“Fir, beneran kamu mau pergi.” Pertanyaan kesepuluh yang Rani tanyakan setelah baru lima menit dia tiba di rumahku.
“Mau berapa kali lagi sih Ran kamu tanya. Aku akan pergi. Roni udah nyiapin semuanya.” Jawabku pelan sambil mengusap pipi sahabatku ini.
“Terus aku gimana? Nanti kamu juga enggak datang di pernikahanku.” Rengeknya lagi, kali ini air matanya mulai menetes.
“Maafin aku ya Ran, maaf banget.. Aku harap kamu bisa mengerti. Doaku selalu menyertai kamu sayang. Semoga kamu selalu bahagia, pernikahan kamu menjadi pernikahan yang pertama dan terakhir. Punya anak-anak yang lucu.” Aku pun mulai ikut meneteskan air mata. Aku berusaha menguatkan hati agar tidak goyah dengan rengekan-rengekan Rani.
Kupandangi foto pernikahanku dengan Endruw yang aku pajang di figura kecil. Aku ragu untuk memasukkannya ke dalam tas. Namun akhirnya figura itu masuk juga ke dalam tas jinjing besarku. Foto ini adalah satu-satunya
“Bagaimana Fir, kamu siap menghandle pekerjaan ini kan? Kita akan untung besar jika pekerjaan ini selesai sebelum deadline. Dan Om yakin hanya kamu yang bisa mengaturnya. Minggu depan kamu bisa mulai bekerja di sana. Om sudah siapkan tiket pesawat menuju Jakarta buat kamu berangkat besok lusa.” Dan seperti biasa aku tidak bisa menolak perintah Om Gino.Lima tahun sudah aku berada di negara orang. Aku bekerja d tempat Om Gino, tentunya atas bantuan Roni. Perusahaan Om Gino ini merupakan salah satu perusahaan besar di negara ini. Sebuah prestasi yang membanggakan bagiku, Om Gino sangat menyukai hasil kerjaku. Sehingga baru lima tahun aku bekerja di sini, jabatan manager sudah berhasil aku dapatkan. Begitu juga dengan pundi-pundi uang yang aku dapatkan. Sehingga aku bisa hidup dengan mandir dan nyaman di sini.Aku menghela nafas panjang saat duduk di meja kerjaku. Aku tahu pasti bahwa Om Gino memintaku untuk kembali ke Jakarta dan bekerja di sana sampai proyek
“Hai Bry..” Sapaku saat sampai di dekatnya. “Tumben kafe ini sepi banget, biasanya rame.”Bryan menggeser kursi dan mempersilakanku untuk duduk. “Waow, spesial banget Bry.” Bryan hanya menyunggingkan senyum manis di bibirnya.Beberapa makanan sudah tersedia di meja. Makanan-makanan tersebut adalah makanan favoritku. Yaa, Bryan tahu betul makanan kesukaanku karena kami memang sering makan di sini bersama teman-temanku sekantor yang lain.Bryan memang sering menghabiskan waktu istirahat siangnya di sini. Meskipun tempa kerja Bryan dari tempatku bekerja lumayan jauh. Bryan tidak bekerja di perusahaan Om Gino. Dia mendirikan perusahaan sendiri tanpa bantuan dari Om maupun orang tuanya. Bryan memang laki-laki yang mandiri dan patut dibanggakan. Usianya dua tahun lebih muda daripada aku. Pembawaan yang jenaka membuatnya memliki banyak teman. Namun sepengetahuanku dia masih sendiri. Entah karena dia tidak laku atau mema
Nafasku masih menderu saat aku duduk di kursi pesawat. Seperti biasa dan sudah menjadi makanan sehari-hari aku terlambat bangun pagi. Mau tidak mau prosesi keberangkatanku ke Indonesia hari ini bak dikejar hantu. “Huff untung aja masih keburu” gumamku lirih.Hari ini sesuai perintah Om Gino aku berangkat ke Jakarta. Setelah berpamitan dengan tunanganku Bryan. Bryan sebenarnya sudah tahu kalau Om Gino akan mengirimku ke Jakarta. “Makanya aku buru-buru melamar kamu Fir sebelum kamu berangkat kesana. Takutnya kamu enggak mau balik lagi kesini karena keenakan disana.” Kata Bryan tadi malam saat membantuku packing.Dengan besar hati Bryan membiarkanku pergi. Mungkin itu cara dia mengambil hatiku. Dengan membiarkanku hidup seperti biasanya, dan pelan-pelan aku akan terkesan padanya.Kubuka ponselku yang kini dalam mode pesawat, kubuka galeri fotoku. Kutemukan orang yang sangat aku rindukan, mama. “Firza datang ma, maafin Fir
Badanku sangat lelah, tulang-tulangku terasa remuk. Kupijat kakiku pelan. Pekerjaan yang ku handle ini sangat menguras energiku. Setiap hari aku harus turun ke lapangan untuk mengecek langsung pembangunan sebuah gedung. Aku memang seorang pekerja yang perfectionist dan sangat detail. Mungkin ini yang menyebabkan Om Gino mempercayakan pekerjaan ini padaku.Sudah seminggu aku di Jakarta, namun aku belum pernah jalan-jalan. Padahal aku sudah sangat merindukan pergi ke mall, jalan-jalan di taman, dan kulineran. Seminggu ini aku sangat disibukkan dengan pekerjaanku.“Gimana Fin, sudah selesai laporan yang kamu buat? Tanyaku pada Fina, sekretarisku disini. Om Gino meminta Fina langsung untuk membantuku bekerja di sini.“Sudah bu, ini tinggal saya kirim melalui email.”“Ok, pastikan semua sudah terlaporkan di situ jangan ada yang ketinggalan.” Perintahku.“Baik Bu. Bu Firza terlihat sangat lelah. Apa tidak
“Firza sayang.. Pulang ke rumah ya nak. Bunda kangen banget sama kamu nak.” Kata-kata bunda masih terngiang di kepalaku. Padahal ini hari kedua setelah pertemuan kami di taman waktu itu. Dari bunda pun aku tahu kalau Anita meninggal saat melahirkan Gavin. Dan yang membuat aku sangat sedih, saat Bunda mengatakan bahwa Endruw tidak pernah menikah dengan Anita. Gavin adalah anak Anita dan Rangga, dia menjadi yatim piatu sesaat setelah dilahirkan. Saat tragedi kecelakaan itu terjadi ternyata Anita sedang hamil, namun dia tidak sempat mengatakan pada Rangga.Cerita Bunda membuat hari-hariku kembali suram. Lima tahun susah payah aku melupakan semuanya, tapi sekarang semua itu sia-sia. Setelah aku pergi, Anita akhirnya sembuh dengan serangkaian perawatan kejiwaan tentunya. Anita dan Endruw tidak menikah, setelah sembuh Anita memutuskan untuk tinggal di rumahnya dulu dengan kenangan bersama Rangga. Sampai akhirnya saat Gavin lahir, kondisi Anita kritis
Kupercepat langkahku menuju mobil. Kemudian ku buka pintu mobilku.Bragggg..Suara yang sangat keras terdengar di telingaku. Aku sangat terkejut, dadaku berdetak semakin kencang. Rasa trauma atas kecelakaan yang menghilangkan nyawa Rangga lima tahun yang lalu muncul kembali. Ingatanku tentang kecelakaan itu muncul kembali. Aku berusaha menguasai diriku. Kuambil botol minum yang selalu aku siapkan di mobil, dan meminumnya. Setelah tenang, aku berusaha mencari sumber suara.Tampak beberapa orang berlari ke pinggir ke pinggir jalan. Ada yang berteriak, tolong tolong ada kecelakan. Aku pun ikut berlari ke arah kecelakaan itu. Orang-orang sudah banyak berkerumun. Ada sesuatu yang mendorong diriku untuk masuk menyeruak ke dalam kerumunan itu. Dengan susah payah akhirnya aku bisa melihat dari jarak dekat korban kecelakaan itu. Orang-orang memindahkan laki-laki yang menjadi korban kecelakaan itu dari dalam mobil ke pinggir jalan. Entah bagaimana caranya, a
“Kamu dari mana aja sih Fir, aku cari-cari dari tadi.” Rani mulai mengomel.“Kamu kenapa Fir? Kamu sakit? Pucet gitu.”“Enggak, enggak apa-apa kok.”“Serius, kamu keringetan gitu. Kamu habis ketemu siapa sih?”“Ketemu hantu. Pulang yuk sekarang!” Aku menarik lengan Rani untuk segera pergi meninggalkan tempat ini.“Serius? Pocong? Kuntil anak? Wewe gombel?”Aku terus menarik lengan Rani, meskipun dia masih mengomel karena penasaran dengan jawabanku. Aku melihat ke belakang, sedikit berharap bisa melihat Endruw lagi. Dan ternyata benar, Endruw berdiri diam sambil memandangku pergi.***“Fir, beneran serius aku tanya. Tadi kamu ketemu siapa?” Tanya Rani masih penasaran.“Ketemu pocong”, jawabku seenaknya sambil melemparkan tubuhku ke kasur di kamarku.“Pocong Endruw ya?” Tanyanya mendelik.
Kuparkir mobilku di tempat parkir kafe Metro. Kafe ini seperti kafe kebanyakan, jauh dari kata mewah. Aku heran kenapa klienku mengundang ke kafe ini? Bukankah kafe ini hanya cocok untuk anak muda atau mungkin keluarga yang ingin menghabiskan waktu di luar. Padahal sejauh ini klien-klien yang aku tangani selalu mengajak meeting di kafe atau restoran mewah. Ah sudahlah, mugkin bos dari perusahaan ini orangnya berbeda. Aku segera turun dai mobil tidak mau ambil pusing memikirkan hal yang tidak terlalu penting. Kubuka ponselku, untuk melihat pesan dari Fina yang belum sempat aku buka.Ibu, Bos dari Indo Advertising sudah memesan meja nomor 17. Ibu bisa langsung ke meja tersebut.Aku tersenyum membaca pesan dari Fina, dan membuatku bertanya-tanya. Seperti apa sih Bos dari perusahaan ini?Aku segera masuk ke dalam kafe. Kafe ini masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang pengunjung saja. Aku duduk di nomor meja nomor 17 sesuai arahan Fina. S
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.