak ada y
Sejak kejadian sakitnya ibu Aryo yang sempat mendadak masuk UGD dan seminggu dirawat inap di rumah sakit, lalu dirawat hampir sebulan di rumahnya, persoalan sidang cerai Aryo dan Dona di Pengadilan Agama kembali dilanjutkan. Sakit yang sempat membuat ibunya masuk UGD cukup membuat Aryo berpikir lebih jauh.Pendirian dan keegoisannya dalam diri Aryo dan Dona sepertinya berubah akibat peristiwa jatuh sakitnya ibu Aryo. Apalagi nasehat-nasehat yang mereka dengar sejak sakit kerasnya ibu Aryo terus saja mengalir tanpa henti. Pihak keluarga masing-masing dari mereka seperti ingin menyadarkan Aryo dan Dona dari mimpi keduanya. Seakan ingin menyadarkan kembali arti dan tujuan kebersamaan mereka dalam ikatan rumah tangga.Pagi ini Aryo dan Dona kembali datang ke kantor Pengadilan Agama Surabaya. Tujuan Aryo dan Dona ternyata tidak seperti persidangan sebelumnya yang ingin melakukan perceraian.“Kami minta waktu untuk konsultasi dengan yang mulia majelis Hakim,&rdq
Ode terkejut mendengar perkataan kakak Dido yang tampak marah. Tanpa menunggu penjelasan, ia langsung lanjut meluapkan emosinya yang terpendam sejak lama.”Kamu ngerti ndak, adikku sekarang jadi sakit keras gara-gara di keroyok sama preman suruhanmu! Untuk apa kamu ke sini?!” tanyanya dengan emosi tinggi.Mendengar tuduhan itu, Ode kaget dan jadi salah tingkah. Sebenarnya Ode ingin menyanggah, tapi dia yakin telah terjadi salah paham. Ode juga mengerti bahwa kemarahan tersebut adalah luapan emosi yang terpendam. Ode jadi ingat dengan kasus pengeroyokan.“Bukan mbak, bukan saya,” jelas Ode agak panik.Suasana sempat berubah tegang. Bahkan ibu Dido yang tadinya sedang ada di dalam, tiba-tiba muncul karena mendengar ada keributan. Ia pun heran melihat keadaan yang terjadi di ruang tamu rumah sederhananya.Tapi untungnya, dalam keadaan yang sedang tegang tersebut, paman Dido langsung menyela.”Tunggu, nduk,
Sudah hampir dua minggu berlalu sejak kepulangan Dido ke Lamongan, tapi Ode belum mendapat kabar tentangnya. Ode sempat was-was dan bertanya-tanya tentang apakah yang sedang terjadi dengan Dido. Teman-teman di kampusnya juga tidak ada yang tahu pasti.“Kok Dido belum balik lagi ke kampus ya?” pikir Ode di dalam kamarnya. Ia sudah menunggu beberapa hari tapi Dido belum juga kembali. Biasanya hanya satu atau dua hari libur pulang ke kampung, sekarang sudah hampir seminggu lebih tapi belum juga kembali. Tidak ada juga kabar tentangnya, teman-teman di kampus Ode juga tidak tahu.Akibat gelisah dan kebetulan sedang lowong, akhirnya Ode memutuskan untuk datang ke rumah Dido di Lamongan.“Lebih baik aku main ke rumahnya, sekalian silaturahim dan liburan,” pikir Ode.Kebetulan juga ia sudah pernah diajak Dido ke rumah orang tuanya di Lamongan, pada saat liburan semester empat.Meskipun Ode ragu dan agak tidak yakin jika ia masih men