Selamat pagi🌄🙋 Jangan lupa dukung cerita ini dengan vote dan ulasan bintang ⭐⭐⭐⭐⭐ nya ya kak. Terimakasih sanget sanget sanget😃
"Hallo, Pak Man. Aku minta dipercepat saja. Nanti sore langsung acara nikahnya. Antri nomor? Minimal 10 hari? Gak bisa nembak? Ya sudah. Oke."Kuusap wajahku kasar. Kalau memang tidak bisa daftar KUA menikah hari ini, aku masih ada cara lain. Takkan kubiarkan nenek peot dan anaknya itu menghancurkan rencanaku. Kalian akan kejang-kejang secepatnya. Lihat saja! Beraninya mengancamku."Hallo. Ya. Kenapa menolak panggilan vidio callku? Gimana? Apa mereka sudah mulai menghiasi rumahmu? Nanti sore aku akan datang melamar. Iya! Nanti sore dengan lusa sore sama saja. Hallo! Hallo!"Gadis menyebalkan. Dia mematikan panggilanku. Aku tak peduli. Perang dingin ini harus segera kumenangkan agar berakhir. Segera kuhubungi WO yang mengurus hantaran ini."Aku ingin acaranya dilaksanakan sore ini juga. Kerahkan semua karyawanmu sekarang.
erlihat wajah keterkejutan dari laki-laki berkumis itu. Beberapa orang berbisik padanya lalu salah satunya mendekatiku."Pak Tarno mau bicara, ada yang ingin disampaikan," ucapnya padaku hampir tak terdengar.Aku hanya mengangguk lalu meletakkan pengeras suara. Jika sudah setuju, mengapa tak langsung mengatakan iya?"Nak, kita bicara di dalam sini dulu sebentar," ujar Bu Marni mendekatiku.Tampak Pak Tarno juga Dahlia mengikuti kami masuk ke dalam ruangan. Aku rasa itu kamar Dahlia. Ada foto gadis itu tanpa hijab. Dahlia segera menelungkupkan fotonya dengan cepat. Ck! Lelucon."Kenapa Nak Aditya tak memberitahu kalau mau langsung akad?" tanya Bu Marni dengan suara lembut."Bukankah mempercepat hal baik itu baik?" tanyaku berbalik.Dahlia menatapku tajam."Tapi proses per
Yuni turun dari mobil. Sembari menunggu Belinda mematikan mesin mobil, ia mengedarkan pandangannya pada lalu lalang orang yang ramai membawa jajan kotak juga minuman kemasan botol."Bel, ada apaan ya? Kok pada rame gitu!? Ada acara syukuran atau apa ya?""Mama tanya aja. Oh ya, barangku sudah Mama turunin?" tanya Belinda dan rupanya ia sudah tak menemukan ibunya. Nampak di luar gerbang, Yuni sedang berbincang."Gak pernah gak kepo Mama ini. Mana lagi belanjaanku ya?"Belinda memeriksa kursi belakang. Ia dan ibunya baru saja membuang emosi dengan berbelanja. Tiba-tiba bokongnya ditarik ibunya sembari histeris."Belinda!!! Belinda!!! Gawat Bel!""Apa sih, Ma?! Sakit iih!" Belinda menggosok kepalanya karena baru saja membentur bagian atas pintu mobilnya."Bel! Bel ... Mama mau pingsan ini, Bel!"Yuni menarik nafasnya berkali-kali lalu membuangnya dengan cepat."Mama kenapa?!" Belinda memegang b
"Mereka pasti hancur, Ma," timpal Belinda namun bulir bening di kelopak mata gadis itu tak bisa dibendungnya. Ia menangis dan kali ini sangat memilukan hati setiap telinga yang mendengar. Rasa di dalam dadanya hampa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. "Tenanglah sayang, kamu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari Aditya," ujar Yuni menenangkan anak gadisnya. "Tapi mengapa harus dengan Dahlia, Ma!? Harusnya aku yang di sana dengan cincin berlian itu, dengan semua hantaran dan lamaran itu. Harusnya aku yang jadi Nyonya Central Glory! Harusnya aku, Ma!" teriak Belinda histeris. "Sabar sayang, sabar." Yuni hanya bisa mengelus kepala putrinya yang menangis sesegukan tak henti. Andai ia pun bisa memutar waktu, ingin rasanya saat hari lamaran itu, mulutnya disumpal saja dengan lakban hitam. Tapi semua tak mungkin. Hatinya pun tak kalah sakitnya, jika membayangkan Marni Si Tukang Cuci itu sekarang jadi orang kaya. Sedangkan di sisi lain, Tarno gelagapan
Nampak Dahlia sedang berjalan mendekati jendela kamar hotel itu. Pandangannya sejenak menatap pemandangan dari balik kaca bening. Terlihat malam mulai menyapa, lampu-lampu sedang dinyalakan. "Aku tak pernah satu kamar berdua begini, Mas. Ada rasa takut dalam hatiku. Maafkan aku. Jangan sampai hal ini membuatmu tak ridho padaku. Hingga jadilah aku ini istri durhaka, dilaknat Allah dan malaikat-NYA." Mendengarnya berucap begitu, Aditya menelan salivanya kasar. Apakah itu artinya Dahlia benar-benar memposisikan dirinya sebagai istri? Yang artinya? Aaaah pikiran Aditya berselancar error. "Aku juga tak pernah masuk kamar hotel berdua dengan perempuan. Jangan kira aku sudah biasa ya," ketus Aditya membuang ser-ser di hatinya. "Maafkan aku, ya Mas." 'Eeih ... Kenapa dia begini? Sekarang aku yang dibuatnya tak karuan dengan sikapnya. Ini tak bisa dibiarkan!' pekik batin Aditya tak mampu berkata-kata. Sejenak dia diam, Aditya mengangkat sedikit tangannya memberi isyarat agar Dahlia mendeka
"Aa-aaku ...." Habis perbendaharaan kataku sekarang. Kilau bibir Dahlia sungguh menggoda imanku. Aroma yang menyeruak dari tubuhnya yang hanya terbalut handuk itu membuatku tak karuan. "Aku kedinginan sendirian di sini, Mas," lanjutnya bagai nyanyian peri di telingaku. "Aa-aaku, anu ... tadi ...." Lututku gemetar. Tak ada kekuatanku mengendalikan tanganku untuk tidak menyentuh pipinya yang basah. "Dingin kan, Mas?" Kenapa suaranya begitu mendayu, mengikis kewarasanku. Aku hanya bisa mengangguk sembari menelan salivaku. Wajahku semakin mendekati wajahnya. Aku seperti ingin menghirup aroma nafasnya lebih dekat. Lebih dekat lagi. Dekat lagi. "Makanya aku tarik kamu ke sini biar kamu tahu rasanya. Udah ah, dingin. Kamu kalau mau mandi, lanjut saja. Aku mau pake baju." Dahlia menyingkirkan tanganku lalu meninggalkanku begitu saja. Cekleeek! Tangan lentiknya menekan tombol lampu hingga ruangan itu sangat terang. Tidak remang-remang seperti tadi. Sekarang aku masih melongo. Ya
@Kediaman Bu Marni"Jadi Bapak bawa semua uangku, Bu?" tanya Dahlia dengan suaranya yang berat.Marni mengangguk sembari mengusap air matanya."Maafkan Ibu, Nak. Ibu tak bisa banyak melakukan apa-apa untuk mencegah Bapakmu.""Gak apa-apa, Bu. Itu hanya sekitar delapan jutaan. Tak terbayang kalau Mas Aditya gak amankan hantaran dan lamaran itu," lirih Dahlia menatapku.Aku tak merespon apa-apa. Bapak mertuaku itu memang keterlaluan. Aku yang barusan pulang kerja, harus mendengar berita ini jadi makin sumpek."Nanti kalau uangnya habis, dia pasti akan pulang," ujar Bu Marni."Terus Ibu akan tetap terima bapak?" tanya Dahlia.Bu Marni hanya diam saja."Aku tak masalah jika Ibu dan Bapak cerai. Hanya kezoliman saja yang Ibu dapatkan darinya," ucap Dahlia berap
Plaaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Ayahku menamparku dengan sangat keras. Kumisnya yang menyatu dengan jenggotnya terlihat bergetar dengan matanya yang menyala karena marah. "Kenapa kamu mengambil keputusan tanpa persetujuanku?! Kamu melakukan sesuatu dengan emosimu. Apa itu sikap pemimpin?! Apa itu yang aku ajarkan padamu, Aditya?!" Aku hanya menunduk menikmati panas bekas tangan ayahku. Berdenging rasa di telingaku. Padahal ayahku tidak sehat sepenuhnya, tapi ia bisa membuat gigiku terasa nyut-nyutan. Aku menelan salivaku sedikit menetralisir nyerinya. "Kamu tak hanya menghancurkan nama keluarga ini, kamu juga menghancurkan kepercayaan Papa!" berang ayahku setelah mengetahui segala kebenaran yang kuceritakan dengan rinci. "Maafkan aku, Pa," lirihku masih menunduk sembari mengelus pipiku. "Sekarang, setelah kamu membeli kesombongan orang lain, apa kamu merasa puas? Lalu kamu kira akan berakhir begitu saja tanpa ada akibatnya bagi dirimu lebih-lebih bagi keluarga jug
Yuni pias luar biasa. Dingin dan gemetar tangannya saat mencoba menghubungi nomor Belinda."Bu! Apaan sih?! Dari tadi ribut terus!" bentak salah seorang gadis yang merasa kesal karena Yuni menghalangi jalannya."Ma-maaf," ucap Yuni bahkan tak menatap lawan bicaranya. Biasanya ia takkan pernah terima dibentak begitu, apalagi oleh bocah ingusan di matanya. Namun kali ini, rasa takutnya melebihi egonya."Jangan bilang kamu kabur dan memilih melahirkan anak itu, Bel," lirih Yuni berlari kecil menuju parkiran.Ia langsung melesat pulang, berharap anaknya sudah di rumah. Namun nihil, Belinda tak ditemukan. Yuni menghubungi suaminya untuk pulang dari kantor. Sayang, bukan rangkulan penenang yang dia dapatkan tapi kemurkaan suaminya."Kalau sampai Belinda tak pulang, kamu ha
"Tidak, Dahlia! Janin itu harus digugurkan!" seru Yuni memberang."Kita tidak tahu masa depan seseorang, Bu Yuni. Siapa yang tahu, janin itu kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan yang berguna?!""Omong kosong! Aku tetap tak akan mau memiliki cucu haram, Dahlia! Jangan mentang-mentang kamu sekarang punya kekuasan, kamu mempengaruhi anakku!"Dahlia masih berdiri. Ia sama sekali tak diminta duduk apalagi disuguhkan apa pun meskipun dia datang sebagai tamu. Sepulang dari rumah sakit, Dahlia memutuskan ikut dengan mobil Belinda sedangkan Aditya memilih kembali le kantor. Sepanjang jalan laki-laki itu menggerutu karena keputusan istrinya yang di luar logikanya."Aku hanya tak rela, ada janin yang dibunuh, Bu. Bahkan saat ini, detak jantungnya begitu terdengar luar biasa," ucap Dahlia mencoba meyakinkan."T*i kucing!" umpat Yuni makin meradang dan menuju kamar an
