Hari ini rencananya Mama dan Papa mau datang kerumahku ini, jadi pagi ini juga aku akan masak spesial untuk menyambut mereka. Dengan sangat terpaksa aku belanja di warung Bu Ida, karena hanya itu satu-satunya warung terdekat dari rumahku ini, ada sih warung lain, tapi aku harus menempuh jarak satu kilo, jika aku beli di warung yang jauh itu takut tak terburu waktunya. Tadinya aku mau mengajak Citra berbelanja juga, tapi hari ini Citra baru saja masuk kerja di pabrik, jadilah dia tak bisa menemaniku. Seandainya pabrik itu bukan milikku mungkin hari ini aku juga sama seperti Citra yang sudah harus berangkat kerja pagi dan menitipkan Zahra pada Bu Tiar. Setelah acara syukuran itu, tentu saja statusku sudah bukan lagi pekerja disana melainkan sebagai pemilik. Dan kata Mama dan Papa, minggu depan saja aku datang ke kantor pabriknya untuk mempelajari bagaimana caranya memimpin dengan benar, jadilah untuk sekarang ini aku tidak ada kerjaan. Oh iya aku juga sudah berhenti bekerja menjadi a
"Total semua 150 ribu rupiah. " jawaban Bu Ida membuat mataku membelalak, bagaimana bisa belanjaan yang kalau dijumlah paling mahal hanya tujuh puluh ribu rupiah saja, dan ini bisa habis 150 ribu? "Maaf Bu Ida, kenapa mahal sekali? Setahuku semua itu paling mahal habis sekitar 70.000 rupiah saja, aap Bu Ida gak salah hitung? " "Alah, Ri, uang segitu bagi kamu mah gak ada artinya lagi kan, apa salahnya sedekah sama tetangga. " "Memangnya Bu Ida fakir miskin yang harus disedekahi? " cukup sudah, geram rasanya menghadapi manusia tak tahu malu seperti Bu Ida ini. "Apa harus selalu dengan fakir miskin orang bersedekah? Sama tetangga kan juga sedekah namanya, Ri, jangan pelit jadi orang, orang pelit itu kuburannya sempit tau. " "Eh Mbak Ida, orang sedekah juga gak begitu kali, yang namanya sedekah itu ngasih cuma-cuma, lha ini masalahnya Mbak Riri itu belanja sama sampean, kenapa sampean naikin harganya gak wajar begitu! " sentak Mbok Jum. "Eh Nenek peot nimbrung aja sih dari tadi,
Aku dan Mbok Jum tak menghiraukan pekikan Bu Ida, sebelum aku dan Mbok Jum beranjak dari warung Bu Ida, sempat kulihat Ibu-Ibu yang lain juga pada gak jadi belanja disana, ya baguslah, biar orang kayak Bu Ida itu tau diri. *** "Yang sabar ya Nduk, Mbak Ida memang orangnya begitu, doakan saja semoga cepat sadar dia. " "Iya Mbok Jum, Riri udah terbiasa kok sama perlakuan Bu Ida, udah biasa dihina, jadi udah kebal, makasih ya Mbok udah bantuin Riri tadi. " "Orang kayak Ida itu memang harus dikasih pelajaran Mbak Riri, biar gak seenaknya memperlakukan orang lain. " Karena kami berdua berjalan sembari mengobrol hingga tak terasa kami sudah sampai di warung lainnya. *** "Baunya harum banget, Bu, Zahra jadi laper," ucap Zahra tiba-tiba saat aku tengah memasak di dapur. "Zahra laper? " Zahra mengangguk sebagai jawaban iya atas pertanyaanku. "Sabar ya, Nak, Oma dan Opa mau kesini, kita tunggu mereka datang ya, dan kita makan sama-sama nanti. " "Oma sama Opa mau datang, Bu? Asiiiik
"Ah, gak apa Ri, dulu sebelum Mama dan Papa memimpin perusahaan kakek kamu juga tinggal di rumah kontrakan persis seperti rumahmu ini. "akhirnya aku, Mama, Papa dan juga Zahra menikmati makan siang dengan khidmat. *** Kini aku tengah berada di dalam mobil bersama Mama, Papa, dan Zahra, kami berniat menuju mall besar di kotaku ini, karena memang sebelumnya aku dan Zahra belum pernah sekalipun masuk ke dalam mall. Keceriaan Zahra mengiringi perjalanan kami, dia sangat antusias sekali karena memang ini adalah yang pertama baginya, aku yang melihatnya tentu saja sangat bahagia. Terima kasih ya Allah sudah memberikan rezeki tak terduga seperti ini. Tapi meskipun rezekiku sudah bertambah, lantas tak membuat aku menjadi gelap mata dan menggunakan uang yang Mama dan Papa berikan untuk berfoya-foya. Karena menurutku sebanyak apapun harta kita jika digunakan untuk berfoya-foya pasti akan habis juga. Belum lagi masalah ku dengan orang-orang yang pernah menghinaku sebelumnya. Memang sih, me
"Apa tidak ada teman yang tahu dimana Anam dulu bekerja? " "Ada sih, tetangga dekat rumah juga, tapi katanya Mas Anam smpat pamit pulang karena udah rindu sama Riri dan Zahra, tapi pada kenyataannya hingga saat ini Ms Anam tak juga diketahui keberadaannya. " "Nanti coba Mama bicarakan sama Papa, biar Papa minta tolong anak buahnya untuk mencari keberadaan Anam. " "Beneran, Ma? " tanyaku pada Mama dan dijawab dengan anggukan. "Terimakasih ya, Ma, jujur hingga saat ini Riri sangat merindukan Mas Anam, selama ini hanya dia yang Riri punga, " aku memeluk Mama, betapa nyaman rasanya berada di dekapan orang yang sayang sama kita. Selama ini aku tak pernah mendapatkan pelukan sehangat ini. "Oh iya Ri, Mama dan Papa ada rencana untuk membangun kembali rumahmu, Ri. " "Tapi Ma, rumah itu tak boleh dibangun sebelum cicilannya lunas, begitulah dulu perjanjian jual beli nya, Ma. " "Kamu tenang saja, sudah dilunasi sama Papa, dan ada satu hal lagi yang ingin Mama sampaikan, tanah kosong dis
"Sudah, Ma, sudah Riri masukin kedalam mobil juga," Ya, aku kini juga sudah bisa menyetir mobil sendiri, itu semua Papa yang minta, Papa dan Mama ternyata memberikanku kejutan sebuah mobil baru lengkap dengan formulir pendaftaran belajar kemudi. Mobil itu memang Papa dan Mama belikan khusus untuk aku dan Zahra kalau mau kemana-mana katanya, padahal aku tidak pernah memintanya, tapi mau menolak juga aku sungkan. Setelah semuanya siap, aku dan Zahra berpamitan pada Mama dan Papa untuk kembali ke rumah baru ku. Jarak rumah kedua orangtuaku dan rumahku tidaklah jauh, hanya berbeda kecamatan saja, jika nanti aku atau Zahra kangen, tinggal datang saja. Tanpa terasa akhirnya mobil yang ku kemudikan sampai juga di halaman rumahku. Aku sangat senang dengan rumah baruku, rumah yang terdiri dari empat kamar tidur dan dua kamar mandi umum dan satu kamar mandi dalam di kamar utama, halaman yang luas persis seperti keinginanku, di sisi pojok kanan teras ada kolam ikan berukuran sedan
"Sialan kamu, ,Mbak! Jangan mentang-mentang pabrik itu kamu yang punya lantas seenaknya main pecat orang! " "Kalau kamu gak mau suamimu kupecat, ya tau diri dong! Kau fikir perusahaan itu milik nenek moyang kalian, bisa ngatur pemiliknya? Introspeksi diri itu lebih baik, biar kalau kalian berbicara itu tidak terlihat bodohnya, sudah ya, aku mau istirahat dulu, si OKB ini mau menikmati rumah barunya, bye," aku beranjak dari tempatku berdiri, tak kupedulikan suara Lintang yang terus mencaci dan memaki ku. *** "Riri! Assalamualaikum, Ri! " sayup-sayup kudengar suara seseorang yang kukenal di sela suara bel yang berbunyi. Ketika aku melihat siapa si empunya suara, dengan semangat empat lima aku bergegas membukakan pintu untuknya. "Citra! Apa kabar, ya ampun aku kangen bnget, ayo masuk," aku membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan Citra untuk masuk. Selama aku tinggal di rumah Mama, aku memang tak pernah bertemu dengan Citra, meskipun di pabrik juga tidak pernah bert
"Terimakasih, Cit, kamu memang sahabat terbaikku, cuma kamu yang selalu ada saat aku butuh penguat diri," ucapku sembari memeluk Citra. "O iya, ngomong-ngomong soal suamimu, belum ada kabar juga dari dia? ' "Hem, belum Cit, aku juga bingung, rencananya minggu depan aku sama Papa mau nyari keberadaan Mas Anam ke jakarta. " "Kamu mau ke jakarta? Terus Zahra sama siapa? " "Soal itu kamu tenang saja, ada Mama yang akan menjaganya, disana juga nanti ada pengasuh yang ikutan jaga, jadi Mama aku gak bakal kecapekan. " 'Jadi orang kaya itu ternyata enak ya, Ri, semoga nasib baik kamu nular sama aku ya, biar aku juga bisa ngerasain enaknya jadi orang kaya, mau apa tinggal tunjuk aja. " "Kamu Cit, bisa saja, eh, makan yuk, kamu pasti lapar, nanti malam tidur sini ya, aku cuma berdua aja nih sama Zahra di rumah sebesar ini. " "Oke siap Bu, Bos, tapi aku ambil baju ganti dulu ya. " "Oke siap," dan kami pun tergelak bersama. Dua minggu sudah aku menempati rumah lama rasa baruku ini. Sela
"Sudahlah Kartika. Kita baru satu hari di sini. Bersabar saja dulu. Setelah nanti kita laksanakan rencana kita dan berhasil maka kita akan tendang mereka semua dari sini, lagian bukankah kamu tertarik sama Amar waktu papa kasih lihat ftonya padamu? Apa kamu gak mau menyingkirkan Aliyah dari kehidupan Amar?" ucap papa yang membutku sedikit terbellak. Rupanya ada bibit pelakor kecil dalam rumah tanggakuYah, meskipun aku sudah menduganya hanya saja aku tidak sangka jika keluargaku akan dihinggapi benalu seperti mereka. Bergegas kumatikan mode rekam di ponselku. Kurasa ini semua sudah cukup sedikit bukti. Nanti akan kucari tahu apa rencana mereka tentang ini.***"Assalamualaikum!"Suara Mas Amar terdengar dari balik pintu. Be
"Kau pikir kau siapa mau menyamakan posisimu dengan suami dan anak-anakku? Apa perlu kuingatkan lagi kalau posisimu dan Papamu itu di sini hanya menumpang? Jadi, sadarlah diri sedikit karena tidak selamanya seorang tuan rumah itu harus welcome pada tamunya," desisku sembari menatap tajam wajah Kartika yang memuakkan itu."Kalau aku tidak mau lalu kau mau apa?" tantang Tika yang juga membalas tatapan mataku tajam."Dengan senang hati aku akan mempersilahkanmu dan Papamu untuk angkat kaki dari rumahku ini," ucapku penuh penekanan. Perlu Kartika ketahui jika seorang Aliyah tidak pernah main-main dalam perkataannya."Memangnya ini rumahmu? Ini rumah Mas Amar, Mas Amar itu kakakku, jadi aku dan Papa juga berhak dong tinggal di sini."
"Ini sarapannya, Yah, kalian juga cepat dimakan sarapannya, ini sudah jam enam lebih lima belas menit sebentar lagi masuk sekolah nanti telat," ucapku pada mas Amar dan ketiga anakku yang masing-masing sudah duduk di kursi makan.Tiba-tiba saja papa dan Kartika datang. Tampak sekali kalau mereka baru bangun tidur. Hal itu bisa terlihat dari wajah papa dan Kartika yang terlihat kusut serta papa yang masih menggunakan piyama dan Kartika yang masih menggunakan daster sebatas lutut.Astaghfirullah … bukankah mas Amar kemarin suda mewanti-wanti Kartika untuk memakai baju lebih sopan jika ingin tinggal di sini? Tapi lihatlah penampilan dia saat ini, daster yang dikenakannya selain hanya sebatas di atas lutut juga tidak memiliki lengan dengan bentuk kerah yang rendah ke arah dada."Wah, udah pada sarapan aja, kok gak bangunin kita?" ucap papa membuka percakapan sembari sesekali ngelap iler di sudut bibi
"Apa kamu gak mau gitu memberikan dukungan moril sama aku?" ucapku sembari tersenyum penuh arti. Aliyah yang seolah mengerti maksudku pun turut tersenyum serta. Ah, sungguh indah ciptaanMU Tuhan. Beruntungnya aku memiliki istri sepertinya."Tadi 'kan sudah diberi dukungan moril.""Itu 'kan moril pada umumnya. Kalau yang aku maksud moril yang jalur khusus, ah masa Bunda gak paham maksud Ayah sih?""Hahaha, kamu ada-ada sih, Yah, udah kayak kendaraan saja ada jalur khususnya," ucap Aliyah sembari tergelak memperlihatkan lesung pipinya yang membuat tambah manis wajah istriku itu.Tiba-tiba saja ada yang berdesir dalam dada ini. Ah, aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada istriku sendiri. Akhirnya aku dan Aliyah pun memadu kasih dalam balutan hubungan halal ini.Pov AliyahAku mengusap keringat di dahi mas Amar, suamiku. Kami baru
"Oh iya, mulai besok baik itu di rumah maupun di kedai jangan lagi berpakaian seperti ini. Terutama di rumah ini, sakit mataku lihat kancing bajumu yang sedari tadi seperti tersiksa karena dipaksa menahan tubuhmu yang besar itu. Pakailah pakaian yang sopan, atau kalau tidak dengan senang hati aku akan memintamu angkat kaki dari rumah ini!" ucapku pada Kartika sembari berdiri berniat ingin meninggalkan ruang tamu yang terasa panas."Iya-iya, Mar, kamu tenang saja, Kartika setelah ini akan memakai baju tertutup kok," ucap Papa cepat."Baguslah kalau begitu, oh iya, Bun, tolong bilang sama Ibu dan Bapak, kita ke rumah mereka besok saja, ini sudah sore takut kemalaman di jalan," ucapku pada Aliyah sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarku.***"Yah, kamu kenapa?" tanya Aliyah sembari mengusap-usap dadaku yang kata orang bidang akibat dulu setiap hari selalu mendorong gerobak mie ayam
Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku."Huft ... "Kuhembuskan napasku demi menghilangkan sesak yang tiba-tiba menghantam dada."Mas, jangan begitu, biar gimana pun beliau orang tua kamu. Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku agar selalu menebar kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu?"Suara merdu Aliyah mampu menghipnotis pikiranku. Yah, aku lupa jika aku pernah menasehatinya seperti itu. Aku seperti seorang pecundang yang pandai menasehati tapi tidak pandai mengerjakan nasehat yang kubuat."Baiklah, mau berapa lama kalian numpang di sini?"&
Tak berselang lama Dokter dan perawat itu pun masuk kedalam kamar perawatan Lintang. "Gimana rasanya, Bu? Apakah sudah membaik?" tanya Dokter, sedangkan suster meletakkan buah dan pisaunya di nakas sebelah tempat tidur Lintang. "Dokter, bisa jelaskan kenapa kaki saya hilang?" Akhirnya dengan terpaksa dokter pun menceritakan bagaimana kaki lintang bisa diamputasi, air mata tak hentinya jatuh membasahi pipi Lintang. Lintang merasa semua nasib buruk yang menimpanya sungguh tidak adil. Kenapa, kenapa harus dia, bukan Riri saja yang mengalami semua ini, begitu pikir Lintang. Setelah dokter memberikan penjelasan dan berusaha menghibur Lintang, dokter itu pun pamit, karena masih ada pasien yang harus ditangani. "Yasudah Ibu Lintang, sini biar saya yang kupaskan apelnya," ucap perawat pada Lintang, tapi dengan tegas Lintang menolaknya. "Gak usah, Sus, biar saya saja, lebih baik suster keluar, karena saya mau sendiri sambil menikmati buah ini," ucap Lintang pada perawat, akhirnya perawat
"Alhamdulillah, aku kira Mas beneran sudah melakukan itu dengan Lintang.""Enggak Lah, Dek, Mungkin saja Tuhan memang masih menjaga Mas dari niatan jahat Lintang, karena Tuhan tahu hati Mas itu seperti apa.""Terimakasih, mas,""Untuk?""Untuk semuanya, untuk kesetiaanmu, tanggung jawabmu, juga perhatianmu, semoga keluarga kita selalu dalam lindunganNya," Anam dan Riri saling menggenggam erat tangan mereka. Hingga saat Dokter keluar dari ruangan dimana Lintang dirawat."Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Anam pada Dokter tersebut."Pasien dalam keadaan koma luka bakarnya cukup serius, yakni 60% seandainya pasien sadar, kami terpaksa memutuskan untuk mengamputasi kakinya, karena api yang membakar tubuh pasien telah mematikan saraf-saraf di kakinya hingga harus diamputasi, berdoa saja semoga pasien secepatnya diberikan kesadaran, dan kita segera lakukan oper
"Ya Allah Lintang, kenapa kamu jadi seperti ini sih," ucap Anam dengan wajah sendu."Sabar, Mas, aku juga gak tahu kenapa Lintang sampai segitu bencinya padaku, padahal selama ini aku selalu berusaha baik padanya," ucap Riri."Dek, maafkan Mas ya, Mas sudah gagal mendidik adik Mas.""Ini bukan salahmu, Mas, Lintang dan kamu itu beda rahim, sudah pasti beda watak, bahkan yang satu rahim saja bisa berbeda wataknya, apalagi yang berbeda, aku tak pernah menyalahkanmu, semoga dengan ini menjadikan Lintang sadar sepenuhnya.""Sebenarnya ada yang mau Mas beritahu padamu, kenapa Lintang bisa membencimu.""Kenapa memangnya, Mas?" ucap Riri mengernyitkan dahi.