Aku mengayunkan langkahku menyusuri koridor rumah sakit yang tampak menyeramkan. Di sebelah kanan dan kiri ada taman luas yang hanya diterangi lampu remang-remang. Sehingga tampak lebih meyeramkan. Entah mengapa aku tiba-tiba teringat adegan film yang suka dilihat mama, adegan menyeramkan di rumah sakit. Aku pun mempercepat langkahku. Namun langkahku tidak semakin cepat, malah seperti ada yang menarikku dari belakang. Bulu kudukku berdiri, mataku sengaja kupejamkan. Aku tetap berusaha untuk menggerakkan kakiku ke arah depan. “Padahal tadi berangkatnya biasa aja, ini kenapa sekarang balik lagi jadi gini sih?” Tanyaku pada diri sendiri sambil masih terus melangkah. Pasalnya aku memang bukan orang penakut. Saat keluar dari rumah sakit untuk menebus obat ini pun aku masih santai-santai saja.
Tiba-tiba Brugg.. Tubuhku menabrak sesuatu. Memang wajar karena aku membiarkan mataku terpejam sambil berjalan. “Maaf Mas, maaf saya tidak sengaja.” Ucap
“Ma, mama dimana?” Teriakku memanggil orang yang sangat aku sayangi. “Cepet banget sih mama perginya, mama..” Teriakku lagi. Aku sekarang berada di sebuah tempat yang sangat indah. Aku berada di pinggir sungai yang yang sangat jernih, dikelilingi oleh bukit yang nampak teduh. Pohon-pohon yang berjajar rapi dengan daun lebat yang hijau. Suara burung yang berkicauan menambah teduhnya hati ini. Aku mencari mama, pasalnya tadi mama berada di sebelahku. Kudekap erat mamaku, seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. Mama membelai kepalaku lembut, sampai aku terbuai dengan kasih sayangnya. Dan saat mataku mulai terpejam mama pun pergi. Entah kemana mamaku pergi. Aku mencarinya kesana kemari namun tidak kutemukan. Dalam pencarianku, aku melihat seorang laki-laki menaiki kudanya. Laki-laki yang terlihat sangat berwibawa dengan pakaian kerajaan di tubuhnya. Dia mengarahkan kuda itu untuk mendekatiku, semakin dekat sampai aku mengetahui dengan jelas
Kubuka pintu rumahku, kulihat sekeliling. Terlihat bersih dan rapi. Dua hari sekali Siti memang datang ke sini untuk bersih-bersih. Kuletakkan tasku di kursi ruang tamu. Kursi yang menjadi saksi saataku mencuru-curi pandang kepada Endruw saat pertama kali dai datang ke rumah ini. Pandanganku beralih ke sebuah bufet, disana berjajar rapi foto-fotoku dan foto mama. Kuambil sebuah figura fotoku dan mama. “Ma, Firza kangen sama mama.” Kataku sambil memeluk figura itu.Tiba-tiba di luar terdengar saura bising. Aku mendongakkan kepalaku keluar, kudengar suara Siti dari arah luar. Aku berjalan ke arah pintu. Terlihat Siti sedang berbicara dengan seorang bapak-bapak. “Oh mungkin bapak-bapak itu yang mau menyewa rumah ini.” Batinku. Aku berjalan ke arah luar.“Mbak FIrza, sudah lama disini mbak?” Tanya Siti.“Belum”, jawabku sambil memandang Siti dan bapak itu bergantian.“Ini mbak, ada bapak-bapa
Keluar dari kamar mandi aku dikejutkan dengan suara ramai di depan. “Ada apa di luar sana?” Fikirku sambil mengintip di balik gorden jendela kamar. Kulihat Rani sedang berdebat dengan salah satu ibu-ibu tetanggaku. “Dasar Si burung beo, kebiasaan deh. Apa lagi itu ulahnya?” Segera kulepaskan handukku dan kuganti dengan baju yang masih ada di lemariku. Bajuku memang masih tersisa banyak di rumah ini. Sehingga aku tidak bingung jka harus mandi dan bermalam disini.Setelah selesai aku berlari ke luar rumah. Seraya bertanya-tanya ulah apa lagi yang telah sahabatku itu lakukan. Pasalnya tidak hanya sekali Rani membuat ulah di rumahku. Pernah mamaku sampai menjemput Rani di balai desa tempatku karena dia bertengkar dengan salah satu warga sini. Alasannya sepele, karena Rani tidak terima saat ada ibu-ibu yang menyapanya dan bilang kalau dia gendutan. Selain itu ada juga ulahnya saat dia sedang belajar menyetir yang berakhir dengan menabrak pagar
“Hhm.. Gila.. Gila emang bener-bener ini nasi goreng. Pedesnya gila.”“Sejak kapan kamu doyan pedes Fir?”“Sejak saat ini.”“Eh, mending udahan deh kamu makannya. Aku enggak mau ya abis ini nganter-nganter kamu ke rumah sakit gara-gara sakit perut.”“Ih, enggak. Aku sehat.”“Emang orang kalau frustasi kayak gini ya. Duh nyusahin banget deh. Habis ini pasti ke UGD. Aduh mama, anaknya nyusahin deh.”Saat ini kami berdua sedang makan malam di salah satu kafe favorit kami, favorit Rani pastinya. Karena di kafe ini semua menu makanannya adalah kesukaan Rani. Mulai dari nasi goreng setan, mie goreng setan, dan aneka setan-setan yang lain. Sejak jaman dia masih bayi Rani adalah pecinta pedas. Sedangkan aku dari kecil sama sekali tidak bisa makan pedas. Tiap makan pedas perutku selalu bergejolak, hingga UGD adalah jalan keluarnya. Tapi entah kenapa malam ini aku be
“Siti, Rani dimana? Tanyaku kepada Siti yang sedang mengepel lantai.“Sudah berangkat kerja katanya tadi Mbak.”“Ih, kok aku enggak dibangunin sih. Main pergi aja.”“Tadi Mbak Rani pergi sekitar jam delapan habis sarapan.”“Jadi tu burung beo masih nyempetin buat sarapan, kamu yang masakin?”“Iya Mbak Firza, tadi mbak Rani nya minta dimasakin yang cepet-cepet aja sama saya.”“Dasar burung beo”, umpatku untuk Rani.Aku segera masuk kamar untuk mandi. Aku sudah menyiapkan rencana-rencana yang akan aku lakukan hari ini.***“Bunda..” Panggilku pada seorang perempuan paruh baya yang sedang menyiram bunga. Perempuan yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, mertuaku.“Firza..” Teriaknya sambil membalikkan badan dan tersenyum bahagia. Aku berlari mendekatinya, kupelak erat perempuan yang kini akan menjadi mantan mert
Tanganku bergetar hebat saat akan menandatangani surat perceraian ini. Bukan ini yang aku inginkan. Istri mana yang ingin menandatangani surat perceraian. Istri mana yang rela mengiklaskan suaminya untuk perempuan lain. Namun ini mungkin sudah jalan hidup yang harus aku hadapi. Semoga ada hikmah yang besar dari semua ini. Kutarik nafas dalam, kukeluarkan dengan pelan. Hingga tanganku mulai membubuhkan tandatangan di atas namaku.Aku tersenyum lega. “Ma, Firza menang ma. Firza telah memenangkan cinta ini.”Aku menelfon seseorang untuk mengatur keberangkatanku besuk pagi. Ya, setelah menyerahkan surat ini ke Endruw aku akan pergi dari sini. Pergi ke tempat yang sangat jauh.Tidak ada seorang pun yang mengetahui rencana ini, kecuali Rani. Tadi malam tiada henti-hentinya dia menangis setelah mendengar rencanaku. Namun tekatku sudah bulat, aku ingin menjauh dari Endruw dan semua yang bisa mengingatkanku padanya. Biarkan Endruw bahagia dengan
“Fir, beneran kamu mau pergi.” Pertanyaan kesepuluh yang Rani tanyakan setelah baru lima menit dia tiba di rumahku.“Mau berapa kali lagi sih Ran kamu tanya. Aku akan pergi. Roni udah nyiapin semuanya.” Jawabku pelan sambil mengusap pipi sahabatku ini.“Terus aku gimana? Nanti kamu juga enggak datang di pernikahanku.” Rengeknya lagi, kali ini air matanya mulai menetes.“Maafin aku ya Ran, maaf banget.. Aku harap kamu bisa mengerti. Doaku selalu menyertai kamu sayang. Semoga kamu selalu bahagia, pernikahan kamu menjadi pernikahan yang pertama dan terakhir. Punya anak-anak yang lucu.” Aku pun mulai ikut meneteskan air mata. Aku berusaha menguatkan hati agar tidak goyah dengan rengekan-rengekan Rani.Kupandangi foto pernikahanku dengan Endruw yang aku pajang di figura kecil. Aku ragu untuk memasukkannya ke dalam tas. Namun akhirnya figura itu masuk juga ke dalam tas jinjing besarku. Foto ini adalah satu-satunya
“Bagaimana Fir, kamu siap menghandle pekerjaan ini kan? Kita akan untung besar jika pekerjaan ini selesai sebelum deadline. Dan Om yakin hanya kamu yang bisa mengaturnya. Minggu depan kamu bisa mulai bekerja di sana. Om sudah siapkan tiket pesawat menuju Jakarta buat kamu berangkat besok lusa.” Dan seperti biasa aku tidak bisa menolak perintah Om Gino.Lima tahun sudah aku berada di negara orang. Aku bekerja d tempat Om Gino, tentunya atas bantuan Roni. Perusahaan Om Gino ini merupakan salah satu perusahaan besar di negara ini. Sebuah prestasi yang membanggakan bagiku, Om Gino sangat menyukai hasil kerjaku. Sehingga baru lima tahun aku bekerja di sini, jabatan manager sudah berhasil aku dapatkan. Begitu juga dengan pundi-pundi uang yang aku dapatkan. Sehingga aku bisa hidup dengan mandir dan nyaman di sini.Aku menghela nafas panjang saat duduk di meja kerjaku. Aku tahu pasti bahwa Om Gino memintaku untuk kembali ke Jakarta dan bekerja di sana sampai proyek
Duduk bersila. Tarik nafas dari hidung, buang pelan-pelan lewat mulut. Tari nafas dari hidung, buang pelan-pelan dari mulut. Tarik tangan ke kiri, tahaan lepas. Tarik tangan ke kanan, tahaan lepas. “Sayang kamu kok masih duduk di situ, ayo sini kamu ikutin gerakan itu. Biar badan kamu nggak pegal-pegal. Nanti melahirkannya juga mudah.” Seru Endruw. “Emang enggak ada cara lain ya biar badan nggak pegal dan mudah lahiran selain dengan olahraga kayak gitu.” Kataku sambil tetap berbaring di atas tempat tidur. Usiaku kehamilanku kini memasuki sembilan bulan. Tinggal menunggu hari untuk menunggu dedek bayi launching ke dunia ini. Tapi semakin ke sini aku merasa menjadi sangat malas. Maunya rebahan melulu. Jangankan olahraga, mandi saja jika Endruw tidak menggendongku ke kamar mandi aku tidak akan mandi. Tapi kalau untuk urusan makan jangan ditanya, nafsu makanku bertambah tiga kali lipat dari biasanya. Dan bisa dilihat badanku kini sebesar gajah.
“Tuan Endruw saya sangat senang dengan kemajuan kesehatan Tuan yang semakin hari semakin pesat.”“Terimakasih dokter, ini semua karena dokter dan para perawat di sini.”“Ah Tuan Endruw terlalu berlebihan. Saya dan perawat di sini hanya membantu sesuai dengan kemampuan kami. Ibu Firza lah yang sangat berjasa Tuan, beliau selalu menjaga dan menemani Tuan. Tidak bisa dihitung berapa banyaknya air mata yang telah Ibu Firza keluarkan, apalagi Ibu Firza tengah hamil.”“Ah dokter bisa saja.” Aku menyela obrolan Endruw dan dokter sambil terus mengupas buah yang akan aku berikan kepada Endruw.“Dianya malu tuh dok dipuji terus sama dokter.” Kata Endruw pada laki-laki yang kira-kira berusia setengah abad itu.Endruw dan dokter itu pun tertawa bersama. Sementara aku menunduk sambil menahan malu. Namun aku merasa sangat lega. Endruwku kini sudah sembuh seperti sedia kala. Terimakas
Kupandangi suamiku dari kejauhan. Sudah lima bulan dia seperti ini. Hanya berbaring, sama sekali tidak bergerak. Bahkan untuk makan sekalipun harus memakai selang. Beberapa kabel menempel di tubuhnya. Bunyi tit tit tit dari sebuah alat untuk melihat detak jantungnya selalu membuat hatiku ngilu.Ya, setelah operasi itu, kondisi Endruw tak kunjung membaik. Endruw koma, dia tidak bisa bergerak ataupun membuka mata. Tapi dia bisa mendengar dan merasakan.Setiap hari aku menemuinya di rumah sakit. Menceritakan kepadanya tentang hari-hari yang telah aku lalui. Tentang Bunda, tentang Gavin, dan orang-orang di rumah. Juga menceritakan kepadanya tentang Indo Advertising yang kini semakin melejit dan merambah pasar Internasional.“Maaf ya Ndruw sepertinya Indo Advertising lebih melejit saat aku yang mengurusnya. Ganti bos aja gimana?” Aku tertawa sendiri akan gurauan yang aku berikan kepada Endruw. Sementara Endruw tetap terdiam.Waktu itu
“Firza, semakin lama kamu semakin cantik saja.” Bryan menyentuh ujung rambutku.“Aku tidak mau bertele-tele Bry. Cepat katakan apa yang kamu inginkan. Setelah itu jauhi aku dan juga keluargaku.”“Hai Firza, kenapa kamu tidak bisa calm down sedikit saja? Kamu lupa Sayang dulu kamu sangat nyaman saat bersamaku. Kamu selalu ceria, tertawa, dan bahagia saat ada di sampingku.”“Itu dulu saat aku belum menyadari kalau kamu adalah iblis.”“Aku mencintaimu Firza.”“Cinta yang seperti apa Bry? Menculikku, membunuh janinku, membuat Endruw terbaring tak berdaya seperti itu, menghancurkan perusahaan Endruw. Itu kah yang kamu bilang cinta. Seperti itukah cintamu kepadaku? Kamu hanya memanfaatkanku untuk menghancurkan suamiku menghancurkan Endruw.”“Diam Firza, diam.. Aku sangat tidak suka jika nama Endruw keluar dari bibir manismu.” Bryan mencoba memegang wa
“Randi, tolong cari tahu bagaimana Bryan bisa bebas dari penjara.” Perintahku kepada Randi.“Baik Bu.”Dengan kasar aku membuang tubuhku ke kursi kerja yang biasa Endruw duduki. Aku sama sekali tidak menyangka ini semua adalah perbuatan Bryan. Jika aku bisa mengulang waktu dan mengetahui rencana Bryan dari awal pasti aku tidak akan mau menjadi temannya bahkan menerima pinangannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Bryan kenapa kamu tidak pernah berhenti menggangguku?“Ibu Firza”, Randi masuk ke dalam ruanganku dengan wajah cemas.“Bagaimana Ran?”“Bryan berhasil keluar dari penjara karena dia mendapatkan jaminan. Dan yang menjamin Bryan adalah orang yang sangat berbahaya, dia adalah seorang mavia yang menjadi buronan polisi Singapura.”“Hahh.. Apa? Kenapa bisa se..”“Hal yang seperti ini mungkin sangat tabu bagi Ibu, tapi ini sangat sering terjadi di kal
“Tuan Endruw harus segera menjalani operasi. Tolong Ibu menandatangani dokumen ini sebagai persyaratan untuk dilakukannya operasi. Demi keselamatan Tuan Endruw operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.” Kata seorang dokter sambil memberiku sebuah berkas. Aku terdiam, bibirku terasa ngilu. Kaki dan tanganku lemas. Kulirik suamiku yang saat ini sedang terbaring tak berdaya di bad UGD. Aku tidak tega melihatnya. Darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuhnya. “Lakukan semua yang terbaik untuk suami saya dok.” Ucapku memohon kepada dokter di depanku, air mataku tak berhenti mengalir dari kedua mataku. Segera kuterima berkas itu dan kutandatangani di tempat yang telah mereka tunjukkan “Kami pasti melakukan yang terbaik untuk suami Ibu, semua ada di tangan Tuhan. Bantu kami dengan doa. Kami akan segera melakukan operasi.” *** Sudah dua jam aku berada di depan kamar operasi. Waktu yang sangat lama bagiku untuk menunggu seseorang keluar dari rua
“Kok aku belum haid juga ya.” Ucapku dalam hati sambil melihat kalender. Sebenarnya aku ingin meyakinkan diriku sendiri kalau aku sedang hamil. Apalagi beberapa hari ini aku sering kelelahan dan nafsu makanku semakin besar. Tapi aku tidak mau terlalu berharap, aku takut jika harus kehilangan bayiku lagi. Aku masih trauma. Masih ada sedikit ketakutan jika hal buruk itu akan terjadi lagi. “Sayang kamu lagi ngapain?” Endruw tiba-tiba datang membuyarkan lamunanku. “Ah nggak kok. Kamu kok udah rapi, mau kemana Ndruw?” Tanyaku yang melihat Endruw sudah memakai pakaian kantornya, padahal ini weekend. Tidak biasa Endruw mengambil pekerjaan di hari seperti ini. “Ada masalah di gudang, ada sedikit kebakaran.” “Hah, kebakaran? Kok bisa?” “Entahlah. Polisi sudah datang ke lokasi untuk memerikasa keadaan di sana. Aku akan kesana untuk melihatnya.” “Aku ikut ya Sayang.” Pintaku. Tidak tahu kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak. Ada s
“Masih jauh nggak Ndruw? Capek..” Aku menekuk kakiku sambil melihat ke tanah dan terengah-engah. Endruw mengajakku naik ke atas bukit agar kami bisa melihat sunrise dengan jelas. “Bentar lagi. Sini aku gendong.” Endruw memberikan punggungnya untukku naik. “Nggak Ndruw, aku kuat kok.” Dengan segala sisa tenaga yang aku miliki, aku mencoba untuk tetap berjalan. Aku tidak tega jika harus digendong oleh Endruw. Pasalnya beberapa hari terakhir berat badanku naik. “Akhirnya sampai juga.” Kataku sambil meregangkan kedua tangan. “Itu lihat”, Endruw memelukku dari belakang sambil menunjuk ke langit sebelah timur. “Waooww..” Inilah sunrise yang dari tadi aku perjuangkan untuk melihatnya. Sangat indah. Saat matahari yang bulat sempurna dengan malu-malu menampakkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Seperti telur ceplok. Sempurna, mungkin hanya kata itu yang bisa aku gunakan untuk menggambarkan hal-hal yang telah aku lalui bersama
“Mama, Firza titip jagain anak Firza ya Ma di surga. Dia sekarang pasti bersama mama bersama Omanya.” Ucapku saat aku bersimpuh di makam mama setelah selesai mengirimkan doa kepadanya.Hari ini aku dan Rani pergi ke makam Mama setelah mengantar Gavin dan Suri ke sekolah. Ini hari pertama Endruw mengizinkanku keluar rumah sendiri setelah tiga bulan kejadian penculikan itu. Sebelumnya kemanapun aku pergi eselalu dikawal oleh beberapa orang bodyguard sewaan Endruw. Agak berlebihan memang, tapi Endruw tidak bisa ditolak. Dia selalu bilang, ini demi keamananku. Yasudahlah aku hanya bisa menurut sebagai bentuk aku menghormatinya. Dan hari ini entah kenapa dia mengizinkanku untuk mengantar Gavin berangkat ke sekolah dan juga pergi ke makam mama. Mungkin dia merasa kasihan kepadaku karena aku merasa tidak nyaman bersama para bodyguard itu“Sudah yuk Fir kita pulang.” Ajak Rani.Aku mengangguk, kemudian kami meninggalkan makam mama.