Seolah abai, Dahlia meraih tas selempangnya dan sudah siap dengan tampilannya. Ia memilih tak ingin menanggapi ucapan suaminya. Ia memiliki rencana untuk sedikit menggoyahkan hati seorang ibu."Mari, Bel! Kita ke dokter kandungan bersama. Ikut mobil kami!" seru Dahlia membuka pintu yang ia sendiri kunci."Menyesal aku ke sini," ketus Belinda mengikuti langkahnya.Tak punya pilihan, Aditya menyetir dengan membawa dua wanita hamil. Satu istrinya, satu mantannya. Bahkan ketika mereka sampai di poli kandungan, Aditya begitu amat canggung karena kedua wanita itu mendapatkan buku pink secara bersamaan dan semua mata memandangnya aneh.'Sial, pasti mereka mengira aku memiliki dua istri' rutuk hati Aditya.Nama Dahlia lebih dulu dipanggil untuk masuk. Aditya mengikuti istrinya ke dalam dan bertemu dokter kandungan."Selamat ya, kandungan
"Ke-kenapa kamu harus gugurkan?!" Dahlia seolah kehilangan akal. Sebagai seorang wanita yang pernah kehilangan janinnya, setidaknya ia merasa, tindakan Belinda itu akan menjadi sangat kejam. "Ya karena dia bukan anak dari laki-laki yang kumau. Dia anak dari kakek-kakek tua bangka, seorang napi!" Dahlia langsung mendekati Belinda. Ia meraih lengan wanita itu dengan tatapan tajam. "Janin itu tak berdosa, Bel!" "Aku tak peduli." "Umurnya pasti sudah dua bulan bahkan lebih!" sambut Dahlia nanar. "Ya. Ayahku mencegahku, tapi ibuku mendukungku. Aku sudah muak." Belinda melepaskan tangannya dari genggaman Dahlia. "Lepas. Aku datang bukan untuk meminta persetujuanmu, Dahlia. Kamu ... ada saat kejadian itu, jadi aku merasa, kamu harus tahu." Dahlia menggeleng keras. Ia tak mungkin membiarkan seorang janin diaborsi. "Kalau kamu benar-benar sudah berubah menjadi pribadi yang baik, please, jangan tambah dosamu lagi!" "Kamu enak ngomong dosa, kamu kira sejak kejadian itu, aku bisa
"Maafkan kami, Pak Hadi. Maafkan kami. Kami sangat menyesal," ucap Imron dengan suara bergetar.Sedari awal ia tak memiliki masalah dengan Aditya, Yuni lah yang memiliki kriteria khusus. Namun sebagai suami, Imron pasang badan untuk melindungi istrinya."Tak masalah. Aku justru berterima kasih karena sudah memperkerjakan Dahlia di rumah kalian sehingga anakku bisa bertemu dengannya."Imron dan Yuni kompak dia kehabisan kata. Rasa malu seperti sedang membenamkan mereka ke dasar bumi."Untuk apa kalian ke sini?""Kami, kami ingin mengucapkan te-terimakasih, Pak. Berkat dukungan pengacara-pengacara hebat dari Bapak, Mandala mendapatkan hukuman yang setimpal meski kehormatan anak kami tak bisa kembali," jawab Imron terbata karena gugup."Aku tidak melakukan apa pun untuk anak kalian. Aku melakukan semua itu karena menantuku."
Masih di rumah sakit. Aditya menarik tangan Dareen agar menjauh dari ayah mereka yang sekarang duduk di dekat Dahlia yang masih dipasangi infus. Wanita itu masih perlu infus nutrisi agar kondisi tubuhnya kembali stabil."Kenapa kamu mesti bawa Papa ke sini? Paling nanti sore Dahlia dikasih pulang," ujar Aditya mencubit lengan adiknya."Apa sih, Bang! Masih sakit badanku ini! Harusnya aku juga dirawat di sini!"Aditya menciut setelah dihardik balik oleh adiknya. Ia melipat alisnya seolah meminta penjelasan."Papa yang maksa mau ke sini. Lagi pula, dia seperti kesurupan gatot kaca karena menjadi benar-benar pulih saat mendengar menantunya dirawat di sini," cerita Dareen dengan nada menggerutu."Papa benar-benar menyayangi Dahlia. Aku tak menyangka, semua ini berjalan sangat cepat. Kasih sayang tulus Dahlia telah meruntuhkan batu karang ego seorang Hadi Prata
"Katakan lagi. Aku ingin mendengarnya sekarang," ucap Aditya berkaca-kaca."Aku mencintaimu, Mas. Tak peduli siapa kamu. Apakah kamu CEO atau laki-laki biasa, aku tetap mencintaimu."Tubuh Dahlia kembali direngkuh Aditya. Dibiarkannya wanita itu mendengar detak jantungnya yang berdebar-debar."Kamu dengar, Dek?! Sekarang, setiap detakannya untuk mencintaimu. Selamanya.""Ehheeem!"Refleks Dahlia dan Aditya berlepas diri mendengar suara deheman. Seolah abai dengan apa yang dilihat dan didengarnya, Dareen menyerahkan kunci mobil pada abangnya."Hati-hati. Aku akan di sini menunggu petugas kepolisian."Dengan cepat, Dareen meninggalkan Aditya dan berpura-pura menjauh dari keduanya. Hatinya seperti ada yang meremas hebat. Cemburu? Mungkin itu kata yang paling tepat. Namun di dasar hatinya, ia bahagia, kakaknya sudah mengatak
Mandala mencabut beberapa pecahan kaca yang menempel di otot-ototnya. Seolah kulitnya kebal setebal baja sehingga sekedar pecahan kaca bukan hal yang membuatnya gentar. Aditya mendekat. Dareen mengangguk samar memberi isyarat agar dia saja yang maju. "Kali ini, biarkan aku bertarung tanpa bantuanmu, Bang," lirih Dareen mendecih. Tak berpikir panjang, Mandala berlari cepat dan menyerang Dareen. Ia menendang sisi kiri Dareen. Pemuda itu bisa menangkisnya meskipun hampir tersungkur. Namun gerakan Mandala juga cepat. Ia kembali menendang pinggang Dareen, tidak hanya sekali tapi tiga kali tanpa jeda. Dareen berusaha menepis dan menghindar namun sayang, ia sempurna terjungkal karena Mandala luar biasa keras seperti bongkahan beton. "Kamu mungkin kekar, tapi denganku, kau bukan apa-apa, Bocah," ucap Mandala jumawa. Sama sekali Mandala tak terlihat sebagai pimpinan perusahaan besar yang berwibawa. Rupanya laki-laki itu memiliki topeng yang luar biasa menipu. Bahkan tak ada orang ya
Kedua bola mata Darien menangkap sosok laki-laki berwajah sangar tanpa baju duduk di atas kayu yang bulat panjang. Di belakang punggung laki-laki itu, ada tubuh laki-laki juga yang sedang merunduk tertutupi kayu."Ada dua orang laki-laki. Salah satunya terlihat aneh. Di malam sedingin ini, dia membuka baju seperti terengah-engah. Apa mereka pemotong kayu illegal? Karena ada potongan kayu besar di sana," gumam Dareen sendirian."Harusnya mereka bersembunyi jika mereka adalah pelaku ilegal. Bisa jadi mereka mengira mobil ini, polisi hutan kan? Kau tau sendiri, jalur ini jarang dilewati kendaraan di malam hari," tambah Aditya terus melaju."Atau mereka begal? Kalau begal kenapa tak berusaha menghentikan kita?" gumam Dareen lagi."Sedang apa mereka? Selain yang duduk tadi, salah satunya sedang merunduk, memungut sesuatu? Atau ... menutupi sesuatu?!" lanjut Dareen mengalisis pemand