Belum sempat pergi jauh dari mereka, telingaku menangkap bunyi ketukan pintu beberapa kali. “Coba kamu lihat ke depan, Din! Kayaknya ada tamu, “ titah mertuaku. Dengan terpaksa aku menuruti perintah Ibu. Padahal sebenarnya aku sudah ingin beristirahat. Akhirnya kuayunkan langkah malas menuju sumber suara yang tadi terdengar. Seorang pria dengan perawakan lumayan tinggi, berdiri tepat di hadapku sesaat setelah aku membuka daun pintu. Wajahnya putih bersih dengan kumis tipis menghiasi. “Kirana...” Pria itu menggumam lirih sembari menatap lekat padaku. “Anda siapa?” tanyaku dengan menautkan kedua alis. Sejenak kuperhatikan wajah pria di hadapanku sambil menajamkan ingatan. Memang benar nama lengkapku Dinda Kirana, tapi yang bikin heran, dari mana pria ini bisa tahu nama belakangku. Apakah dia mengenalku? Tanpa disengaja, netra kami saling beradu pandang hingga akhirnya sama-sama membuang muka. Hatiku masih terus bertanya-tanya siapa sebenarnya orang ini.“Benar ini rumah Arga?” B
Lima hari sejak kejadian petang itu, aku masih mendiamkan mas Arga. Semua pekerjaan rumah kuabaikan kecuali mencuci pakaian, itu pun hanya pakaianku sendiri. Biasanya aku mencuci pakaian semua penghuni rumah. Meski Ibu mertuaku sering marah gara-gara enggak masak, aku tak lagi memedulikan ocehannya. Biar saja dia makan di luar. Toh, ibu juga masih pegang uang hasil pinjam kemarin.Seperti biasanya, sejak pagi aku pura-pura berangkat kerja. Padahal aslinya cuma jalan-jalan enggak jelas bareng Devi. Pergi ke salon, nongkrong di cafe , pokoknya ke mana saja yang bisa bikin hati senang.Setelah lelah seharian bareng Devi, aku memutuskan pulang meskipun waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya sih sekitar jam lima aku baru balik.Saat tiba di rumah, kulihat ibu sedang mengobrol dengan seorang perempuan seusiaku di teras. Hanya sesaat aku memperhatikan perempuan dengan pakaian kurang bahan itu, lalu berniat masuk tanpa memedulikan mereka berdua. “Oh... jadi ini yang namanya Dinda.
Senja tiba tepikan lara, menghibur hati yang seakan mati.Terluka karena cinta, terbuang oleh pengkhianatan. Setelah puas menatapi langit-langit kamar, aku segera membersihkan diri lalu berganti pakaian. Kupaksakan langkahku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Meskipun masih sakit hati karena kejadian sore tadi, aku berusaha menahannya agar mas Arga tak banyak bertanya. Sebenarnya aku ingin membuka kebohongannya sekarang juga, tapi aku akan menguji keperkasaannya terlebih dahulu. Saat makan malam, tak ada obrolan yang berarti. Aku dan ibu masih sama-sama canggung karena insiden tadi sore. Syukurlah mas Arga belum tahu tentang hal itu, jadi aku bisa melancarkan aksiku malam ini juga. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sudah sejak selesai makan malam aku telah menunggu mas Arga yang masih betah menonton TV. Jantungku berdegup sangat kencang. Resah dan gelisah terus menghantui pikiranku, bahkan ini lebih mirip malam pertama.Beberapa saat kemudian, ter
Aku terjaga saat fajar subuh tiba. Dengan hati seringan awan, kusambut pagi yang datang menjelang. Hari baru untuk harapan yang sama baru. Kulirik mas Arga yang masih terlelap di sampingku. Dari raut mukanya, jelas sekali ia tak nyenyak. Tertekan oleh beban mental yang tengah dipikulnya. Langkah kaki membawaku keluar dari ruang peristirahatan ini. Dengan sedikit tergesa, kudatangi kamar adik iparku yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu. “Bangun Nggi!” teriakku kencang sembari menggedor pintu berkali-kali, tapi tak juga ada sahutan dari dalam sana. Kembali aku membangunkan Anggi, adik iparku dengan suara yang lebih keras. “Ada apa sih, Mbak! Masih pagi kok sudah berisik?” dengkusnya setelah pintu terbuka. Terlihat ada kemarahan dari muka kusutnya. “Udah siang! Cepat kamu cuci baju, sekalian punyaku!” titahku. Sepasang mata Anggi yang semula setengah terpejam, seketika terbelalak saat mendengar ucapanku. “Enak saja! itu kan tugas Mbak Dinda!” protesnya. “Itu dulu, tapi mu
POV ARGAPada umumnya, setiap lelaki akan merasa bangga saat mendapat pujian dari pasangannya. Bahkan, sebagian dari mereka rela melakukan apa saja hanya untuk sebuah pujian. Sama seperti mereka, aku juga merindukan hal itu. Dinda, istriku memang sosok yang nyaris sempurna. Selain wajahnya yang cantik alami, dia juga penyabar. Tak pernah aku mendengar keluh kesahnya meskipun jatah bulanan kurang dari satu juta. Pun urusan ranjang, dia selalu tersenyum walau aku jarang sekali bisa memuaskannya. Satu hal yang tak kudapat dari istriku hanya pujian. Dia jarang sekali, atau bisa dikategorikan tak pernah menyanjungku. Berbeda jauh dengan Dini, wanita yang kukenal tiga bulan yang lalu. Dia selalu memujiku. Dikatakan aku baiklah, gantenglah, rajinlah, dan masih segudang sanjungan lainnya.Itulah hal yang membuat aku semakin dekat dengan Dini. Saking dekatnya, sampai-sampai kami melakukan hubungan suami istri. Uniknya, dia masih bisa memuji meskipun aku “ejakulasi dini”. Bangga bukan jika di
POV ARGASelepas dari rumah selingkuhanku, aku langsung mentransfer uang ke rekening Dini, lalu pulang tanpa membeli ponsel yang istriku minta. Prioritasku kali ini adalah Dini, bukan Dinda. “Kamu sudah pulang Ga?” tanya ibu saat melihatku masuk rumah. “Aku lagi enggak badan, Bu,” sahutku. “Ibu habis ngapain kok kaya kelelahan begitu?” tanyaku kemudian. Ibu yang semula sedang duduk bersandar, seketika langsung bangkit lalu mendekat padaku.“Ini gara-gara istri kamu! Masa ibu disuruh-suruh terus. Rasanya seperti pembantu di rumah sendiri,” keluh Ibu.Aku menatap kasihan pada perempuan yang telah melahirkanku. Di usianya yang telah mendekati kepala lima, dia masih mengurusi pekerjaan rumah, padahal sudah mempunyai menantu. Bukankah pekerjaan itu seharusnya di lakukan oleh sang menantu?“Ya maaf, Bu. Nanti aku bilangin Dinda biar enggak nyuruh-nyuruh ibu terus,” sahutku. “Lagian kamu kenapa jadi takut sama Dinda sih? Pakai enggak mau ceraikan dia segala! Sebenarnya ada apa?” tanya
Aku mengerjap-ngerjapkan pelupuk mata saat kurasakan sentuhan kasar pada pipi. Samar terlihat ibu mertuaku menyeringai kemudian berkacak pinggang. Kugerakkan tanganku berniat memijit kepala yang masih terasa pusing. Alangkah kagetnya aku saat menyadari kedua tangan dan kakiku terikat pada sebuah kursi kayu.Perlahan, aku mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi padaku. Sekelumit bayangan beberapa waktu yang lalu, cukup membuatku mengerti bahwa aku telah di jebak oleh suami dan ibu mertuaku. “Apa yang Ibu lakukan padaku! Cepat lepaskan aku!” bentakku saat kesadaranku pulih sempurna. Aku berusaha melepas tali yang membelit tubuhku, tapi sayang ikatannya terlalu kencang. “Tenang saja, aku akan melepas ikatan itu jika transaksinya sudah selesai,” sahut ibu sembari melempar senyum mengejek. Aku mengernyitkan kening saat mendengar kata ‘transaksi’ dari mulut ibu. Pikiranku mulai berkelana, menerka-nerka apa yang akan Ibu lakukan padaku. Apa jangan-jangan...“Maksud ibu apa?” tanyaku
Hatiku berkecamuk saat aku dipaksa masuk ke dalam mobil. Ingin melawan, tapi aku tak punya cukup tenaga. Pasrah? Ya. Menyerah? Tidak! Memang kupasrahkan nasibku pada tuhan, tapi bukan berarti telah menyerah. Aku akan terus berjuang selama kesempatan masih ada.Tuhan? Ah! Sejak kapan aku mengingat-Nya. Kenapa di saat tersudut seperti ini aku baru menyebut nama-Nya. Ke mana saja aku selama ini? Kenapa aku sampai melupakan Sang pencipta!Mobil meluncur kencang membelah padatnya lalu lintas kota. Membawaku pergi jauh menuju tempat yang tak kuinginkan.Aku duduk di jok belakang, bersisian dengan laki-laki yang telah membeliku, sementara kedua anak buahnya ada di depan. Suasana terasa hening, tak terdengar percakapan sesama mereka. Aku melihat ke luar jendela, menatap kosong pada kendaraan yang tengah hilir mudik, sembari mencari-cari cara agar bisa terlepas dari mereka. Apa aku melompat saja ya? Ah, tidak! Jika aku melompat mungkin kematian akan menjemputku, atau setidaknya itu akan memb
Setelah rehat dan berganti pakaian, aku meminta Devi mengantarku pulang. Tadi dia menawari untuk menginap di sini saja, tapi kutolak. Rasanya, aku ingin menyendiri dulu, meski hanya sekedar untuk meresapi apa yang baru saja kualami.“Tapi ini sudah malam, Din, entar aku pulangnya gimana? Kan aku takut,” ucap Devi saat kami sedang berbincang di ruang tengah.“Ya sudah, aku pesan taksi online saja,” usulku.“Jangan! Aku enggak tega membiarkan kamu pulang sendiri,” tolaknya dengan wajah sendu.Aku menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Di suruh antar, bilang takut. Mau pulang sendiri, dia bilang enggak tega. Apa sih maunya Devi?“terus gimana dong?” tanyaku bingung.Devi mengangkat kedua bahunya, seolah mengatakan bahwa dirinya pun tidak tahu. Sesaat, kami berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Aku memutar otak, mencoba mencari cara agar secepatnya bisa pulang ke rumah orang tua. Di kala susah seperti ini, rindu bertemu mereka seakan tak tertahankan.“He
“Jadi semua ini rencanamu, Mas!” Aku menggeleng lemah. Sebenarnya hatiku menolak percaya, tapi inilah kenyataannya. Ryan, laki-laki yang selama ini kuanggap sebagai dewa penolong, ternyata biang keladi hancurnya rumah tanggaku. “Enggak seperti itu, Na! Aku bisa jelasin,” sanggah Ryan. Dia lantas berdiri sambil berusaha meraih jemariku, tapi segera kutepis. Aku tak mau tangan kotornya menyentuhku. “Kamu tak bisa mengelak, Mas! Aku sudah dengar semuanya kok!” sergahku kemudian. Sebisa mungkin aku menahan air mata agar tak sampai jatuh. Aku tak ingin terlihat cengeng di hadapan laki-laki yang sempat memberiku harapan. Meski teramat perih, aku tetap berusaha untuk menyembunyikannya. “Ini tidak seperti apa yang kamu dengar, Na! Tolong dengarkan penjelasanku dulu.”Lagi. Mas Ryan kembali membela diri. Namun, setelah apa yang kudengar barusan, apa aku harus percaya dengan apa yang dia ucapkan? Bisa saja dia mengarang cerita sebagai pembenaran atas apa yang dia lakukan. “Sudahlah, Mas!
Mata ini terasa sangat lengket saat aku memaksa membukanya. Semalaman aku susah untuk terlelap. Pikiranku terus saja dihantui rasa penasaran, siapakah gerangan orang yang berbicara dengan Ryan? Rahasia apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?Seharusnya aku tengah berbahagia karena telah mendapat cinta tulus seorang Ryan, tapi apa yang kudengar semalam, berhasil mengusik kebahagiaanku. Pernah dikhianati oleh seseorang yang kita sayang, ternyata membuatku selalu menaruh curiga pada semua laki-laki. Tidak terkecuali Ryan. Tak ingin terluka untuk kedua kali, gegas aku menyambar ponsel yang tergeletak di atas nakas. Langsung kuhubungi Devi, sahabatku untuk memintanya membantu memecahkan misteri yang disembunyikan Ryan.“Pagi, Dev,” ucapku basa-basi setelah panggilan tersambung.“Pagi juga, Din. Tumben pagi-pagi buta sudah telepon?” sahutnya dari seberang sana.“Iya nih. Aku lagi butuh bantuan kamu,” beberku. “Bantuan apa?” tanya Devi dengan nada suara seperti keheranan.“Jadi begini...”
Sesaat kemudian, laki-laki berkemeja kotak-kotak itu membalikkan tubuhnya lalu mengangguk. Wajah yang kukenali sebagai seorang Ryan, tersenyum menatap lekat padaku yang telah ada di hadapannya. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghambur dalam pelukan laki-laki yang kurindukan ini, lalu menenggelamkan wajah pada dada bidangnya.“Aku menepati janjiku bukan?” ujarnya seraya mengelus pucuk kepalaku.Aku terharu dengan ketulusan cinta yang dia miliki. Tak kuduga sama sekali, setelah belasan tahun tak bertemu, ia masih ingat dengan janjinya yang akan selalu mengharapkanku. Tanpa terasa, bulir-bulir bening telah jatuh dari sudut mataku.Sejenak, aku menguraikan pelukan, lalu menatap sendu pada sosok di hadapku. Kuperhatikan setiap gurat dari wajahnya, tapi tak menemukan kemiripan dengan Yanto yang kukenal dulu.“Benarkah kamu Yanto?” tanyaku sedikit ragu.“Apa kau tak bisa mengenaliku? Apa jangan-jangan kamu sudah lupa denganku?” tanya Ryan.Bagaimana mungkin aku bisa mengenalinya jika t
Kesempatan cepat lenyap, tapi lamban kembalinya. Itulah pepatah lama yang pas untuk menggambarkan diriku saat ini. Di saat Ryan sering datang, aku sama sekali tak memedulikannya. Namun, di saat aku menanti hadirnya, dia sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Lebih dari satu bulan sejak kejadian hari itu, Ryan belum sekalipun datang, padahal biasanya tiap hari selalu ke sini. Sejarang-jarangnya seminggu tiga kali dia selalu mengajakku berbincang, meskipun hanya sepatah dua patah kata.“Sebenarnya pak Ryan ke mana sih, Bik? Kok sama sekali enggak pernah pulang?” tanyaku pada bik Wati saat kami tengah menyiapkan makan malam.“Kurang tahu, Bu. Memangnya Ibu enggak pernah dihubungi?” Aku menggeleng lemah menanggapi pertanyaan bik Wati. Jangankan menghubungi lebih dulu. Aku telepon saja selalu di reject. “Mungkin pak Ryan lagi sibuk, Bu! Jadi enggak sempat pulang,” jelasnya kemudian.“Iya, tapi setidaknya kasih kabar kek! Telepon atau kirim pesan kan bisa! Kan jadi enggak bikin
Aku tersenyum bangga karena telah berhasil membuat keluarga mantan jadi gembel. Bagiku, semua yang aku lakukan pada mereka tak sebanding dengan luka yang kuterima. Jauh di lubuk hati, aku masih ingin terus membuat hidup mereka terhina. Sejenak, kuayunkan langkah memasuki rumah ini. Pandanganku mengitari sudut demi sudut dari kamar yang dulu pernah menjadi saksi perjalanan hidupku. Aku tersenyum kecut saat mengingat betapa bodohnya aku yang dulu termakan rayuan Arga, laki-laki keparat yang pernah menjadi suamiku.Tak ingin terus terbuai kenangan pahit, gegas aku beranjak keluar lalu mengunci rumah ini. Aku mengajak kedua laki-laki yang datang bersamaku untuk pulang. Tak butuh waktu lama, mobil yang kami kendarai telah berhenti di halaman rumah. Dengan santai aku turun lalu memasuki rumah. Aku terkejut saat melihat Ryan tengah duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, tapi mencoba abai dan terus berjalan menuju kamarku. “Duduk!” perintah Ryan dengan nada suara terdengar gemetar.Sejena
pov. ArgaSetelah kepergian Dinda, mantan istriku, pikiranku semakin berkecamuk. Belum hilang rasa penasaran dari mana Dinda bisa punya uang untuk membeli rumah ini, Ibu menambah beban pikiranku, dengan meminta agar Dini mau menampung kami sementara waktu. Baiklah. Demi untuk hidup layak, aku akan mencoba merayu Dini, agar mau memberi tumpangan sampai kami bisa membeli rumah lagi. Dengan langkah penuh harap, gegas aku menemuinya di kamar. “Yang, kenapa kamu masukin pakaian ke koper? “ tanyaku heran saat melihat Dini, istri siriku mengemasi pakaiannya. “Mau pulanglah, rumah ini sudah bukan punya kamu lagi. Lebih baik aku pergi sekarang sebelum diusir sama pemiliknya.” Sahut Dini ketus. “Ya sudah, sekalian kemasi pakaianku juga ya, Yang. Kita pergi sama-sama,” pintaku. “Kemasi sendiri, dan pergi sendiri. Jangan meminta aku menampung kalian. Karena rumahku bukan panti asuhan,” tolaknya. “Aku kan suamimu, Yang! Masa kamu tega sih?” rayuku. “Halah, nikah siri saja diandalkan. Ting
Hari ini aku bangun agak kesiangan akibat tidur terlalu larut. Sampai-sampai kewajibanku sebagai makhluk ciptaan tuhan, kutunaikan di penghujung waktu. Ah, aku memang bukan Hamba yang taat. Dengan buru-buru aku segera menuju taman belakang rumah untuk memulai rutinitas pekerjaanku. Meskipun aku penyuka bunga, tetapi kadang juga merasa bosan. Apalagi kalau pikiran lagi enggak karuan begini. Rasanya ingin kutinggalkan saja. Ya. Saat ini aku sedang tidak fokus pada semerbak bunga di sekelilingku. Aku masih saja memikirkan kata-kata yang Ryan ucapkan semalam. Walaupun aku tahu dia hanya asal bicara, tetapi tetap saja membuat hatiku berantakan. Sejenak, aku mencoba menepis bayang semu tentang Ryan. Berusaha berkonsentrasi agar pekerjaan ini cepat kelar, karena hari ini aku berencana mengunjungi rumah mantan suamiku. Ah, bukan. Tepatnya rumah yang baru aku beli. Selesai dengan pekerjaan ini, gegas aku kembali ke kamar untuk membersihkan diri, berdandan secantik mungkin, agar mas Arga se
Tanpa terasa, dua bulan sudah aku tinggal di sini. Di rumah milik Ryan, laki-laki menyebalkan yang penuh teka-teki. Kalau boleh jujur, aku merasa betah. Meski terkadang rindu dengan kedua orang tuaku cukup menyiksa jiwa.Aku sudah mengabari mereka tentang perceraianku dengan mas Arga. Telah kuceritakan perihal mantan suamiku yang mendua, pun mengenai mantan mertuaku yang mendukung kesalahan anak laki-lakinya.“kamu harus sabar, Nak!” Masih terngiang jelas nasihat Ibu waktu itu. Walaupun hanya melalui sambungan telepon, aku bisa tahu betapa terpukulnya hati Ibu mendengar kabar anak perempuannya telah menjanda. Sebenarnya mereka memintaku pulang ke rumah, tapi aku tak mengiyakannya, karena aku masih harus di sini dua bulan lagi. Aku terpaksa berbohong pada mereka. Kukatakan aku sedang bekerja, padahal tidak. Tak mungkin juga kan kalau aku mengatakan telah dijual? Bisa copot jantung mereka nanti.Devi, sahabatku, sesekali datang berkunjung saat waktu luang. Beberapa hari yang lalu dia j