Pak Diko terdiam sejenak sambil memperhatikan bekal yang tadi pagi diberikan Yasa. Ia sungguh heran dengan sikap karyawannya itu yang mudah sekali berubah-ubah."Kamu di rumah pun gitu, ya, selalu berubah-ubah?" tanyanya tadi pagi kepada Yasa, tapi yang ditanya langsung pergi tanpa meninggalkan satu patah kata pun.Pak Diko sangat yakin kalau ada yang salah dengan Yasa dan istrinya yang akan sangat terluka dengan perubahannya ini.Makanya kali ini ia kembali meminta Yasa untuk datang ke ruangannya agar bisa berbicara dari hati ke hati. Bukan apa-apa, tapi akhir-akhir ini semenjak berubah lagi, Yasa lebih banyak diam. Pekerjaan pun tidak diselesaikan dengan baik dan banyak anggota tim Yasa yang mengeluhkan sikap atasannya ini."Kenapa, Bos? Perasaan saya gak ada salah." Yasa langsung duduk dan berbicara tanpa diperintah.Pak Diko menghela napas panjang. "Sepertinya anak ini sudah mulai ngelunjak karena aku memperlakukannya dengan sangat baik. Padahal aku begini karena dia adalah kepon
"Tidak mungkin, itu adalah hal yang dilarang." Qiera menolak ide yang diberikan Mala. Ia bangkit dari duduknya dan kembali menangis. "Jadi kau lebih memilih terluka sendiri daripada mengungkapkan isi hati? Ingatlah Qiera, hidup adalah pilihan, dan hanya satu kali." Mala kembali menyakinkan."Justru karena hidup hanya satu kali, aku ingin berada di sisi suamiku, dan mengabdi padanya. Justru karena hidup hanya satu kali luka yang aku rasakan pun nanti akan berakhir dan akan kutemukan kebahagiaan yang sebenarnya di akhirat." Qiera tetap memberikan kata demi kata penolakan. "Jadi kau membiarkan hatimu terluka, terbakar, dan hancur hanya untuk lelaki yang menjadikan kamu tempat pulang sementara? Kamu ingin melihat anak-anakmu menyaksikan papanya datang ke rumah dengan wanita lain?" Mala masih berusaha memberikan gambaran. Meksipun meminta cerai adalah cara yang tidak dibenarkan, tapi tetap saja Mala tidak sanggup jika harus membiarkan sahabatnya tenggelam di dalam luka kekecewaan. Qie
YasaAmelia adalah masa lalu yang tidak bisa aku lupakan. Ketika hidup terasa hampa, dia tiba-tiba datang dengan membawa ribuan kesejukan yang membuat hatiku terasa tentram.Ketika aku tidak punya alasan untuk hidup, dia tiba-tiba hadir kembali dan menjadi alasan terbesar kenapa aku harus bertahan hidup hingga nanti sampai ajal menjemput.Akan tetapi, dia malah berlari dan sengaja menghilang dari tatapan mataku. Awalnya aku berpikir pertemuan ini tidak akan berlanjut, jadi aku memutuskan untuk melupakan.Dua hati yang lalu, tepat di pagi hari dia tiba-tiba saja menemuiku dengan setengah berlari, dan memberikan aku secarik kertas yang berisi dua belas nomor. Hati ini kembali bergejolak ketika memegang kertas itu.Apa ini tanda kalau kita berjodoh dan Tuhan ingin kita bersama?Aku bahkan lupa kalau statusku saat ini bukan sendiri lagi, tapi sebagai suami dan juga ayah untuk anak-anakku. Namun, hatiku tetap ingin melakukan panggilan ke nomor yang tidak diberikan nama ini. Beberapa kali
Mala sampai mengajak Harun untuk bisa membuat Qiera sadar kalau Yasa bukanlah lelaki yang pantas untuk diperjuangkan. "Menyuruh cerai pasangan suami istri itu dosa, loh, Yang?" Harun melipat tangan di dada sambil menatap lekat istrinya yang sedang gundah gulana karena masalah sahabatnya. "Iya, aku tahu. Aku juga gak minta Qiera untuk cerai, Mas. Aku hanya ingin dia sadar kalau Yasa memang tidak layak untuk diperjuangkan. Yasa tidak berhak menerima ketulusannya yang begitu besar, Mas. Aku ingin Qiera bisa menilai kalau dirinya sangat berharga." Mala kembali menjelaskan maksud dan tujuannya. "Sama seperti kamu dulu?" Harun masih bingung maksud dari perkataan istrinya itu."Bukan, Mas. Aku ingin Mas ikut bicara sama aku, pokoknya Mas hanya sekadar ikut, nanti biar aku yang memulai pembicaraan." Kini Mala yang tambah terlihat kesal.Ia sama sekali tidak menyangka kalau suaminya yang sangat cerdas itu bahkan tidak mengerti perkataan dirinya. "Oh, jadi aku hanya ikut perkataanmu?" Hati
Yasa Mati di tangan wanita lain? Aku mencoba mencerna perkataan Pak Harun yang kata demi katanya kenapa mirip dengan Qiera? Seolah yang dibicarakannya memang Qiera, apalagi sahabat istrinya pun hanya Qiera seorang. Ah, tidak. Tidak mungkin kalau Pak Harun sedang membicarakan Qiera yang jelas-jelas aku adalah suaminya dan sedang ada di hadapannya. "Benar, kan, Abang?" tanya Pak Harun ke arah anak pertamaku. Tunggu, ada apa ini sebenarnya? Ziron beranjak dari pangkuanku dan mendekat ke arahnya. "Abang masih punya Papa, tapi Papa Abang ini jarang di rumah. Jadi Abang minta sama Om Harun agar Abang punya Papa yang lain yang selalu ada di samping Mama, Abang, sama Adek. Papa yang tahu kalau Mama sedang sakit, jadi gak kemana-mana." Anak yang baru berusia lima tahun itu menjelaskan keinginannya. Hati yang baru saja aku tata kembali hancur ketika mendengar kata demi kata yang keluar dari anak sulungku ini. "Bang," panggilku lirih, tapi dia malah sibuk berbicara dengan Pak Harun. "Iya,
Melia tidak bicara, dia malah menundukkan kepalanya dengan sesekali melirik ke arah pohon mangga yang ada di depan. Apa benar yang dikatakan Qiera? "Melia!!" Kali ini aku tidak tahan jika tidak membentaknya. "Ma-mana mungkin, Mas. Suamiku sudah meninggal lima bulan lalu, apa yang dikatakan istrimu itu bohong!" jawabnya gemetaran. "Bohong?" Aku menutup matanya lekat mencoba untuk mencari tahu kebohongan yang ada di matanya. Walaupun aku tidak mencintai Qiera, tapi aku tahu kalau Qiera tidak suka berbohong. Walaupun iya, beberapa menit kemudian dia akan membicarakan kebenarannya sambil tertawa. Buktinya sekarang dia tidak melakukan itu, berarti apa yang dia katakan dia itu benar. "Jawab yang jujur atau hubungan yang aku tawarkan padamu beberapa waktu lalu anggap saja tidak ada?" Terpaksa aku memberikan pilihan seperti ini padanya. Sebenarnya hanya untuk mengancam, tapi ya sudahlah. "Nanti aku diceritakan di mobil, Mas," lirihnya dengan suara yang parau. "Oke." Aku membukakan p
Qiera Panggilan kedua anakku membuat hati ini terketuk dan memilih untuk bangkit. Mala benar, lelaki seperti Mas Yasa memanggil tidak perlu dipertahankan. Terlebih hubungan di antara Mas Yasa dan wanita bernama Melia itu tidak sederhana. Aku sengaja hanya meminta pulang, karena kata Harun Om Dino aku harus menggugat cerai Mas Yasa di pengadilan, tapi Mas Yasa tidak perlu diberitahu. Karena kalau beberapa kali tidak hadir di pengadilan agama, maka kita otomatis akan berpisah. Kurang lebih seperti itu yang aku tangkap dari perkataan Harun kemarin. Kalau tidak mendengarkan perkataan Harun, pasti Om Dino yang perkataannya selalu aku dengar. Kedua orang itu memang tidak pernah kalah dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Aku pun ingin seperti mereka yang bisa kuat dalam memegang prinsip. "Buka pintunya!"Semalaman Mas Yasa menendang pintu anak-anak, tapi aku tidak mau menggubrisnya. Biarkan saja sampai dia lelah. Jangan cuman aku saja yang lelah, dia juga harus. *** "Kenapa ke
Mala terbahak ketika Yasa tidak mengenali istrinya sendiri. "Lihat perubahan yang ada pada dirimu, Ra, sepetinya dia tidak akan tahu kalau itu dirimu meski kamu muncul di layar televisi," tandasnya, lalu kembali tertawa. Qiera hanya tersenyum menanggapi ketika pujian kembali datang bertubi-tubi dari pengunjung mall. Bahkan tidak sedikit orang yang meminta foto bersama, terutama dengan kedua anaknya. "Mas, bagaimana kalau kita foto bersama juga sama kedua anak itu?" Amelia mengusulkan. Yasa melihat ke arah kedua anak itu dan ada perasaan familier. "Kenapa, Mas? Kamu kenal mereka?" Amelia kembali bertanya, padahal Yasa masih berusaha mengingat. "Ya, aku merasa akrab dengan mereka." "Yang benar, Mas? Apa jangan-jangan ...." Amelia tidak melanjutkan perkataannya. "Jangan-jangan?" Yasa menatap lekat ke arah Qiera yang masih sibuk berfoto dan berpose. "Dia istrimu, Mas." Amelia berkata pelan, tapi Yasa bisa mendengarnya dengan jelas. Bukannya percaya, Yasa malah tertawa terbahak-
KSIBP 137 Setelah terikat pernikahan dengan Om Dion, Mala menjalani hidup normal seperti seorang istri, tapi tetap mengurus restorannya. Mala sama seperti Qiera, mengurus semua kebutuhan Zayyan dan Om Dion oleh dirinya sendiri. Sementara Harun, dia mulai mendekati Hani. Wanita yang berhasil memikat hatinya karena semua karakter wanita yang dia butuhkan ada padanya. Harun juga mendatangi keluarga kakek Diko untuk melamarnya, tapi ternyata membuat kebencian para wanita yang ada di sama membara."Mana bisa gadis kampung dan anak pelacur itu jadi bagian dari keluarga kita?""Benar, itu tidak boleh terjadi. Sudah cukup Diko salah memilih istri, sekarang kita tidak bisa membiarkan berdebah kecil itu menjadi istri Harun," geram Marisa.Marisa sengaja menyulut emosi para wanita yang ada di kediaman kakek Diko agar membenci Hani dan melakukan banyak hal untuk mencelakainya. Namun, bagi Hani semuanya tidak mempan. Dia memang bukan bagian dari keluarga besar Diko, jadi dia sama sekali tidak ke
KSIBP 136 Waktu pernikahan Mala dan Om Dion sudah ditentukan. Meksipun Pak Bagas menantangnya, tapi dia kalah dengan Pak Malik yang langsung turun tangan."Kau cukup menjadi wali nikahnya, tapi kalau tidak mau, bisa diwakilkan dengan kakakmu," ancam Pak Malik.Kakak yang dimaksudnya adalah pria yang paling ditakuti Pak Bagas. Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak sedekat Pak Malik dan Om Dion. Sangat jauh."Untuk kali ini aku memang tidak bisa melawan, tapi lihat saja, kalian tidak akan bisa hidup bahagia tanpa izin dariku," ucapnya lantang dengan penuh percaya diri."Oh, ya? Memangnya siapa kau berani berkata seperti itu? Apa kau Tuhan?" Pak Malik sudah tidak sabar untuk mencekik lehernya dan merobek bibirnya, tapi dia tahan karena bagaimanapun dia adalah ayah dari Mala.Pak Bagas tidak bicara. Dia kembali menghilang seperti ditelan bumi, begitupun dengan istrinya.Beberapa kali sudah Diko memergoki Pak Bagas yang berusaha melakukan penyuapan agar Pak Aryo dibebask
KSIBP 135 "Apapun yang kita lakukan tidak ada hubungannya denganmu!" Diko menatap tajam ke arah pamannya Qiera. Saat ini dia tidak suka diganggu karena sedang bersama istri. "Ini adalah hal yang biasa, masalahku lebih penting." Om Dion duduk di dekat mereka dan membuat Qiera merasa tidak nyaman, lalu berusaha melepaskan tangan Diko, tapi gagal."Kalian belum halal, sementara kamu sudah. Jadi, siapa yang lebih penting?" Diko berucap tenang. Sebenarnya dia ingin marah, tapi tidak bisa kalau di dekatnya ada Qiera. Dia tidak ingin membuat istrinya ketakutan karena melihat sisi gelapnya.Om Dion terdiam. Apa yang dikatakan Diko memang benar. Harusnya di ini Om Dion yang membantu masalah Diko ataupun Harun, bukan malah sebaliknya karena Om Dion lebih tua. Ditambah Diko juga hanya keponakan, tapi semuanya tidak akan berjalan kalau Diko hanya diam.Om Dion berjalan ke arah luar dan duduk di bangku taman, sementara Diko masih memeluk Qiera erat."Aku malu," lirih Qiera dengan wajahnya yang m
KSIBP 134 Laras bangkit dari lantai dengan tertatih-tatih tanpa ada bantuan dari siapapun. Dia menangis dalam diam tanpa mengatakan apapun dan Harun sama sekali tidak peduli. Dari dulu, dia memang tidak ada perasaan apapun kepada Laras. Jika bukan karena balas budi, dia juga tidak akan mau memperhatikan Laras selama ini. "Apa benar dia tidak apa-apa?" tanya Marisa khawatir. Sebenarnya dia hanya pura-pura peduli agar Harun dan kepala maid menilainya baik, tapi sayangnya niatnya itu sudah diketahui dari awal. Harun sudah tahu kalau keluarganya Diko tidak ada yang tulus, kecuali Hani. Makanya dia mau memanfaatkan wanita-wanita itu untuk dijadikan alat agar Laras tahu diri. "Kalau kau memang peduli, sana urus dia. Tapi setelah itu pergilah dari rumahku!" Harun memberikan peringatan. Marisa bergidik ngeri. Dia tidak berani mendekat sedikit saja ke arah Laras. "Kenapa dia seperti ini?" ucap Laras bertanya-tanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, tapi segera dihadang beberapa penjaga. "
KSIBP 133 "Aku serius. Dia kenapa tidak pernah cemburu ketika aku sibuk dengan karyawan wanita, kenapa juga dia tidak pernah menelepon ketika aku sedang di kantor? Padahal, selama ini aku selalu menunggunya," jelas Diko panjang lebar. Diko ingin seperti beberapa karyawannya yang selalu diperhatikan oleh istri. Menelepon ketika makan siang atau mengantarkan bekal. Pak Malik menatapnya datar. "Serius kau datang hanya untuk mengatakan ini?" "Tentu saja. Memangnya apa lagi? Bagiku masalah ini lebih penting daripada apapun. Aku bisa menyelesaikan semua masalah dengan mudah, kecuali ini." Diko merespon cepat. Pak Malik berusaha menahan tawanya, lalu menceritakan bagaimana sifat istrinya. Qiera sama seperti mamanya yang terlihat seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan suami, padahal aslinya dia gelisah setengah mati. Namun, dia tidak berani melakukan hal-hal yang ada di pikirannya karena takut mengganggu pekerjaan Diko. "Padahal, aku suka diganggu." Diko kembali mengacak rambutny
KSIBP 132 "Kenapa tadi kamu begitu cemburu?" tanya Mama Diko heran ketika sang anak memang sengaja menemuinya. "Bukankah seorang suami memang harus punya cemburu ketika istrinya ditatap oleh wanita lain?" Diko malah kembali memberikan pertanyaan. Sang mama menghela napas panjang. Sungguh tidak menyangka anaknya menjadi pencemburu semenjak menikah, terutama dengan wanita yang dari dulu sudah diinginkannya. "Iya, Mama paham." "Kalau paham, kenapa Mama banyak bertanya?" Diko mengerutkan keningnya. "Aku ke sini untuk membicarakan beberapa hal penting. Lagi pula dia sudah banyak aku bantu, masa iya masih berani menatap istriku." Kecemburuan Diko ternyata belum reda sampai membuat mamanya angkat tangan. "Kamu ke sini mau dibujuk Mama atau sedang cari perhatian istrimu?" tanyanya heran. "Tentu saja untuk mengabarkan kalau anakmu ini sangat hebat. Semua rencana berada di bawah kendaliku," ucap Diki mulai bangga diri. "Alhamdulillah. Jangan lupa bersyukur untuk setiap kejadian karena
KSIBP 131 Laras tidak berhenti berteriak semenjak di rumah itu ada tantenya Diko. Awalnya Harun tidak setuju jika perempuan yang usianya lebih tua tiga tahun darinya itu menginap, tapi ketika mengingat Laras mulai kehilangan kendali, dia mendadak setuju. "Usir wanita itu dari rumah ini, hanya aku yang pantas menjadi istrinya Harun, dan hanya aku yang boleh ada di dalam hatinya!" teriak Laras tidak terima dan hal ini membuat kepala penjaga semakin bahagia. "Kalau kau tidak rela ada wanita lain di rumah ini, maka kau harus menjadi kuat!" Kepala penjaga mulai melancarkan aksinya. "Kuat?" Laras terdiam. "Iya. Kau harus makan setiap makanan yang dia berikan agar punya tenaga untuk membalasnya. Kemungkinan besar dia akan tinggal di rumah ini dalam waktu yang lama. Jadi, kalau kamu tidak mau kalah, kamu harus lebih unggul," jelas kepala penjaga yang sedang berusaha menjadi kompor. Harun memang hanya ingin Laras merasakan apa yang Mala rasakan dulu. Dalam artian dia ingin Laras diperlak
Setelah mendapatkan penjelasan dari Diko, Qiera segera meminta pamannya itu untuk datang ke rumah. "Ada apa? Sepertinya ada yang penting." Om Dion memasang wajah datar. "Aku ada informasi penting yang harus Om ketahui." Qiera mulai meluruskan duduknya. Sementara Diko hanya melihat tingkah istrinya dari jauh. Dia sudah tahu kalau Qiera akan memanggil pamannya ke sini. "Apa itu?" Om Dion masih bertanya dengan wajah datarnya. "Tentang Mala." Wajah datar itu langsung berubah lesu ketika mendengar nama yang selalu dia rindukan. Sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Kini Qiera yang terdiam. Dia ingin mengulur waktu agar wajah Om Dion tidak ditekuk seperti itu lagi. "Apa yang ingin dibicarakan tentang dia?" Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Om Dion bertanah karena sudah tidak sabar untuk mendengarkan kabar yang akan diceritakan keponakannya itu. "Coba Om tebak aku akan bicara apa." Qiera malah mengajaknya bermain-main. "Ayolah, Qiera, ada banyak hal yang harus aku kerjakan.
Hari pertama yang datang ke rumah Harun adalah adik ayahnya Leo. Wanita yang disebut Tante dan mengatakan kebenciannya terus terang kepada Qiera. Wanita itu datang dengan penampilan yang cetar membahana. Sungguh jauh daripada penampilan sebelumnya atau penampilan yang disukai Harun. Bahkan bertolak belakang. "Kamu yakin suka wanita seperti itu?" bisik kepala maid yang selama ini selalu ada di sampingnya sudah seperti keluarga. "Mana ada. Aku hanya ingin menjadikan dia sebagai alat saja." Harun menjawab cepat. Sekarang dia hanya memperhatikan wanita itu dari jauh, tapi perutnya sudah terasa mual, dan ingin muntah. "Terus apa yang harus kita perintahkan padanya?" tanya kepala maid dan saat ini tidak memakai pakaian pekerja, karena menyamar sebagai saudaranya Harun. "Pinta dia memasak, sama seperti yang aku perintahkan pada Mala dulu. Lalu, minta dia untuk mengantarkan makanan untuk Laras. Aku sungguh tidak sabar ingin segera tahu apa yang akan terjadi kalau mereka berdua bertemu