"Mas Martin, kamu jangan kasar seperti itu pada Mbak Tari!"Nita berusaha melerai, tetapi percuma saja karena Martin sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.Mendengar teriakan Tari, beberapa orang yang kebetulan sedang mengobrol di teras rumah Bu Mala--tetangga Nita, langsung mengalihkan pandangan, menatap keberutalan Martin.Tidak ada satupun dari mereka yang berusaha memisahkan atau sebagainya, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan keluarga Titi."Mas!" Nita kembali berteriak dan di saat itu pula, seorang pemuda menghampirinya."Mbak, ada apa?"Nita menoleh, menatap pemuda yang sudah berdiri di sampingnya. Nita ingat betul dengan pemuda itu, dia yang kemarin sempat membantunya ketika dimarahi oleh Ibu mertuanya."Itu Kakak iparku, dia di seret oleh suaminya," jawab Nita sambil menunjuk ke arah Tari yang sudah semakin menjauh. Jujur saja, Nita ingin berbuat lebih, hanya saja dia juga takut jadi bulan-
[Om, bisa transfer uang ke rekeningku sekarang?]Tulis Nita dalam pesan singkatnya. Kemudian, dia langsung menekan tombol kirim.Tidak butuh waktu lama, bagi Om Herman membalas pesan Nita. Buktinya hanya dalam hitungan detik saja, pesan tersebut sudah muncul di layar ponsel Nita.[Baik, berapa yang kamu butuhkan, Nita?][Lima juta saja dulu, aku mau memberikannya sebagian pada Kakak iparku dan sisanya akan aku pakai untung modal warung.]Centang biru langsung terlihat di layar, ketika Nita baru mengirimkan pesan tersebut. Tidak lama setelah itu, sebuah panggilan dari Om Herman tampak di layar ponsel."Ya, Om, ada apa?""Kamu yakin ini menjalani ini semua, Nita?" tanya Herman melalui sambungan telepon.Cukup lama Nita terdiam, memikirkan semua yang telah dia perbuat selama ini. Sejah ini, Fahmi belum mengetahui siapa Nita sebenarnya.Rencananya, Nita akan memberitahu semuanya ketika Fahmi pulang, tetapi
Siang harinya, Nita segera pergi ke bank untuk mengambil uang yang baru saja Om Herman transfer. Tidak lupa, dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke pasar yang kebetulan tidak jauh dari pasar, membeli beberapa barang yang akan dia gunakan untuk mengisi warungnya.Sedari kemarin malam, Fahmi tidak bisa di hubungi. Entah pria itu tertidur karena kelelahan atau apa, tetapi Nita benar-benar tidak cukup tenang.Ketika Nita tengah memilah-milah sayuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari belakangnya. Nita menoleh, menatap Ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan toko emas sambil mengobrol bersama seseorang."Aduh, Jeng, udah beli emas baru lagi, nih!" sahut wanita bertubuh gempal yang berdiri di samping Ibu mertuanya."Iya, dong, Jeng. Mumpung ada uang kiriman dari anak saya," balas Titi dengan begitu bangga, dia membolak-balik emas yang ada di tangannya."Eh, Jeng Titi, aku mau tanya dong, bener gak sih rumor yang se
"Lah, jadi Jeng Ima percaya sama siapa? Jeng, saya tuh tersiksa sama Nita. Udah deh, jangan percaya sama dia dan si Salma, mereka sama aja!" sungut Titi dan tentu saja, hal itu langsung menjadi perhatian orang-orang.Jeng Ima terdiam saja, kemudian memasukkan dompetnya ke dalam tas. Dia tidak menghiraukan Titi dan lebih memilih menatap Nita dan Salma."Kasian banget kamu, Nita. Jadi, selama ini gosip tentangmu itu benar." Bu Ima menepuk bahu Nita selama beberapa kali, membuat Titi terbelalak.Dia langsung menggertakkan gigi, ketika secara sengaja melihat Nita menoleh ke arahnya, kemudian menyunggingkan senyum sinis.Titi tidak menyangka, kalau Nita sudah berani melakukan itu padanya. Pokoknya Titi tidak akan tinggal diam, dia akan membalas semua perbuatan Nita kali ini."Awas saja, Nita!" batin Titi."Iya, Jeng. Kasian banget Nita, udah lama ngalamin ketidakadilan itu," balas Bu Salma sambil sesekali melirik Titi."Benar
Tidak lama kemudian, Nita dan Salma sampai di depan gang. Salma segera menepikan kendaraannya di pinggir jalan."Bu Salma, boleh tunggu di sini sebentar?""Iya, Nita. Kamu tenang saja, memangnya kamu akan bertemu di mana?" Nita keluar dari mobil, kemudian mengambil sebuah kantong keresek berukuran sedang yang ada di kursi belakang."Di sini, Bu. Sengaja aku menyuruh Mbak Tari berjalan sedikit. Aku takut, kalau Mas Martin sampai melihatnya."Tanpa sepengetahuan Bu Salma, Nita meraih kantong plastik hitam berukuran kecil dari tumpukan belanjaannya, kemudian memasukkannya ke dalam keresek hitam yang akan di serahkan pada Tari.Tidak ada seorangpun yang tahu, kalau keresek kecil itu berisi uang senilai lima juta. Kebetulan kemarin Nita meminta tambahan uang pada Herman, dia ingin memberikannya pada Tari sedikit lebih banyak lagi. Ketika keluar dari dari mobil, Nita mendapati layar ponselnya menyala, di mana nama
"Ah, i-itu saya tidak tahu, Bu," dalih Nita dengan sedikit terbata-bata. Padahal dia tahu dengan pasti, siapa pemilik mobil itu.Sesudah sampai di depan rumahnya, beberapa kali Nita menoleh ke arah mobil tersebut dan untungnya tidak ada seorangpun yang turun dari mobil tersebut.Nita semakin mempercepat aksinya. Takut tiba-tiba orang yang ada di mobil itu keluar dan yang lebih parahnya lagi, Bu Salma akan menanyakan perihal kedatangan pria itu."Aduh, Bu Nita, mau saya bantuin?" tawar Bu Salma, tetapi langsung ditolak oleh Nita."Tidak usah, Bu. Lagipula ini hanya sedikit, saya bisa sendiri."Wanita itu tampak begitu terburu-buru, membuat Salma langsung memicingkan mata, dia merasa ada yang aneh dengan Nita.Akan tetapi, tidak lama kemudian Salma menggeleng pelan, dia tidak seharusnya mencurigai Nita, siapa tahu ada hal mendesak yang tidak Nita ceritakan pada Salma."Ah, kalau begitu saya permisi dulu."Ketika Salma hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba Nita datang, dadanya tampak
"Nita, terima kasih sudah mau membantu. Mbak, benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi."Awalnya Tari berdalih pada Martin, kalau dia akan membeli sesuatu ke warung Nita, padahal sebenarnya dia ingin meminta Nita untuk menyusun sebuah rencana, agar dia bisa kabur dari rumah orangtuanya."Sama-sama, Mbak." Nita sedikit memutar bola matanya, memperhatikan sekitar. "Mbak, Mas Martin tidak tahu kamu pergi ke sini?""Dia tahu, tapi kamu tidak usah khawatir, soalnya Mbak bilang sama Mas Martin, kalau Mbak mau belanja ke sini.""Semoga saja, Mbak."Nita kemudian membuka pintu warung, mempersilahkan Tari untuk masuk, agar mereka bisa lebih fokus lagi dalam menyusun semuanya.Akan tetapi, meskipun begitu, mereka juga tidak lepas memperhatikan sekitar, takut nanti ada orang yang tiba-tiba datang dan mendengarkan semua rencananya."Iya, Nita dan rencanakan Mbak akan pergi hari Minggu depan."Nita terdiam selama beberapa saat, lalu tidak lama kemudian matanya membulat sempurna."Tunggu! Buka
"Terserah Ibu mau mengatakan apa tentangku, tetapi yang pasti aku tidak peduli."Kali ini Titi benar-benar geram dengan Nita, tetapi dia juga tidak ingin pulang dari sini dengan tangan kosong. Maka dari itu, Titi langsung mengedarkan pandangan ke seisi warung Nita, mencari sesuatu yang mungkin bisa diambil dari sini.Akan tetapi, tanpa Titi ketahui kalau Tari yang duduk di luar warung sudah menyadari niat buruk dirinya. Dari itu, Tari segera bangkit dari duduknya, kemudian melenggang ke hadapan Titi, berusaha menghentikan pergerakan Ibu mertuanya."Minggir, Tari! Apa yang kamu lakukan di depan sana," sentak Titi, tetapi tidak di hiraukan oleh Tari. Perempuan itu malah berpura-pura tuli sambil memilih beberapa sayuran, ketika Titi tidak henti-hentinya berteriak di samping telinga. "S*al*n! Minggir, Tari." Titi mendorong tubuh Tari dengan cukup kasar, hingga pinggangnya sedikit mengenai ujung meja.Tari meringis selama beberapa saat, tetapi tidak di hiraukan oleh Titi. Melihat hal t
"Tidak!" sahut Bu Nurul dengan cepat."Oh, iya, kapan Ibu pulang dari rumah saya?"Bu Salma yang ada di samping Nita langsung membulatkan mata, kala mendengar pertanyaan yang baru saja Nita lontarkan.Tidak Bu Salma duga, kalau sebelum ke sini, Bu Nurul lebih dulu ke rumah Nita dan Bu Salma yakin, pasti ada yang tidak beres di sini."Lah, Nurul dari rumahmu, Nita?""Iya, Bu. Bu Nurul dari rumah saya, kebetulan Ibu dan Mas Martin pun ada di sana."Sudah Salma duga, kalau ada yang tidak beres di sini. Semua juga tahu, kalau Nurul adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Bu Titi--mertua Nita.Di sini Salma yakin, kalau Titi dan Nurul sengaja merencanakan ini semua untuk menjelek-jelekkan Nita di depan orang-orang."Ah, pantas saja! Sekarang aku mengerti semuanya, Nita," seru Bu Salma sambil melayangkan tatapan tajam ke arah Bu Nurul yang tampak kikuk."Mengerti tentang apa, Bu?""Kalau Nurul dan Bu Titi membuat rencana untuk menjelekkanmu di hadapan orang-orang.""Apa?!" pekik Ni
"Eh, Bu Salma, say bukan biang gosip, ya! Tetapi, saya ceritakan semua yang ada. Ini sesuai fakta," sergah Bu Nurul, tidak terima dengan tuduhan yang Bu Salma lontarkan padanya.Bu Salma hanya mendelik, dia tahu betul kalau Bu Nurul pasti tidak akan terima dengan tuduhannya.Wanita itu memang tidak bisa berkaca sedikitpun, padahal jelas-jelas dia menyebarkan gosip yang tidak-tidak tentang Nita."Capek saya ngomong sama orang kek kamu, tuh. Hobinya jelek-jelekin orang saja, gak pandang bulu, keluarga dekat sana suka kena imbasnya."Sontak, semua orang yang ada di warung Bu Ainun pun saling berbisik satu sama lain, membuat Bu Nurul menoleh beberapa kali.Akan tetapi, tidak seorangpun hiraukan dan semua orang yang ada di sana pun tahu, kalau Bu Salma dan Bu Nurul bisa di bilang adalah saudara.Hubungan keluarga keduanya bisa di bilang cukup dekat, hanya saja memang mereka tidak akur, dikarenakan Bu Nurul sering sekali menyebar gosip ataupun membuka aib tentang keluarga orang lain, termas
"I-Ibu, sudah sadar?" bisik Martin sambil memindai seisi ruangan, takut tiba-tiba ada orang yang datang."Dari tadi aku sudah sadar, hanya saja aku tetap berpura-pura masih tidak sadarkan diri," balas Titi dengan nada bicara yang tidak kalah pelan."Ah, Ibu membuatku khawatir."Titi memegang sedikit kepala bagian belakangnya, dia meringis, ketika secara tidak sengaja memegang lukanya."Ibu, harusnya lebih hati-hati lagi," sambung Martin."Ke mana Fahmi dan Nita?""Mereka ada di dapur, kamu tahu tidak, Titi, kalau Fahmi dan Nita tengah bertengkar hebat, benar, 'kan, Martin?" ucap Bu Nurul sambil menoleh ke arah Martin, membuat pria langsung menghela napas panjang. Martin bukannya tidak ingin memberitahukan Ibunya tentang rencana yang telah dia susun, hanya saja melihat kondisi Ibunya yang masih kurang baik, jadinya Martin segera mengurungkan niatnya.Akan tetapi, ternyata Bu Nurul lebih dulu memberitahukannya pada Ibunya, tanpa meminta ijin padanya terlebih dahulu.Tentu saja, hal itu
"Kenapa berpikir seperti itu? A-aku benar-benar tidak memiliki hubungan dengan siapapun, apalagi sampai melakukan hal yang kamu pikirkan saat ini, Nita."Fahmi berusaha menjelaskan semuanya pada Nita. Dia tidak ingin, kalau perempuan itu sampai salah paham terus padanya.Padahal, memang benar semua yang dia katakan, kalau dirinya tidak memiliki hubungan apapun dengan siapapun di luar sana."Sudahlah, Mas, kamu diam saja. Aku tidak percaya lagi padamu.""Nita ...," lirih Fahmi dengan penuh penekanan. Jujur saja, Fahmi sedikit kesal dengan Nita, dia bahkan begitu kecewa dengan istrinya, kenapa di saat seperti ini dia malah tidak mempercayai dirinya.Padahal, selama ini Fahmi sudah berusaha selalu percaya padanya, di saat mereka berdua saling berjauhan. Bahkan, dia cukup menjaga komunikasi dengan Nita, sesibuk apapun dirinya."Aku malas berbicara denganmu, Mas. Jangan ganggu aku," balas Nita tanpa menoleh sedikitpun. Dia masih berfokus memotong beberapa sayuran.Padahal sebenarnya, piki
"Tidak ada," jawab Nita dengan singkat, kemudian melangkah keluar warung.Tidak ingin kehilangan jejak Nita, sekaligus diselimuti rasa penasaran yang tinggi, Fahmi segera mengikuti langkah Nita, dia ingin menanyakan berbagai hal pada istrinya tersebut."Saya permisi dulu, Bu," ucap Fahmi kala melewati tubuh Bu Zainal."Iya, Fahmi."Sekilas, Fahmi dapat menangkap adanya raut kekhawatiran yang terpancar di wajah Bu Zainal.Tentu saja, hal itu semakin menguatkan rasa penasaran yang sudah tertanam di dalam dirinya."Nita!" panggil Fahmi, ketika melihat istrinya berjalan ke kebun belakang rumahnya.Nita menoleh selama beberapa detik, kemudian kembali melanjutkan langkahnya."Ada apa, sih, Mas!""Nita, tolong jelaskan dulu pada Mas. Kamu, Mbak Tari dan Bu Zainal sedang membicarakan apa? Sebenarnya apa yang kalian bahas tadi?""Itu bukan urusan kamu, Mas! Lagipula, jangan pernah ikut campur dalam masalahku. Aku memang mau ikut denganmu, tetapi jangan harap kalau aku percaya dan sudah memaafk
Tidak ingin Fahmi membawa keluarga kecil ke kota tempatnya bekerja, Titi dan Martin sama-sama berpikir keras, mencari cara agar bisa menggagalkan rencana Fahmi.Titi dan Martin tidak ingin, jika uang yang selama ini mereka nikmati, hilang seketika hanya gara-gara Nita tidak tinggal dengan mereka lagi.Bugh!"Ibu!" pekik Martin, menarik perhatian semua orang termasuk Nita dan Tari. "Ya, ampun, Ibu, kenapa?" Martin berusaha mengangkat tubuh Ibunya yang tergeletak di tanah. Entah sengaja atau tidak, tetapi kepala Titi mengenai sebuah batu, hingga perempuan itu benar-benar kehilangan kesadaran.Semua orang begitu panik, termasuk Fahmi yang langsung berlari, menghampiri Ibunya. Fahmi dan Martin segera mengangkat tubuh Titi. Di saat itu pula, mereka melihat ada bercak darah yang tersisa di atas batu."Ya Tuhan, kenapa bisa seperti ini," raung Martin. Padahal sebenarnya dia yakin, kalau awalnya Ibunya tersebut hanya bersandiwara.Akan tetapi, sepertinya Ibunya tersebut tidak menyadari adan
"Halo, ada apa?" tanya Om Herman melalui sambungan telepon. Saat ini, dia sedang bersama Tari, hendak mengantar perempuan itu menuju membeli sayuran ke pasar."Saya dengar, kalau Pak Fahmi hendak membawa Bu Nita ke kotanya tempat bekerja dan di sini tengah terjadi keributan, karena Ibu mertua dan Kakak Pak Fahmi tidak menginginkannya.""Tapi, keadaan Bu Nita baik-baik saja, 'kan?"Mendengar nama disebut, Tari langsung menoleh, menatap Om Herman dengan cukup intens, menelisik ekspresi wajah pria itu.Bahkan, Nita sampai mengigit bibir bawahnya kuat-kuat sambil meremas tangannya dengan kasar, dia takut terjadi hal buruk pada Nita. Namun, dalam hati Nita tidak henti-hentinya merapalkan doa, memohon pada sang maha kuasa, agar Nita selalu berada dalam keadaan yang baik."Keadaan Bu Nita baik-baik saja, malahan Pak Martin yang terluka, karena terkena pukulan Pak Fahmi.""Saya tidak peduli dengan dia, tetapi yang terpenting sekarang adalah kondisi, Bu Nita.""Beliau baik-baik saja. Bapak, ti
Lagi-lagi Nita menyeringai, bahkan kedua tangannya ikut terlipat di dada."Mungkin Ibu berpikir, kalau aku tidak mengetahui semuanya hanya karena diam terus, padahal sebenarnya aku tahu, apa yang sering kalian lakukan pada Mbak Tari."Titi tampak begitu gelagapan, wajahnya pucat pasi dengan bibir memutih, layaknya mayat, belum lagi bola mata perempuan itu bergerak dengan cepat.Semakin membuktikan, kalau Titi sedang gugup, takut kalau Fahmi lebih mempercayai istrinya dibandingkan dengan dirinya."Fahmi, li-lihatlah perempuan yang kamu banggakan itu, dia malah menuduh Ibu melakukan hal yang tidak-tidak," tukas Titi dengan begitu gelagapan. "Dia berani menjelekkan Ibu, Nak.""Aku lebih mempercayai istriku dibandingkan Ibu!" hardik Fahmi, membuat Titi langsung mengerutkan bibir.Meskipun tidak sepenuhnya sedih, Titi kembali bersandiwara. Dia berpura-pura jatuh ke atas tanah sambil mencengkram dadanya kuat-kuat, tidak lama kemudian Titi terisak, mengeluarkan air mata palsunya.Fahmi mengh
"Kapan kamu pulang? Kenapa gak kabari Ibu dulu."Dari pertanyaan yang baru saja Titi lontarkan, Nita dapat menangkap, kalau perempuan itu begitu tidak suka atas kepulangan anaknya.Tidak seperti orangtua pada umumnya yang justru akan senang, kalau anaknya baru saja pulang dari perantauan."Tadi, Bu. Lagipula aku tidak mengabari siapapun, Nita saja tidak tahu, kalau aku akan pulang."Titi berdecak, dia menatap sinis ke arah Nita, tetapi sama sekali tidak Nita hiraukan. Dia begitu malas, jika harus berhadapan dengan mertua seperti Titi. Sudah pasti, Titi akan berakting sebisanya, untuk meyakinkan Fahmi."Ngapain si Nita nangis?"Mendengar pertanyaannya Titi, Nita langsung mengusap pipi dan matanya dengan kasar."Aku gak nangis.""Ya, sudah, lagipula Ibu tidak peduli." Titi kemudian beralih menatap Fahmi. "Kamu kalau pulang harusnya kabari Ibu dulu, nanti Ibu minta belikan oleh-oleh. Lagipula untuk apa kamu pulang, sudah diam saja di kotamu."Fahmi sebenarnya cukup kecewa dengan respon