Pov KenzoAku hanya mampu pasrah ketika pada akhirnya keempat manusia paruh baya itu membuat kesepakatan. Tanggal pernikahanku sudah diputuskan. Sesekali kulirik Adzkya---gadis yang entah kenapa, berbeda dengan gadis modern lainnya. Di zaman seperti ini, masih menerima dijodohkan oleh orang tuanya. Sementara itu, aku … selalu saja perempuan pilihanku akan bertolak belakang dengan keinginan Mama. Andai mau egois, mungkin dulu pun aku akan kawin lari dengan Fevita---cinta pertamaku. Namun, aku masih memikirkan Mama, perempuan yang terkadang menyebalkan tetapi tetap kusayang. Giliran cinta itu datang, perempuan yang berhasil menggantikan Fevita itu, justru orang yang kubenci dulu dan kini jadi kakak iparku. Serumit inilah liku-liku cinta, emang. “Kalau begitu konsep pernikahannya kita serahkan saja sama Kenzo dan Kya, gimana?” Kudengar suara Om Wira memecah pikiranku yang sedang sibuk sendiri. “Boleh kalau mereka mau, biar lebih sesuai keinginan pengantin juga. Gimana, Kenz?” Kudenga
Pov 3Mobil yang mereka tumpangi oleng dan menabrak trotoar. Namun, nyawa Para penumpang itu masih selamat. Mas Iqbal sigap mengijnak rem dan mobil berhenti, hanya terjadi sedikit benturan."Astaghfirullah, Iqbal!" Bu Faridah memekik seraya mengelus dada. "Maaf, Ma." Hanya itu yang terucap dari mulut Mas Iqbal seraya menetralkan degub jantungnya. “Hati-hati, Iqbal. Alhamdulilah kita masih selamat ….” Pak Rafael tak kalah shock juga. Pada akhirnyaSemua orang mengucap syukur, tak terkecuali Kenzo. Rasanya diberi hidup sekali lagi. “Kamu kenapa, Iqbal? Biar Papa yang gantiin nyetir saja. Ayo tukar tempat.” “Maaf, Pa. Anak kecil tadi nyebrang mendadak. Untung masih bisa dihindari.” Mereka memang melihat anak kecil yang berlari mendadak, hanya sajaPak Rafael yang duduk di belakang memang tak nampak. “Masih bisa, Pa. Aku bawa lebih pelan saja. ““Kamu masih kaget juga ‘kan. Tukeran dulu saja.” Akhirnya Mas Iqbal menyerah dan tukar duduk dengan Pak Rafael. Mobil pun kembali melaju, m
Pov AdzkyaAku memilih menunggunya kembali sambil membaringkan tubuh di atas kasur empuk berukuran jumbo yang bertabur kelopak bunga mawar merah yang tengah merekah. Tiba-tiba ada rasa berdebar ketika mengingat jika kini sudah ada sosok lelaki yang halal. Untuk membunuh bosan, aku memainkan gawai. Namun, hingga setengah jam berlalu, Kenzo belum juga kembali. Kucari nomornya dalam kontak whatsapp lantas kuhubungi. Namun, hanya centang dua warna hitam. Padahal terlihat kontaknya sedang online. Aku menghela napas, lantas kusimpan gawai di atas nakas. Kurebahkan tubuh dan mencoba memejamkan mata. Namun, entah kenapa malah rasa perih dan pedih yang menelusup perlahan. Ini bukan pernikahan seperti yang kuinginkan. Ah, andai Marcello tak membuat onar. Aku pasti masih tengah duduk di bangku kuliah dan fokus pada karirku di perusahaan Papi. Aku segera menepis sesal. Anggap saja ini teguran. Aku yang tak mendengar kata-kata Mami untuk tak berpacaran. Pesona Marcello membuatku untuk pertama
Pov Adzkya“Kalau kamu mau itu, naik saja. Aku naik taxi.” Dia menjawab cepat. Lagi-lagi aku mematung. Rupanya selain suka menghilang, irit bicara, lelaki yang sudah menjadi suamiku itu jugta ternyata keras kepala. Perjuanganku masih panjang, rupanya. Untung aku sudah diajarkan menjadi perempuan tangguh versi Mami. Kita lihat saja, berapa lama kamu akan bertahan dengan sikapmu yang menyebalkan ini, Mas? Aku berani bertaruh, kamu akan segera bucin padaku seperti pada novel-novel yang kubaca sebelumnya.“Bapak pulang saja. Saya ikut Mas Kenzo, naik taxi.” “Tapi, Non?” Pak Tomo hendak menyela. Hanya saja aku menagangakat tangan ke atas, Pk Tomo sudah paham, jika aku tak ingin didebat. “Baik, Non.” Aku langsung masuk ke dalam taxi, menemukan lelaki tampan yang tampak tengah cemberut. “Ayo, Mas.” Dia menoleh, tanpa menyahut dan langsung berbicara pada sopir taxi tersebut untuk jalan. Sepanjang perjalanan hanya didominasi oleh lagu yang diputar oleh pengemudi taxi saja. Aku dan Ma
Pov AdzkyaAku menyimpan rapat-rapat penemuan foto kakak iparku ini sendirian. Ketika makan malam dan sorenya kumpul-kumpul keluarga, aku masih bersikap biasa dan seolah tengah tak memikirkan apa-apa. “Kenz, ajakin Kya jalan-jalanlah … mungkin jenuh seharian di rumah.” Mama Faridah memang berhati lembut dan sangat pengertian. Aku tersenyum mendengar penuturannya. Namun, Mas Kenzo hanya melirik sekilas, wajahnya datar dan tak menunjukkan ekspresi apa-apa. “Kamu mau jalan?” Dia bertanya padaku rupanya. Aku berpikir sejenak lantas mengangguk.“Boleh.” “Oke, aku tunggu di depan.” Mas Kenzo berdiri dan meninggalkan seperempat porsi makanan di piringnya yang masih tersisa. Dia pun langsung bangkit setelah meneguk air putih dalam gelasnya. Aku yang masih menghadapi nasi dalam piring dan masih sisa setengah porsi membiarkan dia pergi, lalu tetap santai menyantap makanan. Usai nasiku habis baru aku berdiri dan berpamitan pada Mama Faridah dan Papa Rafael. “Kya pergi dulu, Ma, Pa! Assala
Pov Kenzo“Sorry.” Aku melepas tubuh Diva yang tadi begitu dekat. Bahkan harum tubuhnya tercium ke indra penciuman dan begitu melekat. Aku hanya menolong dan reflek, tak ada maksud apapun. Bang Iqbal menatap ke arahku dengan pandangan yang menelisik. Ya, aku tahu diri. Diva sudah jadi istrinya saat ini. Kejadian tadi reflek dan di luar kendali. “Kamu gak apa-apa, Va? Hati-hati, dong!” Mama yang bangkit dan menghampiri Diva. Sementara itu, aku lekas duduk kembali dan fokus pada piring yang ada di depanku. “Mau tambah lagi, Mas?” Suara Adzkya terdengar lembut. Satu sentuhan pada punggung tanganku membuatku menoleh padanya.“Enggak.” Aku menjawab singkat tawarannya. “Piring kamu sudah kosong soalnya,” tukas Adzkya. Aku baru sadar, sejak tadi aku memegang sendok dan garpu pada piring kosong di depanku. Padahal kurasa sudah fokus, ternyata aku hanya melongo dan memandang kosong. Segera kuletakkan sendok-garpu dan kuteguk air bening dari gelas. Gegas aku bangkit duluan dan berjalan m
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika