Wanita itu memandang satu persatu ke arah mereka. Seolah tak percaya. Dengan apa yang mereka katakan.
"Jadi tujuan kalian kemari untuk mencari tau?"
"Iya, Bu. Saya selalu dihantui sosok Bu Sapto. Hampir setiap hari, Bu. Terus Mas Delon ini juga."
"Ka-kalian berdua?"
"Iya," jawab Raisa dan Delon bersamaan.
“Eeeehhh ….”
Wanita tua itu terus menatap ke arah mereka. Dengan pandangan yang berbeda.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Raisa terlihat ragu untuk bercerita. Dia melihat pada Bu Marto dan Delon, yang mengangguk padanya.
“Sa-saya pemandi jenazahnya, Bu.”“Jenazah bu Sapto?”“Iya, Bu. Saat saya mandikan, kuku Bu Sapto terlepas. Ternyata tersangkut di renda kerudung saya.”"Sampai tersangkut?"
Raisa mengangguk pelan.
"Hemmm, aneh," gumam Bu Sapto.
"Aneh gimana Bu?" Raisa heran melihat reaksi wanita itu.
Rumah Bu Sapto benar-benar luas. Terkesan megah dan kokoh. Dipadu dengan gaya klasik khas Jawa. Yang berbentuk joglo, menambah kesan misteri rumah ini semakin kuat.“Aku enggak bisa bayangin kalau malam hari. Pasti semakin seram," bisik wanita itu.Bu Marto semakin kebingungan. Dia merasa ditinggal oleh Raisa dan Delon. Mereka seperti menghilang di dalam rumah ini.“Perasaan aku jadi enggak enak. Apa mataku yang sudah tua atau—“Bu Marto menghentikan kalimatnya. Pikiran dia benar-benar kacau saat ini. Sekelebat bayangan hitam kembali terlihat olehnya. Seperti sedang melintas masuk rumah."Haaahhh! Apa itu tadi?"Dia berjalan sedikit menjauh. Dari jendela dan pintu rumah yang terbuat dari kayu jati penuh ukiran. belum sampai pikirannya jernih.Tiba-tiba ....Dia melihat seraut wjah wanita mengintip dari kaca jendela bagian dalam. Tatap matanya terus mengarah pada Bu Marto. Membuat dia terhenya
"Dia ...?" ulang Bu Marto. Tatap matanya tak lepas mengarah pada Bu Saiful yang mulai terlihat gelisah."Iya. Makhluk pencari tumbal itu," bisik Bu Saiful. Suaranya hampir tak terdengar."Haaahhh!"Kalimat wanita itu semakin membuat Bu Marto mati kutu. Hingga mengerjap beberapa kali. Sembari melihat ke arah pengendara itu yang darahnya tercecer.Bu Marto sampai menitikkan air mata. Lalu mengusapnya cepat-cepat. Dia langsung teringat akan Delon dan Raisa.'Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa mereka enggak keluar sama seklai dari rumah itu?'“Kamis legi ini ya?” teriak salah seorang warga.“Iya, Pak.”“Walaaahhh. Pasti ada yang begini. Tahun ini sudah berapa?” teriak salah seorang warga lagi. Yang terdengar jelas di telinga Bu Marto.“Baru dua sama yang sekarang.”'Mereka menghitungnya?'“Berarti akan ada kecelakan lagi,” s
Di dalam rumah Bu Sapto. Hanya terdengar suara langkah Raisa dan Delon yang mengikuti Bu Aminah. Mereka seperti tak mendengar suara apa pun dari arah luar. Seolah sedang berada di suatu ruang yang tertutup yang kedap suara.Sesekali Raisa menoleh ke arah belakang. Tepatnya ke arah pintu luar. Dia merasa ada yang aneh. Suasana terlihat berbeda dari sebelumnya."Kenapa gelap seperti malam hari? Padahal 'kan ini masih siang?" bisik Raisa, mulai merasakan keanehan.Sontak dia menarik lengan Delon. Untuk mendekat."Apaan, Sa?""Coba deh Mas lihat ke arah pintu luar!""Memangnya kenapa?""Iiih, lihat sekarang!"Delon mengikuti ucapan Raisa. Dia menoleh ke arah pintu luar. Lalu kembali melihat pada Raisa dengan kedua mata yang menyipit."Ada apa emangnya?""Mas Delon enggak lihat apa-apa?"Dia menggeleng cepat. Jawaban Delon membuat Raisa semakin gamang dan merasa aneh."Sa! Memangnya ada apa?" tegur Delon
Kali ini, Raisa mulai merasakan begitu banyak pasang mata yang tengah memperhatikan mereka. Seperti bayangan samar. Tapi Raisa tahu itu bahwa mereka benar-benar ada. Di dalam kamar ini.Tak hanya itu saja. Dia pun mendnegar suara-suara berisik dan gaduh. Namun tak terlihat seorang pun. Yang ada hanyalah mereka bertiga. Sampai sebuah teguran dari Bu Aminah mengejutkan dirinya.“Kalian di sini jangan sampai termenung. Atau melamun dengan pikiran kosong!” Bisik Bu Aminah.Raisa tersentak. Suara wanita itu terdengar parau. Seperti bukan Bu Aminah lagi.“I-iya, Bu.”Dengan cepat Raisa menguasai dirinya. Sembari menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan suara-suara aneh yang mulai didengar gadis itu. Serta memalingkan wajahnya dari pandangan tajam Bu Aminah yang terlihat berbeda.Berulang kali Raisa meneguk air ludahnya sendiri. Membasahi tenggorokan yang semakin kering. Seolah tercekat.“Ini lemarinya
"Bu Aminah! Buuu ...!" Terdengar suara mereka berdua yang memanggil hampir bersamaan. “Apa dia melanjutkan bersih-bersih halaman tadi?” ujar Delon. “Aku juga enggak tau, Mas. Tapi ini semua menurutku rada aneh dan janggal. Sebaiknya kita keluar sekarang Mas!” “Sebentar, Sa!” “Apalagi, Mas?” Dia kembali menunjuk sebuah toples yang lebih besar dari yang lain. Tampak Delon semakin penasaran. Sedangkan Raisa sudah tak bisa fokus dengan apa yang dia lihat. Perasaannya semakin cemas. “Perhatikan terus, Sa. Sesuatu yang di dalam toples itu, seperti meneteskan darah.” Suara Delon terdengar berbisik. “Mas! Mas Delon!” Gadis itu tak mendengarkan lagi apa yang dikatakan oleh Delon. Dia terus menarik lengan lelaki tampan itu dengan kencang. “Sebentar Raisa!” “Ta-tapi, i-itu yang duduk di kursi goyang. Seperti—“ Raisa tak sanggup meneruskan kalimatnya. “Seperti apa?” “Se-sepert
"Haaaahhh!" Bu Marto tercengang. Dia hanya bisa menutup mulutnya dan berlari menuju Bu Saiful. "A-ada apa, Bu?" "To-tolong pinjam telepon rumahnya, Bu. Boleh?" "Boleh, Bu. Tapi mana mereka yang ibu cari?" Dia hanya menggeleng. Tak tahu harus berkata apa pada wanita ini. "Entahlah Bu! Saya merasa aneh dengan wanita tua itu. Seperti bukan dia yang tadi saya temui. Wajahnya sama tapi--" "Tapi?" Bu Marto tak sanggup berkata-kata lagi. Mereka berdua buru-buru pulang. Sesampai di rumah. Bu Saiful mengajak dia untuk menelepon nomer ponsel Raisa. "Maaf ya, Bu. Pulsa saya habis. jadi enggak bis abuat telepon." "Enggak apa-apa" Berulang kali dia menekan nomer ponsel Raisa, selalu jawaban operator yang menjawab. Tampak Bu marto semakin kebingungan. Terdengar suara guntur yang gemuruh. Sepertinya hujan akan turun. Ditambah angin kencang berhembus. "Tenang aja Bu. Semoga mereka enggak apa-apa.
"Kalau isi dalam toples itu masih baru. Siapa yang mengambil sisa tubuh korban tumbal itu?" tanya Raisa semakin merasa aneh. "Kamu mulai merasa ada yang janggal 'kan?" "Iya, Mas Delon. Dan yang buat aneh lagi. Sosok Bu Aminah yang menurut aku selalu terlihat berbeda." "Memang!" sahut Bu Marto. "Ibu merasa kayak saya juga?" tanya Raisa." Wanita pasruh baya itu mengangguk kuat. "Bahkan kalian enggak tau 'kan? kalau tadi ada kecelakaan di depan rumahnya Bu Sapto." "Haaaahhh?" Keduanya saling beradu pandang. Lalu Delon menghentikan mobilnya. Mereka pun sudah sampai di depan rumah Raisa. "Ayo kita bicara di rumah saya, Bu!" "Tapi, aku enggak bisa lama-lama ya?" "Enggak apa-apa, Bu. Raisa cuman ingin tau kejadian kecelakaan itu." Setelah itu. Mereka segera memasuki rumah Raisa. "Assalamualaikum!" teriak Raisa. Sembari berharap Momoy sudah pulang. Tapi, rumah masih sepi. Lalu Raisa
Tampak Raisa berusaha untuk mengejar. Namun wanita tua itu terus berjalan seolah tak mendengar panggilan gadis itu."Mbah, tunggu saya!" Untuk yang kedua kali, dia mengulang panggilannya.Raisa berlari cepat. Sampai dia bisa berjalan sejajar dnegna wanita tua itu."Mbah kok langsung ninggalin Raisa?"Dia tak menjawab. Hanya terdiam tanpa mengucap sepatah kata sama sekali."Mbah, kenapa menyuruh saya berhati-hati? Ada apa sebenarnya? Apa yang Mbah lihat?"Raisa terus mencecar dengan banyak pertanyaan pada wanita itu. Tetap saja dia terdiam dengan melangkah semakin cepat.Hingga mereka akhirnya sampai di sebuah rumah yang snagat sederhana."Maaf aku tadi tak menjawab semua pertanyaan kamu. Aku masih wiridan. Lagian sosok Bu Sapto itu selalu mengikuti kamu, Nak!""Bu Sapto?""Iya. Sepertinya meninggal dia dengan cara yang enggak wajar. Atau bisa juga selama hidup dia telah melakukan kesalahan fatal."Lalu, bag
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga