Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 128 – Kearifan dari Padang Tandus yang Menjadi Ladang Kehidupan

Share

Bab 128 – Kearifan dari Padang Tandus yang Menjadi Ladang Kehidupan

Author: Oceania
last update Last Updated: 2025-04-21 07:19:16

Lintang melangkah di sepanjang jalan setapak berdebu di wilayah yang dulu dikenal sebagai padang tandus, yang kini perlahan berubah wujud menjadi lahan yang subur. Di balik keremangan senja, udara terasa asing, sejuk, dan penuh dengan harapan baru. Perjalanannya ke Tiongkok telah membawanya jauh dari Buton, namun dalam setiap langkahnya, ada kerinduan akan tanah kelahirannya yang selalu hidup dalam doa dan cerita. Namun hari itu, ia terpesona oleh pemandangan yang luar biasa: lahan tandus yang pernah menghitam, kini dipenuhi tanaman hijau yang berkilau di bawah sinar mentari, seolah-olah masa lalu yang kelam telah disulam dengan benih-benih harapan.

Di tengah hamparan ladang yang telah berubah, ia mendapati seorang tokoh petani tua, Lao Chen, yang menjadi legenda di daerah itu. Dikatakan bahwa Lao Chen pernah mewarisi sebuah daerah yang tak berdaya, di mana tanahnya retak-retak dan angin pun hanya membawa debu. Namun, dengan tekad, ilmu, dan kearifan yang telah diwariskan ole

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 129 – Harmoni dari Gurun yang Terlahir Kembali

    Di ujung dunia, di mana gurun yang dahulu kering dan tandus kini telah berubah wajah oleh tangan teknologi dan kearifan, Lintang melangkah perlahan menapaki pasir yang hangat. Gurun itu, yang pernah terkenal dengan kehampaan dan deru angin yang menusuk, kini berubah menjadi ladang ilmu dan harapan. Perubahan itu bukanlah hasil dari sihir, melainkan dari upaya sekelompok ilmuwan dan guru kebijaksanaan yang bekerja sama dengan masyarakat lokal di bawah bimbingan Tiongkok, yang telah menciptakan inovasi yang menghormati unsur paling penting dalam kehidupan: air.Lintang berjalan menyusuri dataran yang kini dihiasi barisan panel surya, yang berkilau di bawah sinar matahari bagai cermin masa depan. Tiap panel, meski tampak dingin dan mekanis, menyerap energi matahari dan mengubahnya menjadi aliran hijau yang mendukung sistem pangan loka

    Last Updated : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 130 – Di Bawah Langit Peradaban: Dialog dengan Petinggi China

    Langit Beijing sore itu menebar semburat jingga yang berbaur dengan kelabu awan, menciptakan panorama yang seakan ditulis oleh pena dewa zaman. Di antara gedung-gedung pencakar langit yang memamerkan kemegahan modernitas, Lintang, sang perantau yang mengemban semangat Madrasah Langit, melangkah dengan hati penuh harapan menuju sebuah gedung yang menyimpan rahasia kebijaksanaan abad. Di sana, ia dijadwalkan bertemu dengan seorang petinggi China, seorang pemimpin yang telah turut memandu negara itu mengukir peradaban dalam kecepatan dan ketangguhan—seorang yang memahami betul bagaimana tradisi diadaptasi dan diserap dalam pergeseran zaman untuk mencapai kemajuan yang tak terbayangkan.Saat Lintang melangkah memasuki aula megah berlantai marmer dan pernis mengkilap, ia disambut oleh tatapan tenang dan penuh pengertian dari Komisaris Li Wei

    Last Updated : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 131 – Dalam Gerak Abadi: Kebijaksanaan Shaolin dan Jembatan Peradaban

    Lintang melangkah ke kaki pegunungan Songshan, di mana embun pagi menyatu dengan udara dingin yang mengandung aroma hutan pinus dan batu-batu tua. Di sinilah, di tengah kesunyian yang hampir sakral, ia memulai perjalanan baru: belajar tentang kebijaksanaan Shaolin—seni bela diri dan filosofi yang telah menjadi akar peradaban China modern. Perjalanan ini, baginya, adalah pencarian yang melampaui sekadar teknik gerak, melainkan suatu upaya mendalami ajaran luhur yang menghubungkan dunia, sebagaimana Jalur Sutra yang pernah mengukir sejarah melalui perdagangan dan pertukaran budaya antara lima benua.Sesampainya di sebuah biara Shaolin yang terpencil, di antara tebing-tebing terjal dan hutan yang berbisik rindu pada masa lalu, Lintang disambut oleh seorang guru tua bernama Master Xu, sosok yang dihormati karena kemampuannya mengolah gerakan tubuh menjadi meditasi hidup. Master Xu mengenakan pakaian sederhana dari kain katun, dengan rambut dan

    Last Updated : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 132 – Katedral Digital di Lembah Cahaya

    Langit Beijing malam itu bersinar dengan ribuan lampu neon yang bersaing dengan gemerlap bintang, menciptakan kanvas urban yang menandakan kebangkitan peradaban baru. Di tengah kota yang tak pernah tidur, Lintang melangkah ke sebuah kawasan futuristik—sebuah lembah yang oleh penduduk setempat dijuluki “Silicon Valley Tiongkok.” Di sanalah, teknologi dan kebijaksanaan tradisional berpadu dalam harmoni yang mengejutkan, mengukir puisi-puisi modern dalam bahasa digital.Begitu memasuki kawasan itu, Lintang takjub dengan penampakan gedung-gedung kaca tinggi yang berkilau, dikelilingi taman-taman vertikal yang memancarkan kehijauan di tengah beton. Setiap sudut tampak seperti pameran simfoni inovasi, di mana arsitektur mutakhir menyatu dengan alam, seolah-olah para perancangnya berusaha mengingatkan dunia bahwa teknologi tak selalu harus mengorbankan nilai kehidupan.Di ruang publik yang luas, di antara patung-patung digital dan instalasi seni yang diprogr

    Last Updated : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 133 – Hembusan Gingseng dan Simfoni Jeju

    Matahari terbenam di Jeju selalu memiliki cara tersendiri untuk mengingatkan Lintang akan akar dan asal-usulnya. Di antara derai ombak yang menyentuh pantai berkerikil dan langit yang memercikkan warna jingga kemerahan, Lintang terhuyung-huyung di antara bayang-bayang kenangan. Rindu kepada ibunya, Sinta, dan ayahnya, Jun Hoo, selalu menjadi alunan yang tak terpisahkan dalam jiwanya. Namun, takdir telah selalu berpaut pada satu suara lembut dari neneknya, Nyonya Choi, yang memanggilnya kembali ke Jeju untuk memahami kembali warisan dan filosofi yang telah mengukir peradaban keluarga dan bangsanya.Di Jeju, Lintang tiba di sebuah desa kecil yang masih menjunjung tinggi tradisi, dengan semangat yang tampak hidup dalam setiap sudut jalanan yang berliku. Udara di sini terasa lebih segar, seolah membawa pesan bahwa setiap tarikan nafas adalah doa yang disampaikan oleh alam. Di pasar tradisional yang ramai, ia menyaksikan pedagang yang menata hasil bumi, diiringi oleh senyum tulus

    Last Updated : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 134 – Melodi Desyhuang, Suara Damai di Negeri Terpecah

    Senja di Taiwan adalah suatu lukisan hidup yang memukau, di mana langit memerah bagai benang sutra yang diatur oleh tangan para dewa. Di sudut sebuah kafe kecil di Taipei, Lintang duduk menyendiri, mendengarkan lagu-lagu Desyhuang yang menggema lembut melalui headphone-nya. Nada-nada musik itu mengalir, bagaikan aliran sungai yang mengalir dari masa lalu, membawa pesan-pesan rahasia tentang cinta, pengorbanan, dan perjanjian yang telah ditorehkan di antara keberagaman budaya.Dalam sekejap, irama melankolis Desyhuang itu membangkitkan sebuah kerinduan mendalam dalam jiwa Lintang—sebuah rindu kepada tanah yang dahulu menyatu dalam harmoni, namun kini terpecah oleh dua kekuatan ekonomi besar yang saling bersaing. Ia terpaut antara bayang-bayang kekuatan China yang modern dan ambisi global yang sering kali mengabaikan kehalusan budaya, dan bayang-bayang masa depan yang ia impikan untuk pulau kecil yang mempesona ini. Lintang menyadari, bahwa Taiwan adalah tanah bag

    Last Updated : 2025-04-22
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 135 – Pelajaran dari Yuanmingyuan dan Kebanggaan yang Terlahir Kembali

    Senja menyaput langit Jakarta dengan semburat jingga lembut kala Lintang melangkah turun dari pesawat. Di ujung pintu kedatangan, berdiri dua sosok yang paling ia rindukan—Sinta, ibunya, dengan senyum hangat yang meneduhkan; dan Jun Hoo, ayahnya, tegap namun lembut menatap putrinya dengan mata berbinar bangga. Tanpa kata, mereka berpelukan erat. Hanya deru mesin pesawat yang menjadi saksi, sementara hati mereka bergetar dalam kesunyian yang penuh makna.“Anakku…” suara Sinta bergetar, “selamat pulang.”“Ka…aku belajar begitu banyak, Bu, Pa,” ujar Lintang, menahan air mata haru. Ia merasakan setiap inci pelukan itu menghadirkan kekuatan baru dalam dirinya, selaras dengan kebijaksanaan yang dibawanya dari perjalanan panjang ke tanah peradaban.Mereka beranjak menuju mobil, menembus lalu lintas kota yang berdenyut. Sepanjang perjalanan, Lintang mulai bercerita, suaranya nyaris berbisik agar setiap kata dapat diresapi. Ia mengisahkan kunjungannya ke Yuanmingyuan—Old

    Last Updated : 2025-04-22
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

    Last Updated : 2025-04-22

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 135 – Pelajaran dari Yuanmingyuan dan Kebanggaan yang Terlahir Kembali

    Senja menyaput langit Jakarta dengan semburat jingga lembut kala Lintang melangkah turun dari pesawat. Di ujung pintu kedatangan, berdiri dua sosok yang paling ia rindukan—Sinta, ibunya, dengan senyum hangat yang meneduhkan; dan Jun Hoo, ayahnya, tegap namun lembut menatap putrinya dengan mata berbinar bangga. Tanpa kata, mereka berpelukan erat. Hanya deru mesin pesawat yang menjadi saksi, sementara hati mereka bergetar dalam kesunyian yang penuh makna.“Anakku…” suara Sinta bergetar, “selamat pulang.”“Ka…aku belajar begitu banyak, Bu, Pa,” ujar Lintang, menahan air mata haru. Ia merasakan setiap inci pelukan itu menghadirkan kekuatan baru dalam dirinya, selaras dengan kebijaksanaan yang dibawanya dari perjalanan panjang ke tanah peradaban.Mereka beranjak menuju mobil, menembus lalu lintas kota yang berdenyut. Sepanjang perjalanan, Lintang mulai bercerita, suaranya nyaris berbisik agar setiap kata dapat diresapi. Ia mengisahkan kunjungannya ke Yuanmingyuan—Old

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 134 – Melodi Desyhuang, Suara Damai di Negeri Terpecah

    Senja di Taiwan adalah suatu lukisan hidup yang memukau, di mana langit memerah bagai benang sutra yang diatur oleh tangan para dewa. Di sudut sebuah kafe kecil di Taipei, Lintang duduk menyendiri, mendengarkan lagu-lagu Desyhuang yang menggema lembut melalui headphone-nya. Nada-nada musik itu mengalir, bagaikan aliran sungai yang mengalir dari masa lalu, membawa pesan-pesan rahasia tentang cinta, pengorbanan, dan perjanjian yang telah ditorehkan di antara keberagaman budaya.Dalam sekejap, irama melankolis Desyhuang itu membangkitkan sebuah kerinduan mendalam dalam jiwa Lintang—sebuah rindu kepada tanah yang dahulu menyatu dalam harmoni, namun kini terpecah oleh dua kekuatan ekonomi besar yang saling bersaing. Ia terpaut antara bayang-bayang kekuatan China yang modern dan ambisi global yang sering kali mengabaikan kehalusan budaya, dan bayang-bayang masa depan yang ia impikan untuk pulau kecil yang mempesona ini. Lintang menyadari, bahwa Taiwan adalah tanah bag

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status