RAGILPanggilan sidang dari pengadilan agama kini sampai ditanganku. Kutatap nanar baris demi baris teks yang tertera di dalamnyaAku tak mau percaya bahwa ini adalah gugatan cerai dari Tiara. Aku ingin yakin sekarang sedang bermimpi. Dan esok akan bangun dengan keadaan Tiara masih di sisiku.Tapi ini nyata. Jelas tertera di sana kalimat berisi panggilan sidang pertama untukku dan Tiara. Aku seperti diempas ke dalam jurang, gelap dan tak tahu di mana ujungnya. Meski aku menolak gugatan cerai di sidang pengadilan, tetap saja tak akan menang. Paling hanya bisa mengulur waktu. Lelah iya, menang tidak. Sekali lagi aku merutuki diri. Sesal sudah tiada guna. Sekarang tinggal tunggu waktu ditinggalkan Tiara."Mas, minum dulu teh jahenya!"Susi meletakkan teh jahe hangat pesananku. Lepas itu langsung pergi. Kubiarkan saja dia berlalu sebab memang sedang tak mood ngobrol. Yang ada nanti sikapku makin ketus padanya. Aku kembali asyik dengan lamunan. Terlintas kilasan masa lalu saat aku menge
Sekeras apapun mas Ragil membujuk untuk membatalkan gugatan, aku bergeming. Keputusan untuk berpisah darinya sudah bulat. Aku tidak bisa hidup dengan lelaki yang tak menghargai pernikahan dan wanita. Mudah melupakan pengorbanan dan bakti seorang istri Wanita berharga jika memiliki fisik sempurna di sisinya. Ketika tubuhnya sudah tak sedap dipandang mata hilanglah harganya. Hal tersebut sudah terbukti dengan melihat bagaimana perlakuanya padaku dan Susi saat kami memgalami dua fase cantik dan jelek. Jika tidak diberi pelajaran, selamanya tidak akan memahami arti kedudukan wanita. Biar saja Mas Ragil berpikir dan merenungkan kesalahan di masa lalu. Juga merasakan sakitnya diabaikan begitu oleh orang yang dicinta. Tanpa aku di sisinya, masih ada Susi yang setia menemani. Semoga saja dia tidak Mengulangi kesalahan yang sama pada istri keduanya itu. Kalau tidak, bersiap saja Susi akan melakukan hal sama sepertiku.Tentang harta sepuluh persen yang tidak kudapatkan, tak masalah. Dua pulu
Aku tinggalkan lelaki yang sempat terlihat mengusap wajahnya kasar. Di sampingku berjalan Zay yang dari tadi tidak bicara apa-apa. Mungkin menjaga perasaan temannya atau memang tidak mau ikut campur dengan perasaan kami."Itulah lelaki! Baru sadar kalau wanita yang sebenarnya ia cintai mengambil tindakan tegas. Dulu mungkin tidak pernah terlintas di benaknya bahwa kamu akan sekejam ini. Kasus seperti ini banyak kutangani. Para lelaki terpesona pada wanita lain dengan banyak alasan. Yang punya power sepertimu jarang. Rata-rata wanita lebih cenderung lemah dan mengalah. Lalu, menerima perlakuan suaminya, meski harus menanggung sakit hati seumur hidup. "Dia bicara ketika kami ada di antara dua mobil yang akan ditumpangi oleh masing-masing. Pria itu berkata tanpa mengarahkan pandangannya padaku sebab kami sama-sama menatap lurus ke depan."Aku yakin Ragil akan menyesal seumur hidup karena telah lepas dari wanita yang sesungguhnya sangat dicintai. Keegoisanlah yang telah membuatnya menjad
Susi refleksi memelukku. Ia menangis terisak-isak dalam waktu yang cukup lama. Aku merasakan ini bukan drama, tetapi murni sebuah penyesalan. "Susi selalu mendoakan yang terbaik untuk, Mba. Susi harap mba Tiara bersedia menjadi teman Susi!""Tentu saja. Kita adalah teman!"Kami pun ngobrol hingga dua jam lamanya di restoran tempat pertemuan. Untuk makan sendiri, sekarang kami sama, tidak terlalu berlebihan. Bahkan, Susi sangat ketat. Kalau aku standar karena tak mungkin juga diet lagi. Nanti tubuh semakin kurus. Yang penting tetap mempertahankan kesehatan .*Setelah tiga bulan menjalani sidang pengadilan, putusan hakim pun datang. Pada akhirnya pengajuanku dikabulkan. Hari ini resmi sudah aku dan mas Ragil bercerai.Bahagiakah aku?Jawabnya tidak. Bahkan, airmata ini sempat menetes. Aku menyesali keadaan mengapa harus begini adanya. Mengapa pernikahan yang telah terjalin lama harus kandas di perjalanan.Aku teringat masa kami bahagia. Masa di mana hanya ada aku, dia dan anak-anak. S
Ucapan baik itu bisa keluar dari siapa saja. Tak pandang bulu apa dia pria atau wanita anak-anak atau orang tua, orang kaya atau miskin. Semua bisa mengucapkan sebuah kebenaran.Untuk itu, kita jangan meremehkan manusia manapun. Sebab siapa tahu orang itu lebih baik dari kita ucapan dan perbuatannya.Aku menjalin kerjasama dengan jeng Irna yang punya relasi segudang. Kita saling bertukar promo di tempat masing-masing. Hasilnya mengejutkan. Baik tempatku maupun tempatnya mendapat banyak pengunjung baru.Zay dan adiknya tak lupa kugandeng. Mereka bisa dimanfaatkan untuk membesarkan usahaku. Relasi keduanya tak main-main. Papan atas semua.Tawaran jadi tamu di acara Zakia kuterima. Lumayan banget tampil di televisi swasta. Hal itu kumanfaatkan untuk membesarkan nama dan promo usaha juga. Acara tersebut mendapat antusias tinggi sebab ini kisah hidup real. Tapi, aku tak mengungkap soal rumah tangga sebab tak pantas dikonsumsi publik. Saat ada yang mengorek, aku hanya mengatakan tidak bers
Kututup kolase itu sebab sudah tak sanggup lagi melihat foto-foto kami. Kembali pada masa itu seperti sedang mengorek luka yang setahap demi setahap sedang diobati.Kupikir akan bahagia selepas berpisah darinya. Nyatanya tidak. Sebesar apapun kesalahan Mas Ragil, kebaikannya di masa lalu, tetap melayang-layang di Ingatan.Benar kata pepatah, kebaikan seseorang akan terasa kala berpisah darinya. Bahkan keburukan itu seolah tak tampak kemudian.Kalau mau jujur kebaikan mas Ragil masih lebih besar dari keburukannya. Pria itu tak pernah main tangan. Tak absen memberi nafkah lahir dan batin. Lembut dan mengayomi keluarga. Kalaupun dulu suka mencela mungkin karena kesal pada istri yang tidak menuruti perkataannya.Aku menyeka airmata yang telah merembes hingga dagu. Tiba-tiba sesak itu menghampiri. Makin lama. Makin menyiksa dadaku. "Mas, mengapa kisah kita harus berakhir. Mengapa memilih jalan menduakanku. Mengapa harus ada Susi di antara kita. Andai, andai..."Aku membiarkan tubuh ini lu
Mas Zay kali ini pasti nunggu jawabanku. Tapi, belum sempat lidah bergerak, satu suara pekerja menghentikan itu. "Bu, gawat, Bu!""Ada apa?""Ada, ada-!""Apa?""Ada Mr John, bawa karangan bunga gede banget! Kayaknya mau ngelamar ibu, deh!""Haaah!"Dan, aku ingin menimpuk Zay sebab ngakak sampai airmatanya keluar. Dasar koplak, malah ketawa melihatku yang lagi dihadapkan pada keabsurdan.Ya, Tuhan!Ini orang keberapa yang kelakuannya gak jelas kayak Zay. Aku udah terus terang bilang belum mau nikah, rupanya Mr John pantang menyerah."Mas Zay, jan ketawa. Cariin solusi napa!""Wani piro?""Astagfirullah, apa di orakmu cuma ada duit!"Aku tahu Zay bercanda lagi. Dan aku juga bercanda meresponnya."Pak Zay entar bagi dua bayarannya, ya!" celetuk pegawaiku sambil menjauh dariku. Pasti takut kena semprot bosnya ini. "Siiip!""Kalian emang pasangan matre. Ayo, mas anterin!""Oke, Say. Abis ini traktir makan, ya!""Iya, iya, ayo cepet!"Untunglah ada Zay. Kalau enggak, bisa gawat. Aku har
RAGIL Aku pergi bersama susi ke Surabaya di sana ada proyek baru yang harus dikerjakan. Sesungguhnya bukan karena proyek itu aku pergi, tapi lebih untuk lari dari sebuah kenyataan. Terlalu beresiko jika terus di sini. Akan ada kemungkinan terus bertemuKenyataan perpisahan ini sangat menyakitkan sungguh tak pernah terbersit sekejap pun bahwa aku akan berpisah dari Tiara. Wanita yang setia mendampingi dalam suka dan duka selama lima belas tahun lamanya.Tangan yang dulu membalas genggamanku, kini terlepas tanpa bisa diraih lagi. Aku merasa sedang berada di fase terendah dalam kehidupan saat Ia memutuskan tali ikatan pernikahan.Untuk mengurangi kepedihan, aku menyibukkan diri dengan proyek. Aku harus sibuk sebab jika tidak, pikiran dan perasaan akan terbang menuju Tiara. Lalu, larut dalam kenangan tak ada habisnya.Tapi setelah sadar, pedih kembali mencabik rasa. Itu serupa pedang mengorek-ngorek luka yang masih menganga. Lalu, dari sana mengalirlah darahnya."Mas, makan dulu!"Susi m
Meski ini pernikahan kedua, bahagianya tak lebih rendah dari yang pertama. Bahkan, ada lebihnya.. Pria yang menyandingku kali ini tidak lain di mulut, lain di hati. Ia tulus mencintai saat orang lain meremehkan. Mas Zayyin senantiasa mengenalkanku pada kerabat dan relasinya. Begitu juga denganku yang mengenalkan ia pada keluarga. "Kamu itu pandai cari istri, Zay! Sudah cantik, baik pula. Semoga rukun selalu sampai kakek nenek, ya!" ucap salah satu tante mas Zay.Aku menanggapi pujian itu dengan senyuman, ucapan terima kasih atau balas memuji. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Dulu saat masih bersama mas Ragil pun sering menemaninya bertemu relasi. Jika tak sedang melayani tamu, aku dan mas Zay melanjutkan obrolan. Tentu saja lebih banyak bercanda daripada seriusnya. *Di sini, di kamar hotel ini hanya ada kami berdua. Suasana di dadaku jangan ditanya. Ramai oleh debaran-debaran kencang. Makin lama makin ribut saja mereka.Kadang kuelus dada agar bisa meredakan gemuruh di
Keluarga besarku pun turut hadir. Kakek, nenek, om, tante, kakak, adik. sepupu, dan keponakan ada. Keluarga mas Zay pun telah duduk di dua shaf ini. Jumlahnya cukup banyak dan aku belum hapal semua. Dari penampilan, aku sudah menduga mereka berlatar golongan kaya. Meski bukan pengusaha semua, tak sembarangan pekerjaan yang mereka sandang. Ada dokter, dosen,wartawan, pengacara bahkan anggota dewan kata mas Zay. . Dari arah barisan pria, terdengar host akad nikah tengah membuka acara. Dia mengucapkan terima kasih pada hadirin dan menyampaikan informasi bahwa akad akan segera dimulai.Hatiku bergetar hebat kala akad suci diikrarkan mas Zayyin. Sekian detik berikutnya aku resmi menyandang gelar nyonya Zayyin Satrio.Airmata ini tumpah dalam dekapan mama. Lalu, kurasakan mama mertua mendekapkan tangannya juga pada sisi tubuhku yang lain."Selamat, ya. Semoga pernikahan keduamu langgeng hingga melebihi batas usia," ucap mama di sela isakan. Aku pun tak sanggup berkata-kata. Hanya mampu me
"Kupikir lama tak jumpa, kamu makin tua, nyatanya..."Aku deg-degan menunggu lanjutannya. Ampun, eh ini jantung bisa-bisanya tak bisa dikendalikan. Coba tolonglah sampai kapan akan begini."Ternyata memang makin tua!""Haaa, asem!"Zay tertawa puas melihat reaksiku. Pria itu seperti senang sekali mendapatkan aku dongkol. Eh, tapi candaan itu sukses membuat grogi hilang. Efeknya kami jadi bisa ngobrol seperti dulu."Gimana butiknya?"Aku jadi antusias bercerita soal perkembangan usaha butik. Aku ceritakan bahwa sekarang semakin besar dan terkenal. Bahkan beberapa selebritis pun sudah jadi langganan tetap di butik itu.Orderan gaun pengantin juga sudah mulai berdatangan. Kadang bangga sebab disejajarkan dengan butik-butik yang telah lama meniti karirnya."Kerjaan Mas di sana gimana?""Biasalah, bikin waktu makin sempit buat godain cewek!"Ini laki belum tahu rasanya disumpel sama gagang sapu. Seenaknya aja bilang tentang godain cewek di depan calon istri. Apa di pikir aku tidak akan mar
Aku jadi tertawa mendengar perkataan asalnya. Emang hobi humor jadi renyah banget ngemas kata-kata."Aku gak bulan depan karena mau besok datang ke rumah calon mertua. Sekarang, kamu siap-siap pulang sana. Tunggu aku di rumah papa mamamu!""Haaa!""Ho'oh, sejutarius. Sekarang lagi packing, nih coz malem terbangnya!""Mas Zay, apa-apaan, sih! Ngapain dadakan gini. Aku belum ngapa-ngapain, tahu!""Ngapa-ngapainnya nanti kalau udah halal. Sekarang siap-siap pulang sana! Dengar, ya aku ini bukan pemaksa, hanya tak memberimu pilihan saja!" Mas Zay beneran serius mau datang besok. Itu bikin aku kelimpungan sendiri. Setelah telpon ditutup langsung manggil bi Eti dan bilang apa yang terjadi."Masya Allah, Bu. Luar biasa, ya kejutan dari Gusti Allah. Saya jadi nangis, nih!""Nangisnya nanti aja, Bi. Sekarang tolong packing baju saya. Bibi juga ikut, ya takutnya di sana butuh bantuan!""Siap, Komandan!"Aku harus cepat sampai di rumah orang tua untuk bicara tentang Zay. Masalahnya aku belum pe
Aku harus memikirkan ini baik-baik. Trauma kegagalan pernikahan membuatku tsk boleh sembarangan memutuskan masalah serius ini. Aku tak ingin terulang untuk kedua kalinya.Dulu, mas Ragil juga mengatakan akan setia. Tidak akan mendua apapun yang terjadi. Nyatanya semua itu dusta.Bisa jadi Zay juga melakukan hal sama. Saat ada maunya bergaya bak pemuja cita. Setelah bosan menjadi semacam pecandu rokok, lepas bersepah dibuanglah bendanya.Aku belum bisa percaya pada lelaki. Tetaplah di benak ini mereka semua tukang tipu. Di depan bilang cinta, di belakang main mata.Mas Ragil dan Susi pamit sebab akan langsung ke pesantren dan rumah orang tua keduanya.. Katanya juga tak bisa lama di sini sebab Surabaya banyak hal yang harus diurusi."Nanti Mba sama Mas Zay ke Surabaya, ya. Jangan lupa, loh!" bisik. Susi saat kami berpelukan. Karena gemas digoda terus, aku cubit saja tangannya."Pamit, ya, Ra. Pikirkan sekali lagi tentang Zay. Kami siap hadir di acara pernikahan kalian, ok!"Mas Ragil ju
TIARA"Mba Tiaraaa!"Ternyata mas Ragil datang bersama Susi. Kukira sendiri, sudah tegang saja tadi. Tubuh Susi sudah langsing seperti semula. Tampaknya ia sungguh-sungguh melaksanakan dietnya.Aku berpelukan dengan Susi, lalu mempersilakan keduanya masuk. Selepas menyediakan jamuan barulah kami ngobrol."Wah, wah kejutan banget dikunjungi tuan dan nyonya besar. Ada apa, nih sampai menyempatkan diri mampir?""Ish, Mba! Emang gak boleh gitu kita datang ke sini?"Aku dan Susi tertawa bersama, mas Ragil cuma senyum gitu. Tak enak, sih dipandangin terus. Tatapan matanya itu belum berubah ternyata. Masih ngarep, kali, ya?"Ayo diminum dulu. Makannya beli aja, ya. Gak masak soalnya. Abis ngedadaklah kalian datangnya! Bentar aku telpon dulu restorannya!""Gak usah, Mba kami udah makan, kok!""Iya, gak usah, Ra. Udah kenyang juga kami!"Aku mengurungkan niat menelpon. Daripada juga banyak tersisa sebab mereka tak mau makan nantinya."Dari sini kami akan ke pesantren anak-anak!"Syukurlah, ana
RAGILLepas makan, aku mengajak Susi ngobrol di balkon. Tmt terbuka di luar kamar kami memang pas untuk bersantai. Di sini dapat menikmati embusan angin alami. Juga pemandangan langit cerah di siang hari atau kelam di malam hari. Pembicaraan yang kubuka tergolong ringan, tentang apa yang ia lakukan dengan teman-temannya. Wanita itu kembali mencair. Ia bisa bercerita banyak hal. Seolah-olah telah kembali sifatnya yang dulu ceria. Dari sini aku paham bahwa Susi berubah karena sikapku yang dingin. Ia menjaga jarak seiring gaya tak peduli suaminya. "Mau buka butik, ya?"Sampai juga pada bahasan butik. Aku sengaja mengarahkan pembicaraan pada hal ini untuk memastikan sesuatu. Jika benar, harus segera diberikan solusi. "Pengen, sih tapi-!""Kalau sudah sukses apa akan pergi seperti Tiara?"Aku mengejar mata Susi yang tak berani beradu tatap. Ia seperti menghindar penyelidikanku. Bahkan kini menunduk setelah menggigit bibirnya. Hal tersebut justru membuatku makin curiga bahwa memang beren
Sebelumnya aku kirim pesan mau makan malam di rumah, tapi ia tak perlu masak. Aku akan pesan di restoran yang nanti langsung diantar ke rumah.Tak ada balasan padahal sudah dibaca. Hmm, tak biasanya. Apa sedang repot atau marah?Ya, sudahlah lebih baik tetap memesan makanan. Kalau sudah datang mau gak mau 'kan harus diantar.(Maaf, Mas sepertinya aku pulang malam. Ada urusan dengan teman perempuan. Maaf, ya, Mas) Sebenarnya kecewa dengan penolakan Susi, tapi tak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Mungkin bergaul dengan orang lain adalah cara menghilangkan kejenuhan. Pastilah bukan hanya aku yang merasakan pernikahan ini hambar, ia juga tentu merasakannya.(Nanti kujemput, serlok aja)(Gak usah, Mas. Aku pulang sendiri, kan mas sibuk nanti menganggu lagi)Jantungku sedikit mengencang saat membaca pesan itu. Tersindir pasti meski Susi tak bermaksud begitu. Ditambah jadi merasa tak dibutuhkan oleh seorang istri.Sangat jauh berbeda dengan Susi yang dulu. Dia sangat menuntut untuk diperhat
RAGIL Aku pergi bersama susi ke Surabaya di sana ada proyek baru yang harus dikerjakan. Sesungguhnya bukan karena proyek itu aku pergi, tapi lebih untuk lari dari sebuah kenyataan. Terlalu beresiko jika terus di sini. Akan ada kemungkinan terus bertemuKenyataan perpisahan ini sangat menyakitkan sungguh tak pernah terbersit sekejap pun bahwa aku akan berpisah dari Tiara. Wanita yang setia mendampingi dalam suka dan duka selama lima belas tahun lamanya.Tangan yang dulu membalas genggamanku, kini terlepas tanpa bisa diraih lagi. Aku merasa sedang berada di fase terendah dalam kehidupan saat Ia memutuskan tali ikatan pernikahan.Untuk mengurangi kepedihan, aku menyibukkan diri dengan proyek. Aku harus sibuk sebab jika tidak, pikiran dan perasaan akan terbang menuju Tiara. Lalu, larut dalam kenangan tak ada habisnya.Tapi setelah sadar, pedih kembali mencabik rasa. Itu serupa pedang mengorek-ngorek luka yang masih menganga. Lalu, dari sana mengalirlah darahnya."Mas, makan dulu!"Susi m