“Assalamu’alaikum!” Suara bariton seorang lelaki membuat aku yang masih bengong terkesiap dan lekas melepaskan pegangan tangan pada gagang kain pel. Aku dan Kenzo bersama-sama menoleh, ternyata yang datang adalah Mas Iqbal. Dia menatapku dan Kenzo bergantian dengan sorot penuh pertanyaan. “W--Waa’alaikumsalam ….” Aku lengah ketika mengucap salam sehingga gagang kain pel yang tadi sama-sama kami pegang sudah beralih ke tangan Kenzo. Dia mulai membersihkan tumpahan dari botol green tea yang tercecer. Mas Iqbal masuk tanpa bertanya apa-apa. Dia langsung mendudukkan tubuhnya pada salah satu sofa yang ada. “M--Mas, tadi saya ke sini nganter skincare punya Ibu. Ini sudah saya titip Kenzo. Pamit pulang, ya.” Rasanya aku malah kikuk ketika dia gak bertanya. Akhirnya aku menjelaskan sendiri tanpa diminta. Mas Iqbal mengangguk dan tersenyum. “Ahm, iya, Va. Makasih, ya!” Setelahnya aku langsung melarikan diri, apalagi makin tak nyaman melihat muka Kenzo yang ditekuk-tekuk menyebalkan. Mung
“K--Kenzo?” Aku melongo. Kok bisa-bisanya makhluk menyebalkan itu malah ikut dan bergabung bareng kami. “Lo duduk di belakang!” Kenzo berucap tanpa melirik. Wajahnya tampak masih ditekuk dan posisinya tak berubah sama sekali.Aku melirik pada Mas Iqbal yang mengedik, tetapi tampak sebuah anggukan pelan dari kepalanya. Aku pun lekas pindah ke kursi belakang. Mas Iqbal langsung melajukan mobil yang kami tumpangi menuju kediaman Nur Laela. Mobil berhenti dan aku lekas memanggil nomor sahabatku itu. Kenzo tampak menatap Nur Laela tetapi tak ada sapaan apapun terlontar padanya.“Va, kok ada Kenzo?” Nurlaela yang kaget melihat kehadiran Kenzo, berbisik. Aku hanya mengedik. Namun, sepertinya suara Nur laela yang berbisik agak kencang itu terdengar oleh orang yang duduk di depan. “Kenapa, masalah kalau gue ikut?” Kenzo bicara ketus tanpa menoleh. Nurlaela melirik ke arahku, lengannya menyenggol lenganku. “Dia dengar,” kekehnya tanpa suara. Aku hanya tersenyum dan menutup bibir dengan te
Sejak pertengkaranku dengan Mas Imam. Aku semakin menjaga jarak dengannya. Hanya saja sebaliknya, dia semakin sering ke rumah. Alasannya pasti siapa lagi kalau bukan Putri. “Bu, Putri minta dibawakan sambel buatan Ibu.” “Bu, Putri katanya minta sayur asem buatan Ibu.” “Bu, Putri katanya minta kue pukis buatan Ibu.” Ibu, Ibu dan Ibu terus menjadi alasan Mas Imam. Aku semakin hilang respect padanya. Bahkan berulang kali kutegaskan jika aku minta dia panggil, Mbak. Namun, dia tak acuh dan selalu saja mencuri kesempatan. Hubunganku dengan Mas Iqbal semakin baik. Dia bahkan kini lebih banyak waktu untuk sekedar meluangkan chat di sela-sela kesibukanku. Hanya saja, semenjak malam itu kami nonton bersama. Tepatnya aku, Mas Iqbal dan Nurlaela, Kenzo semakin sering nongkrong di tempat kerja.“Pagi Bu Anne! Kok ruangannya diberesin,Bu?” Aku menatap Bu Anne yang tengah sibuk merapikan dokumennya dan memindahkan beberapa barang ke bawah dibantu Intan. “Hay, Pagi Diva! Iya, pindah ruangan!”
Setelah mengalami pergulatan panjang di dalam benakku. Akhirnya kuputuskan untuk mendekat. Berulang kali logika menolak, tetapi entah kenapa nurani mengarahkan berbeda. Sudah sejak tiga hari lalu aku menginformasikan pada Bu Anne kalau aku akan mulai aktif di setiap kantor cabang. Padahal, biasanya aku lebih senang bekerja di rumah dan memantau semuanya secara virtual. Namun, pesona Diva tak bisa terelakkan. Aku sengaja meminta Bu Anne untuk tak bercerita dulu pada staff yang ada di sana. Entah kenapa, ingin sekali lihat ekspresi Diva ketika melihatku berada di sana secara tiba-tiba. Kelebat senyuman dan kerlingannya ketika bersama Bang Iqbal, jujur buat dadaku panas. Otakku menolak dan meminta untuk berontak. Aku gak suka mereka dekat. Sedikit kecewa ketika melihat raut wajahnya yang hanya memunculkan ekspresi kaget ketika aku membukakan ruangan yang hanya dibatasi dinding kaca ini. Padahal dah ngarep kalau dia senyum senang atau excited gitu. Hanya saja, mau gak mau aku harus kece
Semenjak kehadiran Kenzo di tempat kerja dan memiliki ruangan kerja di sini. Pekerjaan yang semula ringan dan membuatku bersemangat, mendadak menjadi berat dan terasa menekan. Setiap hari ada saja perintahnya ini dan itu. Bahkan kerap sekali mengacaukan acaraku dengan Mas Iqbal. Entah apa dosaku padanya, sejak dulu, dia tak pernah mau melihat hidupku tenang. Seperti hari ini, padahal aku sudah janjian sama Mas Iqbal buat naik bianglala sambil makan kebab. Gak berdua, aku juga sudah mengajak Nurlaela juga. Dia mau pergi mengajak Habib, katanya. Namun, sepertinya harus gagal karena si lelaki menyebalkan ini memintaku lembur. Perasaan suntuk dan kesal gegas kualihkan. Bagaimanapun, aku banyak bersyukur karena pekerjaanku di sini aku mendapatkan uang tambahan. Kuliah kelas karyawanku pun sudah dimulai. Sebagian dilakukan virtual, tetapi kadang datang juga ke kampus sesuai jadwal. Hanya saja memang untuk kelas karyawan ini tak sepadat kelas regular. Deretan tugas dari Bos Kenz yang meny
Pov KenzoAku tengah mengikat rambut sebahuku ketika tampak sosok tinggi tegap menaiki anak tangga tergesa. Seketika sebuah benturan terasa menghantam dada. Bang Iqbal tampak menenteng plastik bening yang didalamnya, aku sangat hapal isinya apa. Dia membawa kebab yang sama seperti yang tengah kupesan sekarang. “How f*ck you are!” Aku mengepal ketika Abangku melewati ruanganku tanpa menoleh sedikitpun, lalu ke mejanya dan disambut senyuman manis yang tak pernah diberikannya padaku. Rasa marah yang meluap, membuatku lekas mematikan laptop dan gegas pergi dan memakai hoodie warna hitamku. Melihat sepasang manusia itu saling lempar senyuman, entah kenapa membuat rasa panas membakar di dalam sini. Aku berjalan menuruni tangga. Aku baru hendak mendorong pintu kaca dan meninggalkan bangunan yang kujadikan tempat usaha ini ketika seorang tukang ojol dengan jaket hijau mendekat. Dia menenteng plastik kebab.“Selamat sore, Pak! Apa sudah tutup, ya?” tukang ojol itu mendekat ke arahku yang bar
Pov DivaAku duduk pada kursi kayu yang ada di dapur. Lantas meneliti pengirim paket itu. Seketika kedua netraku membulat melihat nama pengirim yang tertera di sana. Setelah nama asli dan alamat lengkapku, dia menuliskan satu kata yang membuat aku langsung terhenyak dan kaget luar biasa. Dari Pangeran, untuk Cinderella. Aku bangkit dan mengambil gunting untuk memotong lakban yang melapisi paketan ini. Kubuka perlahan dengan hati penuh tanya. Siapa sebetulnya sosok Pangeran. Kenapa dia bisa tahu alamatku, sedangkan kami sendiri sama sekali tak saling kenal dan belum pernah bersua. Apakah Pangeran itu Mas Iqbal? Ah, kuharap iya. Paketan ini juga datang pada saat setelah acara lamaran selesai. Semoga saja, jika benar, maka aku akan teramat sangat bersyukur. Sosok asing yang sudah membuatku merasa nyaman itu tak lain adalah calon suamiku sendiri. Senyum terukir di bibirku, mengingat tak ada lagi tersangka yang bisa aku tuduh selain dia. Ya, siapa lagi kalau bukan dia, entah kenapa aku
Pov Putri “Putri! Mbak sebetulnya yang kasihan sama kamu. Kenapa sih, gak berhenti recokin kehidupan, Mbak. Asal kamu tahu, Mbak bukan orang beg* yang gak paham, itu semua foto-foto lama. Asal kamu tahu, yang harus kamu waspadai itu suami kamu, Put.” Tiba-tiba Mbak Diva berbicara seperti itu. Kalimat yang mampu membuatku terkejut luar biasa. Setahuku, Mbak Diva gak pernah mengurusi atau mencampuri kehidupan orang lain, apalagi hidupku. Meskipun, aku tetap ingin mencampuri hidupnya. Entah kenapa hati kecilku begitu gak rela lihat Mbak Diva yang selalu lebih disayang Ibu dan Bapak itu hidup lebih bahagia dariku. “Mbak hapal betul, itu Mas Imam. Dan itu foto baru, lihat saja tanggal yang tertera pada saat pengambilan foto itu. Jadi, sebaiknya kamu urus saja suami kamu, jangan terus-terusan recokin hidup, Mbak. Mbak dan Mas Iqbal akan tetap menikah dan kami sudah saling percaya!” tukasnya dengan tegas dan menatapnya tajam. Aku yang tengah mengunduh file yang dia kirimkan menelan saliv
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika