Aku dan Bang Amar mengunjungi ayah yang sedang jatuh sakit, dokter bilang kankernya sudah stadium akhir, aku tidak tahu selama ini ayah sakit. Beberapa hari ini kami menginap di rumah ayah, ayah memintanya sebagai hadiah terakhir untuknya.Kami duduk bersama, menikmati sore yang sebentar lagi berganti malam. “Ayah siapa sebenarnya mr, black? Kenapa ia menyakitiku? Adakah hubunganya dengan ayah dan ibu?”Tanyaku penasaran, pasalnya aku tak lagi mampu menahan rasa penasaranku.Ayah diam sejenak, pandangan yang tadinya tertuju padaku kini beralih melihat kedepan. Entah sedang merangakai sebuah kalimat seperti apa.“Kami hanya saingan bisnis,” ucap ayah singkat. “Benarkah? Berarti dia tahu jika aku putri biologis Ayah, lalu kenapa Ayah takut jika dia tahu aku adalah anak Lilis Wati?”Tanyaku lagi.“Semua itu sudah masa lalu Bulan, mengetahui semuanya hanya membuat kamu sakit hati. Leb
Aku membantu umi menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan calon suami Amara. Meski umi melarangku untuk melakukan hal itu, tetapi aku tetap ingin membantu. Tidak enak jika hanya melihat sementara orang orang sibuk mengerjakan sesuatu.Sesekali kegiatan kami diselingi canda dan tawa. Aku tak henti menggoda Amara, adik ipar yang begitu terasa adik sendiri.Ponselku berdering, dengan cepat aku mengambil benda pipih itu, nomor baru enggan menjawabnya aku putuskan untuk memberikan kepada Bang Amar. Untuk urusan ponsel aku dan Bang Amar memang tidak merahasiakan apapun, ponselku miliknya ponselnya milikku.“Siapa Bang?”tanyaku sedikit penasaran.Bang Amar meloudspeaker panggilan telepon tersebut agar aku bisa ikut mendengarkan. Ternyata dari notaris kepercayaan ayah, ia bilang aku dan Bang Amar harus segera pergi ke bandung karena ada hal yang mendesak. Ingin menolak, tetapi ia begitu memaksa.“Apa anda tidak merasa kasihan dengan Pak Yusuf kjik perusahaanya sampai jatuh kepa
Tanpa menunggu lama aku mendorong pintu rumah bibi dan menatap nyalang dua orang yang ada di dalam, bibi dan mamang sama terkejutnya melihat aku berdiri di depan pintu.Dada naik turun bergemuruh hebat menahan amarah dan segala pertanyaan.“Katakan sekali lagi,” ucapku.Cairan bening sudah menumpuk di pelupuk mataku. Apa yang harus aku lakukan jika benar dialah orang yang sudah melenyapkan ibu?“Bu—Bulan, bibi teh bisa jelaskan, ini gak seperti yang kamu pikirkan.”“Katakan semuanya sekarang!” seruku, tak dapat lagi menahan air mata, ia mengalir begitu saja. Apalagi ini? Apalagi yang akan terungkap sekarang ini?“Bu—Bulan maafin bibi.”Bibi sudah bersimpuh di bawah kakiku. “Bibi katakan apa sebenarnya kesalahan ibu, sehingga bibi sampai melakukan itu, bibi tega nyakitin ibu, apa sebenarnya yang telah ibu lakukan?”Sakit, sakit sekali rasanya. Selama ini aku pikir ibu mengakhiri hidupnya sendiri, selama ini orang kampung mengira ibu tak cukup iman sehingga mengakhiri hidupnya.“Bulan,
Bang Amar mematikan lampu utama ketika keadaan menjadi gelap gulita, ia menghidupkan senter ponselnya dan menyorot tepat di kertas tersebut.“Bacalah," perintahnya.Aku mulai mengamati kertas tersebut dan merangkai setiap kalimatnya yang sedikit tidak jelas, tetapi ibu menulis dengan sangat bagus. Apa selama ini ia hanya berpura-pura buta huruf untuk menyembunyikan semuanya?[Bulan Sayang, jika kamu sudah membaca surat ini itu tandanya ibu sudah tidak ada.Bulan Sayang, jadilah anak yang bersinar layaknya bulan purnama.Rembulan kannaya, apa kamu tahu arti nama itu? Rembulan yang bahagia, Rembulan yang tentram dan merdeka, ibu ingin hidupmu sebahagia rembulan yang dikelilingi banyak bintang, ibu ingin rembulan hidup tentram di atas sana di tempat seharusnya rembulan bersinar menerangi kegelapan.Bulanku Sayang, maafin ibu karena kamu harus lahir dalam keadaan yang seperti ini, keadaan yang serba kekurangan, keadaan yang penuh duka lara.Rembulan Sayang, kamu harus merdeka. Ibu rela m
Aku mengikuti Bang Amar yang berjalan lebih dulu karena orang yang mengetuk pintu kayu rumah ibu semakin tidak sabaran.“Siapa Bang?”tanyaku setelah sampai di depan pintu.Mataku memerah melihat lelaki berperut buncit itu, lelaki yang dulu sempat ingin melecehkan ibu, lelaki yang sempat mencoreng nama baik ibu.“Ada apa Pak?”tanya Bang Amar yang tidak tahu siapa dia.“Kenapa Juragan kemari?” tanyaku ketus.“Apa Yusuf memberimu hak atas perusahaan yang dikelola Azam?”tanya juragan barda tanpa basa-basi.“Jika benar kenapa?”aku tak lagi takut menghadapi manusia berhati iblis itu.“Jangan macam-macam dengan saya, jangan menyentuh apa yang seharusnya menjadi milik Azam!”“Apa Juragan belum puas dengan apa yang Juragan miliki saat ini?”“Dulu Yusuf mengatakan ingin memberikan semuanya kepada Azam, tetapi sejak ia mendengar kabarmu dan juga Lilis ia berubah pikiran, saya ingatkan jangan mengganggu milik Azam.”Aku terkekeh mendengar ucapan Juragan Barda, lelaki serakah yang menjadi momo
“Teh tolong jujur jeung Bulan, apa Teteh tahu ibu tidak meminum racun untuk bunuh diri?”Wajah Teh Salma tampak tegang, ia mulai menggigit ujung kukunya, sudah di tebak Teh Salma tahu sesuatu.“Neng, itu udah lama, Teteh juga udah kasih tahu kamu apa alasan embu ninggalin kita,”Aku memegang tangan Teh Salma, menggenggamnya dengan erat, menatap matanya yang beralih pandang, aku memohon dari tatapan mata agar Teh Salma mau memberitahukan kebenarannya.“Katakan sama Bulan, Teteh mah bohong jeung Bulan, kan?” Teh Salma membenarkan posisi duduknya, menarik paksaan tangannya yang ada dalam genggamanku.“Teteh teu bohong Bulan, Teteh teu tahu apa-apa, sudah kamu mah gak usah mikirin itu lagi, embu udah tenang hidupnya di sorga,”ucap Teh Salma sedikit meninggikan suaranya.“Apa Teteh teu kasihan jeung Bulan? Sampai kapan Teteh mau menyembunyikan semuanya? Bibi udah kasih tahu
Malam ini juga aku dan Bang Amar kembali ke kota, tak ingin jika Nara menunggu lama. Sampai di hotel aku langsung menemui Nara semntara Bang Amar bertemu dangan Anwar.“Kalau bukan kamu nih Lan, beneran gak mau aku datang kesini," ucap Nara sambil memanyunkan bibirnya.“Masa iya kamu gak mau bantuin aku sih?” ucapku memelas.“Huft… jadi apa rencana kita?”“Aku cuma minta tolong kamu buat deketin anak ayah dari mantan istrinya.”“Ayahmu punya anak lain?”Aku mengangguk membenarkan ucapan Nara.“Terus habis itu aku harus ngapain?”“Dapetin semua informasi mamanya, kalau bisa pasang sebuah perekam di rumahnya.”Nara mengangguk tanda mengerti, malam ini kami terus menyusun rencana termasuk membalas perbuatan wanita itu kepada ibu.Maafkan aku ya Allah, maafkan aku karena tidak bisa mengikat dendam yang sudah kokoh dalam dadaku.Lama be
“Cepat Bang jangan sampai kita kehilangan jejaknya.”Aku tak sabar lagi ingin melihat sosok wanita itu, lebih tepatnya ingin tahu siapa wanita itu. Wanita yang tega mendorong ibuku ke jurang kematian dengan dalih melindungiku. Ini salah kaprah, tidak ada hal yang memaksa orang lain mengakhiri hidupnya untuk memberi perlindungan bagi orang lain.Mobil merah milik Mr. Black memasuki sebuah kawasan elit, dan berhenti tepat di rumah besar tiga lantai, rumah mewah dengan cat berwarna gold berpadu dengan silver, rumah bak istana. Apalagi yang kurang darinya sehingga dengan tega menyakiti ibuku, wanita yang hanya selalu menjadi korban.Aku dan Bang Amar masih mengintai dari seberang jalan. Kedatangan Mr. Black disambut oleh seorang wanita yang duduk di kursi roda, memeluk erat wanita itu, tatapan yang semula kulihat dingin dan penuh amarah di depan wanita itu berubah sendu dan penuh kehangatan.“Kita pulang sekarang Dik?”tan
Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da
Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me
“Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak
“Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu
Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l
“Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am
Aku memandang jari jemariku yang mengepal kuat, aku harus mengambil keputusan agar Azen tak terus menggangguku, setidaknya aku harus memiliki pendamping agar dia tak terus mengharapkanku.“Terimakasih telah datang untuk melamarku Azen, dulu memang aku mengharapkan itu berbagi shaf shalat bersamamu." Azen tersenyum lebar, kepercayaan semakin meningkat dan menyunggingkan senyum sinis kepada Roy. “Tetapi aku menerima lamaran Roy.” Seketika Azen terdiam mengepalkan tangannya, wajahnya berubah menyiratkan kemarahan.“Aku mempunyai alasan untuk itu, terutara anak-anakku begitu dekat dengan Roy, dan yang kedua dia datang lebih dulu untuk mengkhitbahku, jadi mohon maaf jika aku lebih memilihnya.” Kali ini Roy yang tersenyum menatap Azen.“Tidak, aku tak terima Bulan, sampai kapanpun kamu milikku!” seru Azen sebelum pergi meninggalkan kediaman kami tanpa pamit.“Maaf Bulan dan semuanya atas sikap anak saya,” ucap Nyonya B
Seringkali aku beratnya, kadang di subuh yang sunyi, atau malam yang berbalut bintang. Apakah ini sebuah kenyamanan yang hakiki, atau sebuah kesesakan yang dibungkus dengan indah oleh sebuah narasi? Pasalnya aku tak pernah mengerti bagaimana adam bisa melakukan apapun untuk mendapatkan seorang hawa. Aku tak pernah mengerti itu, dan saat ini setelah kulakukan shalat subuh Roy mengirimiku pesan akan membawa mommynya mengunjungiku bertemu dengan abi dan juga umi. Entah apa yang akan mereka lakukan, ia bilang hanya ingin berdamai dengan keadaan hatinya yang terus mengusik.Aku tak ambil pusing, mungkin dia hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan mommynya. Kusiapkan makanan untuk Zafar dan Zakir, sementara abi dan umi akan tiba siang ini. Aku masih menemani kedua putraku yang sedang menyantap makanan di meja makan, sesekali bercanda bersama mereka. Hari ini aku full menikmati me time bersama kedua anak kesayanganku.Selalu kuucapkan maaf berkali-kali karena aku tak bisa selalu bersama
Kutarik dengan pasti gagang daun pintu mobil milik Roy, di dalam putraku sudah duduk dengan manis, meminum sebotol teh. Aku mengamati keduanya, masih menikmati sesekali menggoyangkan kaki dan kepalanya mengikuti irama shalawat yang diputar oleh Roy.“Makan dulu, ya?” tanya Roy kepada keduanya, yang langsung dijawab oleh anggukan semangat.Mungkin Allah mempertemukan kami agar kedua putraku bisa mendapatkan sedikit kasih sayang layaknya seorang ayah. Meski tak dipungkiri pertemuan kami penuh dengan derita dan air mata, mengalahkan salah satu diantara kami, hingga Allah memberikan setitik cinta di hati Roy untukku dan kedua putraku.Namun, kehadirannya tak akan bisa menggantikan Bang Amar, kehadirannya, mungkin jika Allah mengizinkan akan mempunyai tempat yang sama di hatiku seperti milik Bang Amar, tetapi sekali lagi aku tegaskan bukan untuk menggantikan Bang Amar. Jika dia mampu menerima dan mau bersebelahan dengan milik Bang Amar kenapa aku tidak menerimanya? Karena hidup memang haru