Kepala dengan rambut kusut-masai itu kian tertunduk. Inez tak memiliki keberanian untuk melawan. "Kau tau, dua petak tanah milik kita bahkan telah kujual demi memenuhi gaya hidupmu yang sangat berlebihan itu." Inez tersentak. Ia bahkan baru mendengar hal mengejutkan itu barusan. Perlahan wajah itu terangkat. Wajah dengan tanda lima jari di kanan kirinya yang masih belum hilang. "Maksud, Abang?" tanya Inez memberanikan diri. Wajahnya nampak menghiba. Namun, sama sekali tak ada iba di hati laki-laki itu. Marwan terlampau lelah, meski ia sendiri belum sepenuhnya yakin dengan jalannya ini. "Apa kau masih kurang yakin? Hitung saja berapa uang yang kau minta setiap bulannya padaku, hitung juga berapa penghasilanku. Apa kau pikir itu imbang?" Marwan membuang pandangan ke arah jendela. "Tapi, setidaknya Abang rembukan dulu kalau mau menjualnya." Inez menahan kesal. "Apa kau mau menurunkan gaya hidupmu jika aku menceritakannya padamu lebih dulu?" tanya Marwan sinis. "Jangankan untuk me
Setengah jam ia menunggu. Tak ada suara, hanya gemerisik alat-alat bergesekan dari dalam kamar ulah tangan Inez yang terdengar hingga ke luar. Marwan membisu sambil berbaring di sofa ruang keluarga. Satu tangannya ia letakkan di atas kening, sedang tangan lainnya diletakkannya di atas dada. Ingin rasanya ia terlelap dalam alam bawah sadar. Otak dan hatinya terlalu lelah hari ini. Namun, upayanya gagal. Hingga satu jam emudian ia tetap terjaga, terlebih ketika telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat. Inez berjalan perlahan dengan koper di tangannya. Wajah perempuan itu masih terus ditekuk. Marwan berjalan mengambil kunci mobil yang ia letakkan di lemari TV, kemudian berlalu keluar menuju garasi di mana mobil satu-satunya terparkir di sana. Mobil yang dulu pernah berniat ia jual demi mengurangi operasional. Namun, Inez melarangnya dengan alasan ia akan malu jika bertemu dengan teman-temannya yang jauh lebih sukses daripadanya. Marwan masuk tanpa peduli Inez kesusahan memas
Inez kian membeku. "Jawab!" bentak laki-laki itu dengan tatapan nyalang. Yusra beberapa kali mencubit tubuh Inez dengan sangat keras, hingga Inez mengaduh kesakitan. Gigi perempuan berusia 55 tahun itu bergemeretak. "Tak bisakah kau melihat Ibu dan ayahmu ini tenang, Nez? Apa kau ingin kami mati berdiri karena ulahmu?" tanya Burhan setengah berteriak. Telunjuknya yang kini gemetar terarah tepat di wajah sang anak. Marwan tak sampai hati mendengar kalimat barusan. Tapi, ia mesti bagaimana? Bertahan pun percuma jika hati Inez untuk Rio. "Sudah, Yah, Bu. Lebih baik sekarang Ayah dan Ibu bertenang terlebih dahulu. Maafkan Marwan karena nggak bisa menjaga amanah Ayah dan Ibu lagi," ucap Marwan. Tatapannya luruh pada taplak meja berenda yang menyentuh kakinya. "Perempen seperti ini memang pantas diberi pelajaran!" ucap Yusra sambil menampar pipi sang anak. Air mata tak terbendung lagi, hingga akhirnya tumpah di pipi tuanya. "Kau tak pernah bersyukur bersuamikan laki-laki yang tak ban
"Oh, jadi sekarang udah pinter bandingin aku dengan si Hana cupu itu?" tanya Inez dengan alis terangkat. Rasanya begitu singkat kebahagiaan rumah tangga mereka. Sebulan lalu mereka menikah, kini mulai terasa membosankan. "Kau pikir saja sendiri. Hana dengan 3 orang anak, 2 di antaranya sudah sekolah. Ia bahkan harus membeli anak bungsunya susu berkilo-kilo dalam setiap bulan." Rio tak mau kalah. "Ya, karena Hana rela wajahnya lusuh karena tak tersentuh perawatan. Aku, mana mau? Kau sendiri yang mengeluh Hana tak sepintar aku dalam merawat penampilan, giliran dimintain duit aja, baru muji-muji mantan istrimu yang buluk itu." Inez mendengkus kesal. "Kau saja yang berlebihan. Kau pikir gajiku 100 juta perbulan?" Suara Rio kian meninggi. "Sudahlah, kalau pelit, ya, pelit aja, nggak perlu menceramahiku." Inez beranjak. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kala berjalan menuju kamar. Brak! Pintu dibantingnya dengan kuat, membuat Rio tersentak. "Das*r perempuan gil*!" umpat Rio
"Bang Hakim …," ucap Hana dengan dahi berkerut. Ibu jari kanannya terarah pada laki-laki itu. "Hana Humayra," jawab laki-laki itu sambil terkekeh. Hakim adalah rekan kerjanya di kantor tour dan travel dulu. Tempat kerjanya saat sebelum menikah. "Masih kerja di tempat lama?" tanya Hana. "Nggak, Na. Setahun setelah kamu berhenti kerja, aku pun sama, sekarang kantorku dekat-dekat sini.""Kita bicara di sana, Bang," ucap Hana sambil menunjuk salah satu meja kosong. "Oke, siap." Tanpa menunggu lebih lama, laki-laki itu berjalan menuju meja yang Hana maksud. Hana mengekor di belakang. "Sukses kamu, Na. Sekarang udah punya usaha sendiri." Hakim berbasa-basi. "Syukurlah, Bang. Meski belum sesukses Abang," balas Hana dengan senyum ramah. "Nggaklah, Na. Oh, ya, nggak nyangka bisa ketemu di sini. Abang kira kamu ikut suami." "Nggak, Bang," jawab Hana singkat. Ia tak ingin memperpanjang pembahasan tentang hal itu. Hakim cukup paham. Ia berpikir mungkin Hana tak ingin membicarakan masal
Hening. Marni masih menunggu dalam diam. "Jadi bagaimana ini, Pak?" tanya Marni setelah beberapa menit tak menemukan jawaban. "Apa Ibu punya bukti kalau Inez memang meminjam uang pada Ibu?" tanya Rio akhirnya. Ia tak ingin asal mempercayai orang yang bahkan baru pertama kali berbicara dengannya. "Buktinya ada di hp saya, Pak. Hp-nya ketinggalan di rumah," ucap perempuan itu beralasan. "Baiklah, sebaiknya kita tunggu Inez pulang, Bu. Biar sama-sama enak." "Kenapa nggak langsung bayar aja, Pak. Saya udah kasih tau Ibu Inez tadi, kalau uang itu mau kupakai buat menjenguk ibuku besok. Tapi, Ibu Ines maksa, katanya malam ini sudah pasti dibayar," keluh perempuan itu. Rio mengusap kasar wajahnya. Belum selesai urusan perutnya yang kian keroncongan, ditambah lagi ulah istrinya itu yang membuatnya sakit kepala. "Yang minjam uang ke Ibu siapa?" tanya Rio dengan suara mulai meninggi. "I—Ibu Ines, Pak," jawabnya tergagap. Ia tak tahu jika tetangga barunya itu segalak ini. "Ya, sudah, ka
"Ibu Hana?" tanya perempuan cantik dengan rambut ikal mayang itu dengan ramah. Fera Marinka, nama pada name tag milik perempuan itu. "Iya, Bu," jawab Hana dengan hal serupa. "Silakan masuk saja, Bu. Ibu sudah ditunggu sejak tadi. Itu ruangan Pak Hakim," ucap Fera. Kelima jarinya terarah ke ruangan dengan pintu tertutup tak jauh dari mereka bersiri. "Terima kasih, Bu," balas Hana. Hana membalikkan tubuhnya ke arah yang di tuju. Membaca plang nama di atas kusen pintu. Hakim Akbari, manager. Hana sedikit tersentak. Namun, sesaat kemudian tersenyum bangga. Bangga karena mantan rekan kerjanya itu tak pernah berubah, meski di kantor jabatannya sekeren ini. Tok … tok … tok. Hana mengetuk pintu, tak lama setelahnya terdengar seruan dari dalam. "Masuk!" Tangannya mendorong pintu kaca itu hingga terbuka lebar. Nampak wajah Hakim yang kini nampak serius memandangi layar PC di hadapannya. Hana tak bersuara, dibiarkannya laki-laki itu menoleh dengan sendirinya, karena khawatir Hakim aka
"Oh, ya? Anak Papa memang hebat. Terus, tadi bekalnya dimakan habis nggak?" tanya Hakim dengan senyum lebar. Wajah anak perempuan berusia 9 tahun itu berubah sendu. "Roti lapis buatan Papa rasanya nggak sama kayak buatan Mama," ucapnya dengan kepala tertunduk. Hakim mengangkat dahu mungil gadis kecil itu. "Nanti, Papa akan belajar lagi biar bisa bikin roti lapis seperti buatan Mama, Sayang," ucap Hakim berusaha menghibur. "Papa serius?" tanyanya antusias. "Iya, Sayang. Nanti Shanum temani Papa, ya, kalau Papa sudah pulang kerja. Oh, ya, ini Papa kenalin sama temen Papa," ucap Hakim seraya bangkit. "Ini namanya Tante Hana, Sayang," ucap Hakim memperkenalkan. "Shanum, Tante." Shanum menyalami tangan Hana. Nampak sekali ia sangat mudah bergaul. Tidak seperti anak-anaknya yang jauh lebih pendiam. "Panggil Tante Hana, ya. Oh, ya, Tante punya anak seumuran Shanum juga sekolah di sini, loh," ucap Hana sambil mengusap pelan pucuk kepala Shanum. Ekor mata Hana menangkap bayangan yang
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent