Ketukan pintu membuatku segera beranjak dari kamar, tak sabar lagi ingin bertemu dengan Nara. Berjalan sedikit berlai menuruni anak tangga.Ternyata Mbok Darmi lebih dulu membukakan pintu, sementara aku berdiri di belakangnya."Assalamualaikum,’’Ah, ternyata umi yang datang bersama Amara."Waalaikumsalam’,’ aku bersama Mbok Darmi bersama menjawab salam umi dan Amara, segera meraih tangan umi lalu menciumnya."Kenapa tegang Bulan? Nungguin orang?’’tanya umi seperti mengerti yang sedang aku lakukan.Aku tersenyum dan menggandeng tanganya untuk masuk."Tadi Bulan pikir teman Bulan, eh… tahunya umi datang gak nelpon dulu. Maaf ya, Bulan teh belum bisa main Umi, Bang Amar masih sibuk di kampus belum lagi kegiatan bersama majelisnya.’’"Gak apa-apa, tadi kata Amar kamu demam jadi Umi ajak Mara buat jenguk sekalian periksa kamu.’’"Iya Mbak, Umi udah khawatir banget, udah gak sabar tuh buat ke sini.’’"Bulan cuma pusing sedikit, gak apa-apa kok Umi.’’Kami bercengkrama hingga sore, aku mas
Minggu pagi, ini adalah hari kelima aku tinggal bersama Bang Amar. Pagi ini aku berniat mengajak Bang Amar mengunjungi ayah sesuai permintaan beliau, aku tidak ingin ia kembali berpikir bahwa aku membencinya, terlebih sekarang aku melihat ia semakin memperbaiki ibadahnya, aku senang ia berubah dan menyesali semua perbuatan buruknya dulu. Meski tak bisa kupungkiri terkadang ada rasa benci setiap kali aku melihat wajahnya, selalu terbayang bagaimana aku dan ibu menghadapi hinaan sosial, di kucilkan dan sering tak dianggap ada oleh orang kampung. Hinaan dan cemoohan selalu menjadi makanan sehari-hari semasa aku kecil. Aku selalu dipaksa mengerti keadaan dan harus bersikap dewasa saat umurku masih belia.Aku menghampiri Bang Amar yang sedang duduk di halaman belakang menikmati udara pagi dengan secangkir teh dan koran di tangan. Membawakan empek-empek yang baru saja digoreng, masih hangat. Empek-empek ikan tuna yang masih hangat aromanya benar-benar menggugah selera.Kusodorkan semangku
“Besok Aku akan mengantarmu membuat paspor,” ucap Bang Amar memecah keheningan kami.Aku mengangguk, malas rasanya menjawab ucapan Bang Amar. Toh nantinya aku juga bakal di acuhkan, jadi selama perjalanan kembali ke rumah setelah dari rumah ayah aku lebih memilih diam.Kami sampai di rumah, hari belum terlalu sore. Setelah mengantarkanku bahkan Bang Amar tak berniat untuk turun entah akan pergi kemana dia. Bang Amar hanya mengatakan akan pulang sedikit terlambat.Mengetuk pintu dengan sedikit rasa malas, seharusnya weekend menjadi hari untuk berlibur bersama, tetapi aku justru ditinggalkan seorang diri.“Surprise!” Dari balik pintu Nara berteriak mengejutkanku.“Astagfirullah Nara, gimana kalau aku jantungan, heum?”Nara tak mengindahkan ucapakanku, ia berhambur memelukku.“Aku kangen banget tau gak sih.”“Udah lama? Kenapa gak telpon? Gimana kalau aku pulang malam coba?”“Aku baru datang kok. Eh, dimana Bang Amar? Apa dia gak ikut pulang?”“Dia sedang sibuk,” kilahkuKini kami sudah
“Abang,” aku menatap nanar suamiku yang masih memegang erat jari jemari milik wanita itu.Sebisa mungkin kutahan air mata yang hendak menetes.Bang Amar dan wanita itu masih tak bergeming menatapku, di depan mereka aku seperti patung.“Diakah wanitanya?” tanya wanita itu dengan senyum mengejek.“Abang tolong jelaskan," ucapku sedikit parau.“Bulan ayo kita pulang,”Bang Amar menarik paksa tanganku, membawaku masuk ke dalam mobil tanpa mau menjelaskan lebih dulu siapa wanita yang ia genggam tangannya itu.“Itulah sebabnya Abang hanya mempermainkan pernikahan ini? Ada wanita lain?”Bang Amar masih diam, ia hanya terus fokus mengemudikan mobilnya.“Tolong beri aku penjelasan Bang? Aku atau dia yang menjadi duri diantara kita? Ah... sudah pasti aku, aku akan mengalah.”Aku tak lagi dapat menahan air mata yang sudah jatuh, sakit sekali. Pernikahanku baru satu minggu dan sekarang aku harus dihadapkan dengan kenyataan pahit ini.“Aku akan menjelaskan saat kita pergi ke tanah suci, kita safar
Mekkah, kini aku dan Bang Amar telah sampai di kota suci ini. Aku berdiri menatap indahnya pemandangan kota Mekkah dari Swissotel yang menghadap langsung ke kota Mekkah. Subhanallah, begitu terasa tenang dan damai setiap kali melihat indahnya Mekkah, aku tak henti berdecak kagum dan tak dapat mengalihkan pandangan. Allah, aku serahkan seluruh hidup dan semua takdirku kepada-Mu. Aku percaya Allah tak akan memberi cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuanya. Aku percaya Allah akan menolong setiap niat baik hambanya. Setelah dua hari kejadian terungkapnya hal yang menjijikan suamiku, aku masih bertahan. Tetap tinggal di dalam rumahnya sesuai keinginannya. Bang Amar berkali-kali memohon untuk menolongnya, aku tidak tahu harus bagaimana, sementara ia belum menceritakan detailnya.Berkali-kali aku Shalat Istikharah meminta petunjuk kepada Allah, dan juga meminta saran dari Nara juga Ustazah Aina, tetapi mereka memiliki jawaban yang sama, meminta menanyakan kepada hatiku. Bagaimana pe
“Abang tak perlu khawatir, nanti kita akan cari jalan sama-sama untuk mengatasi Farhan. Aku hanya butuh kesungguhan Abang untuk berubah, kembali ke jalan Allah Bang. Ingat dosa maksiat tidak hanya berdampak kepada Abang, tetapi juga orang tua Abang.”aku mendekati bang amar yang terduduk di atas ranjang.tatapan khawatir masih jelas terlihat di wajahnya.“Farhan ini orang yang nekat Dik,”“Allah akan selalu bersama hambanya yang berada di jalan Allah.”Masih tersisa enam hari lagi kami di Mekkah, aku harus mengambil hati Bang Amar bagaimanapun caranya, bismillahirohmanirohim.…..Terbangun saat adzan Subuh berkumandang. Kuguncang pelang Bang Amar yang masih tertidur pulas di sampingku, malam ini kami tidur bersama, meski hanya tidur bersama hatiku tetap merasa bahagia. Aku hanya berharap suamiku benar-benar berubah.Kami berjamaah bersama setelah itu membaca alquran seperti biasanya. Aku terus berdzikir meminta kekuatan karena aku tak bersaing dengan wanita, tetapi lelaki yang menjelm
“Keluarlah dan makan ini.”Bang Amar mengetuk pintu kamar mandi dan memanggilku seolah tidak ada yang terjadi.Aku duduk di sampingnya, menyambar jaket yang ada di kursi untuk menutup tubuhku yang hanya memakai baju kurang bahan ini.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Bang Amar.Seharusnya aku yang bertanya kepadanya, kenapa justru dia yang lebih dulu bertanya?“Seharusnya aku yang bertanya, bagaimana perasaan Abang?”“Abang belum merasakan apa-apa, bagaimana kalau mencobanya sekali lagi?”Aku mendelik menatapnya, apa dia bergurau?Bang Amar kembali mendekatiku, apa dia menantang? batinku. Aku segera berlari, kembali menyembunyikan tubuhku di balik selimut.Bang Amar tertawa.“Kenapa bersembunyi bukankah mau menolong Abang?”tanya Bang Amar menggoda.“Astagfirullah."Aku tersenyum di balik selimut.“Apa dia sudah normal? Apa orang berkelainan secepat itu sembuhnya?”Aku bergumam sangat pelan nyaris tak terdengar.“Bulan, Abang bukanya tidak bisa menyentuhmu, dan memberikan nafkah batin unt
Sebening syahadat, begitukah kata yang tepat untuk cinta yang terlahir dari Allah. Kuserukan cahaya dihadapan yang berliku, aku percayakan jalanku dengannya. Aku berharap rumah tanggaku dapat berjalan atas ridho Allah, jauh dari maksiat dan sifat zalim.Kepulangan kami dari tanah suci disambut hangat oleh umi, juga abi, sementara Amara ia tak dapat ikut menyambut karena harus melaksanakan tugasnya sebagai dokter yang mengharuskan mengabdikan di daerah desa terpencil.Kami sengaja langsung menuju rumah umi dan abi, akupun rindu dengan umi, beliau benar-benar sosok mertua yang mengayomiku layaknya putri sendiri dan aku bersyukur memiliki mertua yang menerimaku dengan sepenuh hati.“Umi udah masakin banyak makanan buat kalian.”Umi menggandeng tanganku membawa masuk.“Kalian nginep aja disini, Umi rindu sama Bulan. Amara juga gak di rumah jadi rumah sepi banget, makannya kalian cepetan dong kasih Umi cucu, Umi sudah pengen di panggil uti.”Aku dan Bang Amar saling pandang, dan saling sen
Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da
Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me
“Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak
“Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu
Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l
“Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am
Aku memandang jari jemariku yang mengepal kuat, aku harus mengambil keputusan agar Azen tak terus menggangguku, setidaknya aku harus memiliki pendamping agar dia tak terus mengharapkanku.“Terimakasih telah datang untuk melamarku Azen, dulu memang aku mengharapkan itu berbagi shaf shalat bersamamu." Azen tersenyum lebar, kepercayaan semakin meningkat dan menyunggingkan senyum sinis kepada Roy. “Tetapi aku menerima lamaran Roy.” Seketika Azen terdiam mengepalkan tangannya, wajahnya berubah menyiratkan kemarahan.“Aku mempunyai alasan untuk itu, terutara anak-anakku begitu dekat dengan Roy, dan yang kedua dia datang lebih dulu untuk mengkhitbahku, jadi mohon maaf jika aku lebih memilihnya.” Kali ini Roy yang tersenyum menatap Azen.“Tidak, aku tak terima Bulan, sampai kapanpun kamu milikku!” seru Azen sebelum pergi meninggalkan kediaman kami tanpa pamit.“Maaf Bulan dan semuanya atas sikap anak saya,” ucap Nyonya B
Seringkali aku beratnya, kadang di subuh yang sunyi, atau malam yang berbalut bintang. Apakah ini sebuah kenyamanan yang hakiki, atau sebuah kesesakan yang dibungkus dengan indah oleh sebuah narasi? Pasalnya aku tak pernah mengerti bagaimana adam bisa melakukan apapun untuk mendapatkan seorang hawa. Aku tak pernah mengerti itu, dan saat ini setelah kulakukan shalat subuh Roy mengirimiku pesan akan membawa mommynya mengunjungiku bertemu dengan abi dan juga umi. Entah apa yang akan mereka lakukan, ia bilang hanya ingin berdamai dengan keadaan hatinya yang terus mengusik.Aku tak ambil pusing, mungkin dia hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan mommynya. Kusiapkan makanan untuk Zafar dan Zakir, sementara abi dan umi akan tiba siang ini. Aku masih menemani kedua putraku yang sedang menyantap makanan di meja makan, sesekali bercanda bersama mereka. Hari ini aku full menikmati me time bersama kedua anak kesayanganku.Selalu kuucapkan maaf berkali-kali karena aku tak bisa selalu bersama
Kutarik dengan pasti gagang daun pintu mobil milik Roy, di dalam putraku sudah duduk dengan manis, meminum sebotol teh. Aku mengamati keduanya, masih menikmati sesekali menggoyangkan kaki dan kepalanya mengikuti irama shalawat yang diputar oleh Roy.“Makan dulu, ya?” tanya Roy kepada keduanya, yang langsung dijawab oleh anggukan semangat.Mungkin Allah mempertemukan kami agar kedua putraku bisa mendapatkan sedikit kasih sayang layaknya seorang ayah. Meski tak dipungkiri pertemuan kami penuh dengan derita dan air mata, mengalahkan salah satu diantara kami, hingga Allah memberikan setitik cinta di hati Roy untukku dan kedua putraku.Namun, kehadirannya tak akan bisa menggantikan Bang Amar, kehadirannya, mungkin jika Allah mengizinkan akan mempunyai tempat yang sama di hatiku seperti milik Bang Amar, tetapi sekali lagi aku tegaskan bukan untuk menggantikan Bang Amar. Jika dia mampu menerima dan mau bersebelahan dengan milik Bang Amar kenapa aku tidak menerimanya? Karena hidup memang haru