Hening. Marni masih menunggu dalam diam. "Jadi bagaimana ini, Pak?" tanya Marni setelah beberapa menit tak menemukan jawaban. "Apa Ibu punya bukti kalau Inez memang meminjam uang pada Ibu?" tanya Rio akhirnya. Ia tak ingin asal mempercayai orang yang bahkan baru pertama kali berbicara dengannya. "Buktinya ada di hp saya, Pak. Hp-nya ketinggalan di rumah," ucap perempuan itu beralasan. "Baiklah, sebaiknya kita tunggu Inez pulang, Bu. Biar sama-sama enak." "Kenapa nggak langsung bayar aja, Pak. Saya udah kasih tau Ibu Inez tadi, kalau uang itu mau kupakai buat menjenguk ibuku besok. Tapi, Ibu Ines maksa, katanya malam ini sudah pasti dibayar," keluh perempuan itu. Rio mengusap kasar wajahnya. Belum selesai urusan perutnya yang kian keroncongan, ditambah lagi ulah istrinya itu yang membuatnya sakit kepala. "Yang minjam uang ke Ibu siapa?" tanya Rio dengan suara mulai meninggi. "I—Ibu Ines, Pak," jawabnya tergagap. Ia tak tahu jika tetangga barunya itu segalak ini. "Ya, sudah, ka
"Ibu Hana?" tanya perempuan cantik dengan rambut ikal mayang itu dengan ramah. Fera Marinka, nama pada name tag milik perempuan itu. "Iya, Bu," jawab Hana dengan hal serupa. "Silakan masuk saja, Bu. Ibu sudah ditunggu sejak tadi. Itu ruangan Pak Hakim," ucap Fera. Kelima jarinya terarah ke ruangan dengan pintu tertutup tak jauh dari mereka bersiri. "Terima kasih, Bu," balas Hana. Hana membalikkan tubuhnya ke arah yang di tuju. Membaca plang nama di atas kusen pintu. Hakim Akbari, manager. Hana sedikit tersentak. Namun, sesaat kemudian tersenyum bangga. Bangga karena mantan rekan kerjanya itu tak pernah berubah, meski di kantor jabatannya sekeren ini. Tok … tok … tok. Hana mengetuk pintu, tak lama setelahnya terdengar seruan dari dalam. "Masuk!" Tangannya mendorong pintu kaca itu hingga terbuka lebar. Nampak wajah Hakim yang kini nampak serius memandangi layar PC di hadapannya. Hana tak bersuara, dibiarkannya laki-laki itu menoleh dengan sendirinya, karena khawatir Hakim aka
"Oh, ya? Anak Papa memang hebat. Terus, tadi bekalnya dimakan habis nggak?" tanya Hakim dengan senyum lebar. Wajah anak perempuan berusia 9 tahun itu berubah sendu. "Roti lapis buatan Papa rasanya nggak sama kayak buatan Mama," ucapnya dengan kepala tertunduk. Hakim mengangkat dahu mungil gadis kecil itu. "Nanti, Papa akan belajar lagi biar bisa bikin roti lapis seperti buatan Mama, Sayang," ucap Hakim berusaha menghibur. "Papa serius?" tanyanya antusias. "Iya, Sayang. Nanti Shanum temani Papa, ya, kalau Papa sudah pulang kerja. Oh, ya, ini Papa kenalin sama temen Papa," ucap Hakim seraya bangkit. "Ini namanya Tante Hana, Sayang," ucap Hakim memperkenalkan. "Shanum, Tante." Shanum menyalami tangan Hana. Nampak sekali ia sangat mudah bergaul. Tidak seperti anak-anaknya yang jauh lebih pendiam. "Panggil Tante Hana, ya. Oh, ya, Tante punya anak seumuran Shanum juga sekolah di sini, loh," ucap Hana sambil mengusap pelan pucuk kepala Shanum. Ekor mata Hana menangkap bayangan yang
Rio mematung di tempatnya berdiri. Berniat menunggu Hana kembali ke sini. Ia memilih memesan makan siang di salah satu meja pelanggan. Jika saja Hana masih sah menjadi istrinya, tak akan ia izinkan perempuan itu untuk melakukan hal seperti sekarang dengan laki-laki mana pun. Rio hanya mampu mengeram kesal ketika tatapan matanya tertuju pada mereka. Menangkap pemandangan sebuah keluarga yang nampak begitu hangat. Hakim berkali-kali melirik ke arah Rio yang masih setia menunggu Hana. Ia tahu jika itu adalah suami Hana. Namun, sedikit heran karena Rio tak langsung ke sini untuk makan bersama. Sepanjang acara makan siang, Hakim dilanda banyak pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Hana dan laki-laki di ujung sana. Hatinya tiba-tiba merasa tak nyaman. Lebih lagi perubahan wajah Hana sejak Rio datang ke tempat ini. "Kenapa suamimu nggak diajak makan bersama di sini? Aku jadi nggak enak, Na," ucap Hakim dengan suara pelan setengah berbisik. Hakim masih sangat kenal wajah Rio, m
Hana yang memang duduk membelakangi Rio sama sekali tak berniat menoleh. Hati yang terlanjur sakit membuat Hana sama sekali tak memiliki rasa yang tersisa. "Memberi kesempatan kedua hanya akan menjadi sebuah sesal," lirih Hana. Hakim mulai paham sekarang."Jika butuh teman bercerita, kau bisa membaginya denganku, Na. Anggap saja kita masih sama seperti dulu. Kurasa kau pun paham." Hakim berucap pelan. Hana menyedot es teh di gelasnya, sekedar menyejukkan kerongkongan yang tiba-tiba terasa kering. "Menjadikan lawan jenis sebagai teman curhat adalah sebuah kesalahan. Aku tak berniat membuat Abang tak nyaman, hanya saja, aku tak ingin kesalahan yang dilakukan mantan suamiku akan terjadi pula dengan laki-laki bergelar suami yang lain. Semua perempuan sama, tak ingin laki-lakinya memiliki teman perempuan selebih dari rekan kerja, dan aku menganggap Abang sekarang bukanlah teman seperti dulu, melainkan rekan kerja," jelas Hana panjang lebar dengan suara pelan. Namun, terdengar sangat te
Harapan seolah kandas. Rio merasakan desir tak nyaman di hatinya. "Bisakah kita cuma bicara empat mata, Na?" tanya Rio penuh harap. Hakim nampak serba salah. Tangannya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal. "Jika mau berbicara katakan saja di sini sekarang," ucap Hana masih dengan nada dingin. Matanya mengarah pada Hakim dengan tatapan tak bisa ditebak. Rio akhirnya duduk. Berbicara di sini sedikit lebih baik, ketimbang dirinya tak sama sekali dapat berbicara dengan mantan istrinya itu. Ia duduk di kursi antara Hana dan Hakim. Suasana seketika berubah canggung. Rio merogoh saku celananya di mana ia menaruh sesuatu sejak semalam. "Tolong, Na, tolong terima ini," ucap laki-laki itu dengan penuh harap. Ia mengangsurkan sebuah amplop coklat ke atas meja di depan Hana. Hana bergeming. Hakim tak jauh berbeda. Ia paham jika Hana secara tak langsung meminta dirinya hanya sebagai pendengar di sini, tidak untuk ikut campur. "Lima bulan kau tak pernah menampakkan batang hidungmu d
Hana menggeleng cepat. "Hanya dengan anak-anak saja." Wajah Rio kembali berubah lesu."Jangan pernah berharap sesuatu yang pecah berkeping akan kembali utuh. Aku bahkan akan menikah dua bulan lagi," ucap Hana sambil menatap lekat wajah Hakim.Laki-laki itu mengangguk pelan. Hanya ini yang dapat ia lakukan untuk membantu Hana saat ini. "Aku yakin semua belum terlambat, Na. Kita bisa memperbaiki semua ini," ucap Rio tak tahu malu. "Apanya yang belum terlambat? Kami bahkan sudah merancang hari pernikahan," sela Hakim dengan mimik wajah meyakinkan. Rio menatap kesal pada laki-laki tampan dengan dagu belah itu. "Aku sedang berbicara dengan Hana bukan denganmu," sergah Rio. Tatapan matanya menyiratkan kebencian. "Bang Hakim benar, kami bahkan sudah membicarakan hari pernikahan dan kedatanganmu hanyalah merusak kebahagiaan kami." "Jangan membohongiku Hana! Berapa kau membayar bajing*n ini untuk melakukan semuanya." Rio berucap dengan gigi bergemeretak. Suaranya terdengan pelan. Namun
"Kenapa, sih, nggak belajar masak sama mamanya Ira, Pa? Pasti Papa masaknya nggak gosong kayak gini," gerutu Shanum dengan bibir mengerucut. Laki-laki bertubuh tinggi itu kini berjongkok. Tangannya membingkai wajah mungil putri semata wayangnya itu. Pagi ini Shanum minta dibuatkan burger. Karena sibuk menyiapkan perlengkapan lainnya, akhirnya roti yang Hakim bakar di atas wajan sedikit menghitam. "Kan, nggak enak, Sha, kalau Papa belajar sama Tante Hana," ucap Hakim beralasan. "Kenapa? Kan, Tante Hana baik," ucap Shanum polos. "Tante Hana perempuan, Sayang, sedangkan Papa laki-laki. Nggak enak, kan, kalau belajar masak sama Tante Hana. Mendingan nanti kita cari yang sama-sama laki-laki saja, ya," bujuk Hakim. "Tapi nanti masakannya bakal beda," protes Shanum. "Ya, kita cari yang masakannya enak dong. Sekarang, Papa bakar lagi rotinya, ya. Shanum mandi dulu nanti mau ke sekolah," bujuk Hakim. "Tapi, nanti siang makan di tempat Tante Hana, ya." Ia mengajukan syarat. Hakim berpi
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent