Pov DivaAku duduk pada kursi kayu yang ada di dapur. Lantas meneliti pengirim paket itu. Seketika kedua netraku membulat melihat nama pengirim yang tertera di sana. Setelah nama asli dan alamat lengkapku, dia menuliskan satu kata yang membuat aku langsung terhenyak dan kaget luar biasa. Dari Pangeran, untuk Cinderella. Aku bangkit dan mengambil gunting untuk memotong lakban yang melapisi paketan ini. Kubuka perlahan dengan hati penuh tanya. Siapa sebetulnya sosok Pangeran. Kenapa dia bisa tahu alamatku, sedangkan kami sendiri sama sekali tak saling kenal dan belum pernah bersua. Apakah Pangeran itu Mas Iqbal? Ah, kuharap iya. Paketan ini juga datang pada saat setelah acara lamaran selesai. Semoga saja, jika benar, maka aku akan teramat sangat bersyukur. Sosok asing yang sudah membuatku merasa nyaman itu tak lain adalah calon suamiku sendiri. Senyum terukir di bibirku, mengingat tak ada lagi tersangka yang bisa aku tuduh selain dia. Ya, siapa lagi kalau bukan dia, entah kenapa aku
Pov Putri “Putri! Mbak sebetulnya yang kasihan sama kamu. Kenapa sih, gak berhenti recokin kehidupan, Mbak. Asal kamu tahu, Mbak bukan orang beg* yang gak paham, itu semua foto-foto lama. Asal kamu tahu, yang harus kamu waspadai itu suami kamu, Put.” Tiba-tiba Mbak Diva berbicara seperti itu. Kalimat yang mampu membuatku terkejut luar biasa. Setahuku, Mbak Diva gak pernah mengurusi atau mencampuri kehidupan orang lain, apalagi hidupku. Meskipun, aku tetap ingin mencampuri hidupnya. Entah kenapa hati kecilku begitu gak rela lihat Mbak Diva yang selalu lebih disayang Ibu dan Bapak itu hidup lebih bahagia dariku. “Mbak hapal betul, itu Mas Imam. Dan itu foto baru, lihat saja tanggal yang tertera pada saat pengambilan foto itu. Jadi, sebaiknya kamu urus saja suami kamu, jangan terus-terusan recokin hidup, Mbak. Mbak dan Mas Iqbal akan tetap menikah dan kami sudah saling percaya!” tukasnya dengan tegas dan menatapnya tajam. Aku yang tengah mengunduh file yang dia kirimkan menelan saliv
Pov Imam Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku ingin sekali mengubah semuanya seperti semula. Diva yang kutinggalkan, semakin hari, justru semakin mempesona. Sementara itu, perempuan yang kunikahi, ternyata hanya membuat kepala semakin nyut-nyutan setiap hari. Putri, perempuan yang sudah membuatku ketagihan dengan pelayanannya di atas ranjang, perlahan menunjukkan sisinya yang lain. Dia tak hanya boros, tetapi sama sekali tak bisa membedakan mana priortas dan mana keinginan. Bahkan, kerap kali dia mengungkit uang yang memang sejak dulu kujatahkan untuk Ibu dan adik-adikku. Sebulan pertama menikah, hubungan kami harusnya sedang manis-manisnya. Hanya saja, sayangnya, dia selalu saja membahas masalah keuangan. Hal yang benar-benar membuat aku merasa tak dihargai sebagai suami. Aku masih berusaha sabar, meskipun hal itu sudah kerap menimbulkan riak-riak tengkar kecil dalam hubungan kami yang belum seumur jagung. Kuberikan dia pengertian perlahan, tetapi ternyata tak masuk sedikit pun
Pov Diva [Diva, Putri masih belum sadarkan diri. Dia keguguran. Imam] Aku melonjak kaget ketika membaca sederet pesan dari nomor Putri. Kubaca lagi, tetapi isinya tetap sama. Di sana tertera dengan jelas jika Putri keguguran. Lekas kupijit nomor telepon milik adikku tersebut hingga akhirnya panggilan pun terhubung ke sana. “Hallo! Assalamu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam ….” Kudengar suara lemas seorang lelaki yang menjawab telepon tanpa semangat. “Mas, kenapa Putri?” Helaan napas kasar kudengar sebelum suara Mas Imam yang kini menggantikannya. “Putri keguguran, Va. Dia sedang persiapan operasi kuret saat ini.” “Kok bisa, Mas?” Aku tersentak kaget. Ingat sekali ketika dia pergi dengan penuh emosi meninggalkan rumah ini. “Panjang ceritanya, Va. Cuma minta sampaikan saja pada Bapak dan Ibu. Cukup bantu doa.” “Baik, Mas. Dirawat di mana, Putri, Mas?” Aku mengucap lemah. Rasanya tetap iba, walau Putri memang menyebalkan, tetapi dia tetap adalah adik kandungku sendiri.“Di Rumah Sa
Pov Diva “Ah iya, aku lupa.” Kuhendak menutup kembali tutup stereoform ini. Namun, satu tangan Mas Iqbal menahannya.“Kok malah ditutup lagi, Va?” Aku melongo, bukannya dia sendiri yang bilang susah lagi nyetir, ya? “Kan lagi nyetir, Mas?” “Hmmm, tangan Mas memang sibuk, tapi tangan kamu ‘kan bebas.” Eh, maksudnya apa ini? Apakah ini kode kalau Mas Iqbal minta disuapin? Duh, tiba-tiba aku jadi malu sendiri kalau kayak gini. “Jadi?” Aku menatap wajah tampan yang tampak dewasa dan tenang itu. “Suapin,” kekehnya seraya mengulum senyuman. Tuh kan, ternyata sudah mulai modus. Namun, akhirnya aku menurut juga. Kuambil satu biji kue tersebut lantas mulai menyodorkan ke bibirnya. Rasanya badan panas dingin dan waktu berhenti berputar ketika bibir lembutnya menyentuh jemariku. “Enak,” tukasnya ketika dia sudah berhasil menyelesaikan kunyahannya. “Ibu yang bikin,” tukasku memberikan informasi yang sebetulnya orang lain pun sudah tahu, termasuk Mas Iqbal, kurasa.Dia manggut-manggut, t
“Maafin karena dulu, aku sudah ambil Mas Imam dari kamu. Sekarang aku merasakan sakit yang mungkin dulu kamu rasakan, Mbak. Mas Imam berbuat tak senonoh dengan perempuan lain, Mbak. Dia meniduri perempuan lain, Mbak.” Aku mendengar jelas rasa pedih yang terucap dari setiap kalimat yang Putri ucapkan. Aku termangu, benarkah apa yang aku dengar? Putri meminta maaf? Namun, belum habis pikiranku saling bertali dengan pertanyaan. Putri sudah memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Isaknya terdengar pilu seolah memang dia benar-benar tersakiti. Aku membiarkannya menumpahkan air mata. Ya, aku tahu rasanya sesakit apa. Mungkin yang Putri rasakan belum seberapa, karena dia diselingkuhi dengan perempuan lain yang mungkin dia sendiri gak kenal. Berbeda denganku dulu, yang bahkan sakitnya belum menghilang sampai sekarang.Ternyata memang benar, semua tak luput dari perhitungan-Nya. Ketika kita pasrah, rupanya bukan berarti sebuah perbuatan akan terbebas tanpa balasan. Aku bukan menyumpahi Putri,
Pov Diva Aku bergegas mendorong daun pintu dan hendak mengeluarkan sepeda motorku, tetapi alangkah kagetnya ketika di luar sana ternyata seseorang sudah duduk manis di atas sepeda motornya dengan rambut diikat ke belakang. Dia tengah bersedekap dan diam menatap ke arahku yang baru muncul dari pintu. “Kenzo?” Aku menautkan alis dan menatapnya dengan sinis. Huh, padahal tadi malem gak mimpi apa-apa? Kenapa kekacauan mendatangiku bahkan sejak pagi buta? Bertemu Kenzo, sama saja dengan bertemu dengan masalah. Semoga saja, kali ini pradugaku salah. “Bang Iqbal nyuruh gue jemput ke sini! Dia bilang, khawatir kalau lo bawa motor sendiri, habis perjalanan jauh, capek.” Aku belum melontarkan pertanyaan ketika Kenzo sudah menjelaskan dengan sendirinya. “Saya mau nganter ini dulu ke Bu Faridah, Pak. Jadi, Pak Kenzo silakan duluan saja!” tukasku seraya menunjukkan plastik berisi kue yang kutenteng.“Ck! Lo nolak gue? Kalau di luar tempat kerja, gak usah sok formal dan panggil gue Bapak. Gue
Pangeran, sosok dunia maya yang sepertinya tak akan pernah menjadi nyata. Berulang kali aku mencoba mengirimi dia pesan, tetapi tak lagi ada balasan. Apakah memang dia sudah tak pernah menggunakan akunnya lagi? “Kamu itu siapa sebetulnya, Pangeran?” batinku ketika menatap layar chat yang sudah tujuh kali kukirimi pesan, tetapi tak ada balasan. Meskipun pernah memutuskan untuk tak mencari tahu dan mengabaikan, tetapi entah kenapa naluri begitu penasaran. Hanya saja, kalau masalah masa depan, aku juga tak mau ambil risiko. Tak akan aku mengorbankan yang nyata demi yang semu seperti dia. Setelah itu, kembali bekerja dan menunggu jam pulang. Sudah beberapa hari juga, Bos Kenzo yang menyebalkan itu tak datang. Katanya sedang visit ke kantor cabang lainnya. Hidupku sedikit tenang, hanya saja gimana, ya, nanti kalau kita sudah jadi keluarga. Dia akan jadi adik iparku, apakah sikapnya masih akan bossy dan judes seperti sekarang? Hari pernikahanku dengan Mas Iqbal hanya tinggal sekitar dua
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika