Pikiran tentang Aulia sekilas melintas di benaknya. Shena merasa jika Aulia menyukai Ervan, dan ia tak ingin menyakiti hati siapa pun. Namun, ucapan Ervan barusan membuat hatinya bimbang.Setelah beberapa saat, Ervan akhirnya menghentikan mobil di depan rumah Shena. Ia mematikan mesin dan berbalik menatap wanita itu."Shena, kamu nggak harus jawab sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku benar-benar serius ingin menjadikanmu sebagai pendamping hidupku," ucap Ervan dengan tulus.Shena menatap pria di sampingnya dengan sorot mata yang sulit terbaca. "Terima kasih, Ervan. Tapi aku butuh waktu untuk mencerna dan memikirkan semua ini."Ervan pun mengangguk paham, meski sebenarnya ia sudah tak sabar untuk menunggu. "Aku mengerti. Sekarang, kamu dan Sheira harus istirahat yang cukup, ya. Jangan terlalu jadi pikiran."Shena turun dari mobil, begitu juga dengan Ervan yang menggendong Sheira yang masih tertidur pulas. Pria itu membawa gadis kecil tersebut ke kamarnya."Ervan, terima kasih k
Suara detik jam di dinding terasa begitu lambat. Bu Surti duduk di samping Aulia yang masih terlihat lemas. Wanita paruh baya itu memegang tangan anak bungsunya dengan erat, memastikan Aulia tidak lagi berpikiran untuk menyakiti dirinya sendiri. Namun, pikirannya sendiri berkecamuk, penuh dengan rasa sakit dan kebingungan.Ia membalut pergelangan tangan sang anak yang terus mengeluarkan darah."Nak ... Ibu nggak pernah tahu kalau kamu menyimpan rasa seperti ini untuk dosenmu yang ternyata pengacaranya Shena. Kenapa kamu nggak cerita dari awal, Sayang?" tanya Bu Surti, suaranya nyaris berbisik.Aulia menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku nggak tahu harus cerita apa, Bu. Aku malu. Pak Ervan itu terlalu sempurna untuk aku. Tapi ... aku nggak bisa berhenti berharap."Kata-kata Aulia membuat hati Bu Surti terasa perih. Ia tahu betapa rapuhnya anak bungsunya itu. Aulia mungkin terlihat ceria di luar, tetapi di dalam, ia sering merasa rendah diri. Bu Surti memeluk putrinya erat-er
Setelah kepergian Bu Surti, Shena terduduk di kursi ruang kerjanya. Mata cokelatnya menatap kosong ke arah jendela, di mana sinar matahari siang menembus tirai tipis dan membuat bayangan lembut di lantai. Suara detik jam di dinding terasa begitu nyaring di telinganya, mengiringi kekacauan dalam pikirannya.Ia memejamkan mata, mencoba mencerna kembali setiap kata yang diucapkan Bu Surti tadi. Permintaan itu, meski disampaikan dengan nada memohon, terasa seperti beban berat yang mendadak dilemparkan ke pundaknya. Bu Surti benar-benar meminta agar ia menjauhi Ervan. Shena tak dapat membohongi dirinya lagi. Diam-diam, ia mulai menyadari bahwa Ervan telah mengisi ruang kosong di hatinya.Shena menghela napas panjang, kemudian berbisik pada dirinya sendiri, "Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?"Bayangan wajah Ervan melintas di benaknya. Cara pria itu tersenyum saat mereka berbicara, bagaimana ia selalu memperlakukannya dengan penuh hormat, dan yang paling menyentuh hati Shena, kesabaran Erva
Suasana rumah sakit bersalin masih terasa sibuk saat Arya berdiri di depan ruang operasi. Waktu seolah berjalan lambat, dan setiap menit yang berlalu membuat dadanya semakin sesak. Di sampingnya, Bu Surti duduk dengan tangan terlipat di pangkuannya, wajahnya muram tapi penuh harap.Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang operasi."Pak Arya?" panggilnya.Arya segera berdiri, jantungnya berdegup kencang. "Iya, Dok.""Selamat, Pak. Istri Anda telah melahirkan dengan selamat, bayi laki-laki yang sehat."Sejenak, Arya tidak bisa berkata-kata. Ada rasa lega yang begitu besar membanjiri dadanya. Mata Bu Surti berkaca-kaca, meskipun tadi ia sempat kecewa dengan keputusan Vidya, tetapi kabar ini tetap membawa kebahagiaan."Alhamdulillah …," bisik Arya dengan suara bergetar.Dokter pun tersenyum. "Istri Anda masih dalam pemulihan, sementara bayinya akan kami bawa ke ruang perawatan bayi sebentar untuk dibersihkan, sebelum Anda azankan."Arya mengangguk, lalu menoleh pada ibunya. "Bu
Suasana senja mulai turun ketika Anna akhirnya sampai di sebuah rumah minimalis bergaya modern di sebuah perumahan yang satu komplek dengan rumah lama Shena. Dengan sedikit ragu, Anna mengetuk pintu.Tak lama kemudian, pintu pun terbuka, menampakkan seorang wanita yang tengah mengenakan baju santai dengan rambut dikuncir rapi. Irma menatap tamunya dengan alis sedikit berkerut, jelas tidak menyangka dengan kedatangan Anna."Mbak Anna?"Anna pun tersenyum tipis. "Hai, Irma. Boleh aku masuk?"Irma tidak langsung menjawab. Matanya menatap Anna dengan tatapan meneliti, seolah mencoba menebak tujuan kedatangannya. Namun, akhirnya ia bergeser, memberikan ruang bagi wanita itu untuk masuk."Duduklah," ujar Irma datar, berjalan menuju dapur. "Mau minum teh?"Anna menggeleng. "Tidak usah, aku tidak akan lama."Irma mengangkat bahu sebelum duduk di seberang Anna. "Jadi, ada apa? Aku rasa kita tidak pernah punya urusan sebelumnya."Anna menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat
Sudah tiga puluh hari Vidya tinggal di rumah mertuanya. Dalam kurun waktu itu, banyak hal yang berubah, terutama sikap Bu Surti.Dulu, ibu mertuanya selalu menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. Kata-kata pedas selalu terlontar dari bibirnya, seakan apa pun yang Vidya lakukan adalah kesalahan. Tapi sekarang, Bu Surti jauh lebih lembut. Setiap pagi, wanita paruh baya itu menyeduh teh hangat untuknya, memastikan ia makan dengan cukup, bahkan sesekali menggendong Arvi dengan penuh kasih sayang.Vidya tak bisa membohongi diri sendiri. Ia merasa nyaman. Wanita itu mulai berpikir, mungkin inilah yang disebut keluarga.Hari ini, seperti biasa, Vidya duduk di ruang tengah sambil mengayun pelan boks bayi tempat Arvi tertidur. Matanya menatap anaknya dengan lembut, sementara di dapur Bu Surti tengah menyiapkan makan siang.Pintu depan terbuka, dan Arya masuk dengan wajah lelah. Keringat masih membasahi dahinya, sementara tubuhnya sedikit membungkuk, tanda kelelahan setelah seharian bekerj
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
"Cuma apa?" potong Arya dengan cepat. "Cuma mau memastikan Arvi selalu ada di dekatmu, biar aku nggak punya kesempatan buat bawa dia ke rumah sakit?""Mas Arya!" Vidya terperanjat. "Aku cuma … aku cuma nggak mau ada masalah dalam rumah tangga kita! Aku takut semuanya hancur!"Arya tertawa pendek, penuh kepahitan. "Semuanya hancur? Kamu pikir aku nggak takut? Aku juga nggak mau rumah tangga ini berantakan, Vidya! Sudah cukup rumah tanggaku dengan Shena berantakan gara-gara kamu muncul dalam hidup aku. Aku juga nggak mau hidup dalam kebohongan!"Vidya terdiam. Ia ingin membela diri, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan."Aku nggak minta banyak, Vid," lanjut Arya dengan suaranya yang lebih lirih, tapi tetap terdengar tegas. "Aku cuma mau kepastian. Kalau memang Arvi adalah anak kandungku, aku sangat bersyukur dan akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kalau ternyata bukan ...."Arya menatap istrinya dengan tajam. "Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam rumah tangga yang
"Aku setuju tes DNA dilakukan besok," ucap Arya akhirnya.Anna tersenyum tipis, akhirnya sang adik menyetujui. "Bagus kalau kamu sudah yakin.""Tapi, ada masalah," lanjut Arya dengan nada serius. "Aku nggak punya uang cukup buat tesnya, Mbak."Anna mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh selidik. "Memangnya, kamu butuh berapa?""Aku belum cek biaya pastinya, Mbak. Tapi, tes DNA di rumah sakit itu pasti nggak murah," Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Makanya aku mau minta bantuanmu, Mbak. Bisa nggak, aku pinjam uang dulu?"Anna menatap Arya lekat-lekat, memastikan apakah adiknya benar-benar serius. Ia tahu kondisi keuangan Arya memang sedang sulit. Sebagai sopir taksi online, penghasilannya pas-pasan, apalagi sekarang Vidya sudah tidak bekerja semenjak menikah dengan Arya."Aku nggak masalah bantuin kamu," jawab Anna akhirnya. "Tapi, kalau hasilnya nanti beneran nunjukin kalau Arvi bukan anak kamu, apa kamu berani ambil tindakan?"Mendengar itu, Arya terdiam. Pertanya
Setelah masuk ke dalam kamar, Vidya langsung mengunci pintunya rapat-rapat. Ia bahkan memastikan jendela juga terkunci. Ia tak mau ada seorang pun yang masuk atau mencoba mengambil sesuatu dari dalam kamar ini.Sementara itu, di luar kamar, Anna berdiri bersedekap dengan ekspresi dingin. Ia sudah menduga Vidya akan melakukan hal ini, mengurung diri bersama dengan bayinya. Namun, kali ini ia tidak akan tinggal diam.Anna menunggu di luar kamar dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Vidya, mengamati apakah ada celah yang bisa dimanfaatkan.Ternyata, usahanya tidak sia-sia.Ketika sore mulai menjelang, Anna mendengar suara kunci kamar yang diputar. Ia segera berpura-pura sedang sibuk dengan ponselnya. Namun, ekor matanya tetap mengawasi.Vidya keluar dari kamar dengan wajah sedikit lelah, tetapi ekspresi tegang masih jelas terlihat di wajahnya.Anna memperhatikan dengan saksama."Kenapa dia keluar kamar?" pikirnya.Saat Vidya berjalan menuju kamar mandi, Anna memperh
Siang itu, suasana rumah masih terasa tegang. Vidya terus-terusan menempel pada Arvi, seolah tak ingin bayi itu lepas dari gendongannya. Bahkan, saat makan pun, ia tetap menggendong sang putra.Arya yang duduk di meja makan hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan penuh tanya. Sejak pagi, Vidya tampak semakin aneh. Ia tidak membiarkan siapa pun menyentuh Arvi, bahkan Arya sendiri.Saat tangan Arya terulur ingin mengusap kepala bayinya, Vidya langsung memundurkan tubuhnya sedikit, menghindar tanpa terlihat mencolok."Kamu kenapa, Vid?" tanya Arya akhirnya, dengan suaranya yang datar, dan sorot matanya yang menatap tajam.Vidya tersentak, lalu terkekeh kecil. "Nggak kenapa-napa, Mas. Aku cuma lagi menikmati waktu sama Arvi."Arya mengangkat alis, merasa tidak percaya. "Bahkan aku aja nggak boleh gendong Arvi? Sejak kapan kamu kayak gini?"Vidya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa dag-dig-dug. "Bukan gitu, Mas. Arvi kan masih kecil. Aku nggak mau dia rewel kalau digendong ora
Ia menunduk, menenangkan Arvi yang mulai menggeliat dalam gendongannya. Vidya pun menghela napas panjang."Sial," desisnya. "Aku nggak boleh panik, dan aku harus berpikir jernih."Jika benar Arya sudah mulai curiga, maka itu berarti ia harus mencari cara lain untuk mengendalikan keadaan. Mengandalkan Yudi jelas bukan pilihan. Pria itu terlalu bodoh untuk memahami situasi.Vidya menegakkan punggungnya, memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Matanya mulai mencari-cari seseorang di sekitar taman. Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya.Tapi, tanpa Vidya sadari, seseorang masih berdiri di balik pohon besar, mengamati semua yang terjadi.Anna menggenggam ponselnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mendengar semuanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Vidya dan Yudi telah ia rekam.Anna mengusap tengkuknya yang dingin. Apa yang baru saja ia dengar bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Fakta bahwa Arvi bukan anak kandung Arya adalah sebuah bom besar y
"Uang," jawab Yudi dengan singkat. "Gunakan ini buat jaga-jaga. Kalau Arya sampai kepikiran tes DNA, kamu tahu harus gimana, kan?"Vidya pun semakin gelisah. "Tapi ....""Jangan banyak tanya, Vidya," potong Yudi dengan tajam. "Ini buat kebaikan kita semua. Aku nggak mau ada masalah."Vidya menggigit bibirnya, lalu menerima amplop itu dengan rasa penasaran, berapa banyak uang yang ia terima.Ia segera membuka amplop yang baru saja diberikan Yudi. Dengan cepat, ia menarik isinya dan mulai menghitungnya di hadapan pria itu. Matanya menyipit saat melihat jumlahnya. Hanya sepuluh lembar uang seratus ribuan.Vidya mendengkus, lalu menatap Yudi dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu kasih aku uang cuma satu juta?"Yudi memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, ekspresinya tetap datar. "Memangnya kamu berharap berapa?"Vidya mendekatkan wajahnya, menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka. "Kalau kamu pikir aku bisa nyogok dokter buat memalsukan hasil tes
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng