Gadis itu membanting salah seorang dari mereka. Hingga tubuhnya terpelanting ke lantai.
"Aaaaahhhh!"
Teriakan para penghuni hotel ikut mewarnai malam ini. Dua penjaga keamanan yang lain semakin kuat mencengkeram tubuh Raisa. Akan tetapi, gadis itu berkelit cepat. Dia meraih tangan salah seorang penjaga lalu menggigitnya kuat. Membuat lelaki kekar dan garang itu berteriak sekencang-kencangnya.
"Aaaaarghhh ... aaaarghhh!"
Akhirnya Delon yang berada di dekat Raisa. Langsung menarik tubuh gadis itu. Mencekal kedua tangannya. Lelaki yang sedari tadi membacakan doa, langsung berlari mendekati Raisa.
Segera lelaki itu mencengkeram tengkuk Raisa. Lalu mengurutnya perlahan, dengan membacakan doa. Perlahan akhirnya Raisa pun terkulai lemas. Wajahnya penuh darah.
"Angkat ke atas kasur Mas."
"Baik, Pak!"
Delon langsung mengambil tisu yang tak jauh berada di atas meja kecil. Segera dia membersihkan darah yang hampir menger
"Raisa ... Raisa!"Dia pun mengejar gadis itu. Yang langsung tertuju pada tas coklat milih Bu Hariyani. Lalu Raisa seperti orang yang kebingungan sedang mencari sesuatu."Kamu cari apa Raisa?""Di mana foto itu, Mas?""Fo-to yang mana? Dua gadis kembar?"Raisa tak menghiraukan pertanyaan Delon. Tangannya terus bergerak mmebongkar isi tas. Membuat Delon semakin penasaran. Apalagi dia masih sangat syok, dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Peristiwa yang membuat Raisa menjadi sosok aneh. Beringas dan jahat."Raisa! Ini kah fotonya?"Seketika dia menoleh ke arah Delon. Lalu menyambar cepat foto itu. Delon pun mendekatinya."Ada apa Raisa?""Dia, Mas! Lihat sosok hitam ini. Sosok yang selalu berada di antara keluarga Mariman ini. Dia ini seorang wanita. Dan--"Tatap matanya membulat mengarah pada Delon. Yang terus menatap Raisa dengan keheranan."Dan, apa?""Sosok ini telah melakukan perkawinan
Tiba-tiba, Delon merasa ada yang aneh di dalam saku kemejanya. Sesuatu terasa sangat panas. Segera dia merogoh sakunya. Terkejut bukan main. Karena tiba-tiba ponsel itu berasap. Spontan Delon melempar ke lantai Dan .... Bluuup! Tercium aroma hangus dan sesuatu yang terbakar. Ponsel Delon tiba-tiba saja mengeluarkan percikan api. Hanya dalam sekejap, ponsel itu terbakar. "Mas Delon, lihat HP kamu itu!" teriak Raisa panik. Api menyambar ponsel miliknya. Bergegas Delon mengambil air mineral dan mengguyurnya. Wussssh! Seketika api padam. Hanya saja dia tak bisa lagi menghubungi Hamaz. Dalam pikiran Delon pastilah ini perbuatan makhluk itu. Sepintas dia melihat Raisa menyeringai tipis. Akan tetapi itu bukanlah Raisa. Delon berusaha menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk bersikap tenang. "Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu, Sa?" tanya Delon penuh curiga. Karena sulit baginya tahu mana Raisa, mana makhluk yang menjel
Raisa mulai menggerakkan kedua tangan, yang mengarah pada leher Delon. Lelaki tampan berwajah oriental itu, mulai merasakan panas yang mengeliling lehernya. Tiba-tiba, dia merasa tercekik. Tak bisa bernapas sama sekali."Aaaarghhh!"Delon berusaha untuk melepaskan sesuatu yang kian mencekik dirinya. Namun tenaga yang dia miliki tak kuasa. Yang ada Delon semakin jatuh tersungkur dengan kedua tangan memegang leher.Tak jauh dari tempat Delon. Sosok Raisa dengan kedua kaki yang masih terangkat. Terus menggerakkan kedua tangannya. Terkadang seperti menekan atau memelintir sesuatu secara perlahan. Yang membuat Delon berteriak kesakitan.Tampak Wajah Delon merah kebirauan. Dia kali ini benar-benar kehabisan oksigen. Tenggorokannya seperti di tekan oleh sesuatu yang tajam. Hingga bunyi bel terdengar. Membuat manik mata Delon bersinar, seolah ada harapan hidup baginya.Namun dia tak bisa berbuat banyak. Bahkan saat ingin menggapai pintu kamar, tenaga
Kini pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Saat darah terus menetes ke lantai."Turun kan dia sekarang!"Terdengar tawa Raisa yang melengking tinggi."Hihihihiiiii ...."Seolah mentertawakan mereka."Kau iblis laknat, setan keparat. Tinggalkan tubuh wanita itu sekarang!"Kini tubuh Raisa berputar mengelilingi langit-langit kamar. Seperti merayap tapi dengan punggung yang menempel. Kedua mata Raisa terpejam. Dengan jemari tangan yang seolah mencengkaram sesuatu. Dan kedua lutut yang tertekuk. Membuat siapa saja yang melihat, pasti bisa merasakan sakitnya tubuh Raisa diperlakukan seperti ini."Turunlah kau sekarang! Atau aku akan membuangmy ke tempat yang tak kau sukai iblis laknat.""Eeerghhhh!""Turun!" sentak Hamaz.Lelaki muda itu terlihat sangat tenang. Kedua sorot matanya memandang pada Raisa. Tanpa jeda sedikit pun.Lalu sosok Raisa mulai merambat turun. Masih merayap dengan terlentang. Dia mu
Raisa mulai bergerak perlahan. Dia mendongakkan kepala mengarah pada Hamaz dan Rustam. Pandangannya seperti melihat sesuatu yang aneh."A-aku ... di mana sekarang?"Hamaz langsung memberikan segelas air mineral padanya. Raisa yang merasa kelelahan meneguk habis tanpa sisa. Lalu dia mulai memerhatikan mereka satu persatu. Dia merasa tak mengenalnya."Si-siapa kamu?""Aku, Hamaz. Dan, Bapak ini Rusatam. Teman saya.""Lalu, untuk apa ada di kamar ini?" tanya Raisa. Pandangan matanya memutari sekeliling kamar. Dia terhenyak saat menyaksikan semua menjadi sangat berantakan. Hingga pandangan matanya tertuju pada sebuah foto di lantai."Foto itu!"Telunjuknya mengarah di mana foto itu berada. Sontak membuat Hamaz menoleh. Lalu dia berjalan mendekati dan meraihnya."Jangan perhatikan keduagadis itu. Jangan! Dia akan merasuki siapa saja yang melihat bayangan hitam itu, Mas."Seketika Raisa terkejut mendapati tubuh Delon yang amsi
"Iya, Mas. Tapi, yang saya heran tadi. Kok bisa Mas Hamaz ujug-ujug ke kamar saya? Dan sempat bunyikan bel, lalu ketuk-ketuk pintu juga 'kan?"Hamaz mengangguk."Tapi, kok bisa langsung balik lagi, setelah saya coba mati-matian agar bisa menendang pintu, Mas. Tujuan aku cuman satu. Agar aku bisa menimbulkan bunyi=bunyian. Biar Mas hamaz tahu aku di dalam.""Saya tahu. Jadi setiba saya di hotel. Saya langsung hubungi HP Mas Delon. Lama saya telepon enggak ada nada suara.""Iya, Mas. Aneh juga sih menurut saya ini. Setelah menelepon Mas Hamaz. Hp saya langsung terbakar.""Terbakar?""Iya Mas. Dan menurut saya karena faktor X yang enggak bisa dijelasin."Hamaz manggut-manggut."Memang itu ulah makhluk hitam yang merasuki Mbak Raisa.""Terus dari mana kalau Mas Hamaz tau keadaan kita dalam bahaya?" Delon menoleh pada Hamaz yang terfokus pada jalan.Lelaki muda itu pun tak langsung menjawab."Apa dia akan datang
Segera Raisa menutup teleponnya. Lalu dia berjalan menuju sebuah ruang yang cukup luas. Di sana Delon dan Hamaz sudah duduk di atas karpet yang tergelar."Silakan duduk, Mbak Raisa!""Makasih Mas Hamaz. Pondoknya kok sepi ya Mas?""Pondoknya di belakang Mbak Raisa. Kalau ini tempat tinggal saya."Terlihat Raisa manggut-manggut."Coba keluarkan lagi foto usang itu, Mas Delon!""Baik, Mas."Saat Delon menarik koper coklat itu. Tiba-tiba Raisa berteriak kencang. Dia manehan agar Delon tak membukanya."Jangan, Mas Delon!""Ta-tapi, kenapa Raisa?""A-aku takut dia datang lagi."Mendengar ketakutan Raisa. Hamaz mencondongkan wajahnya. Hingga mendekat ke arah mereka."Apa yang membuat Mbak Raisa takut?" bisik Hamaz."Makhluk hitam itu. Kukunya tajam, hitam, terus kedua matanya juga hitam besar. Dia bisa jadi wanita itu. Wanita yang aku lihat di kamar.""Kamar?""Iya, Mas. Kamar rumahnya
"Di gendong?" "Iya, Mas Hamaz. Saya melihat ini, dalam mimpi saya. Antara sadar dan tidak sadar. Saya melihat semua." Tampak lelaki muda itu, berpikir keras. Lalu mengarahkan pandangannya bergantian pada Raisa dan Delon. "Lalu apa yang harus kami lakukan Mas?" tanya Raisa. "Tolong ceritakan dulu dari awal. Bagaimana kalian bisa berhubungan dengan Bu Sapto ini?" Perlahan Raisa mulai menceritakan dari awal mula. Saat pertama mendapat tugas memandikan jasad Bu Sapto. Sampai pertemuan dia dengan Mbah Karsiyem. Hingga kematian para pemandi jenazah. Sampai akhirnya mereka berkunjung ke rumah Bu Sapto. Menyaksikan toples-toples yang berisi potongan atau sisa tubuh korban kecelakaan. Tumbal dari pesugihan Bu Sapto. Hingga mereka berkunjung ke salah seorang anaknya. Tampak Hamaz mendengarkan dengan mimik wajah yang sangat serius. Lalu sekilas memerhatikan Raisa. Yang terlihat kuyu dan lelah. "Dari anak Bu Sapto, Mas Delon dan Mb
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga