"Boleh, ambil aja di tasku," jawab Steven sambil memasang sabuk pengaman lalu mulai mengendarai mobilnya. Mereka memang sangat terbuka dengan telepon genggam masing-masing. Lisa mengetahui kode telepon genggam Steven begitu juga sebaliknya.Lisa mengambil telepon genggam Steven. Satu hal yang Lisa tahu, Steven adalah orang malas menghapus pesan, jejak telepon atau bahkan gambar-gambar yang dikirimkan orang kepadanya. Ketika kapasitas teleponnya penuh, maka biasanya Lisa yang akan memilah dan menghapus semua pesan dan gambar yang tidak perlu.Lisa membuka sejarah telepon Steven hari ini. Begitu banyak orang yang menelepon Steven dan ditelepon oleh Steven, sebagian besar tanpa nama. Lisa mencoba mengingat-ingat jam berapa tadi dia mendengar Rebekha menelepon seseorang bernama Steven.'Sekitar jam setengah tiga atau jam tiga,' batin Lisa sambil memeriksa telepon Steven. Ada setidaknya empat nomor tidak dikenal yang menelepon Steven selama jam setengah tiga sampai setengah empat. Lisa tid
Lisa dan Steven langsung berbalik dan kaget karena Rebekha muncul di belakang mereka sambil memegang koper. "Kok elo ada disini juga?" tanya Lisa heran."Gue emang udah berencana mau refreshing beberapa hari disini. Gue ga tahu kalau kalian juga bakalan kesini," jawab Rebekha tampak ceria. "Wah seru juga ya kalau kita bisa liburan sama-sama," lanjutnya dengan bersemangat.Lisa dan Steven melongo dan hanya bisa tersenyum kecut melihat kehadiran Rebekha. Perasaan Lisa benar, liburan ini akan menjadi liburan yang tidak menyenangkan.Lisa dan Steven terlebih dahulu masuk ke kamar. "Kok bisa dia tahu kita ada disini?" selidik Lisa sambil menatap Steven yang juga tampak heran."Aku enggak tahu. Apa mungkin karena aku menggunakan travel agent yang dia sarankan, jadi dia bisa tahu jadwal perjalanan kita?" duga Steven."Kok bisa dia menyarankan travel agent?" "Waktu aku menelepon untuk meminta izin, dia sempat bertanya apakah tiket dan akomodasi sudah aku urus. Aku bilang belum. Lalu dia m
"Siapa?" bisik Lisa sambil mendekati Steven. Steven menarik tubuh Lisa lalu merangkulnya, sehingga mereka berdiri berdampingan. "Tapi seharusnya itu menjadi rahasia. Ini akan jadi kali terakhir saya bekerja sama dengan travel agent anda. Terima kasih!" seru Steven sambil mematikan telepon genggamnya. "Travel agent?" tanya Lisa melirik telepon Steven. "Iya, aku bertanya apakah mereka memberi tahu Rebekha tentang detail perjalanan kita. Kata mereka Rebekha yang memintanya dan karena mereka mendapat nomor teleponku dari Rebekha jadi mereka pikir tidak masalah memberikannya." "Kok begitu. Apa mereka tidak tahu yang namanya rahasia klien?" tanya Lisa kesal. "Mungkin karena mereka tidak punya penasehat hukum jadi sembarangan." Steven menghembuskan napas. "Masalahnya Rebekha tahu semua jadwal kita. Aku khawatir kamu akan terganggu karena ada kemungkinan dia akan tiba-tiba muncul dimana saja." "Biarkan saja," jawab Lisa pelan namun kesal membayangkan wajah ceria Rebekha ketika mereka
"Apa maksud perkataanmu? Apa kalian menderita karena aku?" tanya Lisa kali ini tanpa kemarahan. Dia merasa sedih, sangat sedih setelah mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Steven."Bukan kami, tapi kamu yang menderita." Steven mencoba meraih Lisa namun dia mundur, menghindari Steven."Kamu terluka tapi kamu tidak menyadari itu. Aku tidak tahu pasti tapi sepertinya inner childmu terluka. Karena itu, kamu bukan tidak mempercayai aku, tapi kamu tidak mempercayai orang lain, siapapun itu," lanjut Steven. Lisa mematung, dia seperti pernah mendengar kata-kata ini tapi entah dimana. Seakan-akan dia sedang kembali ke suatu masa yang dia sendiri tidak ingat kapan."Lisa, kamu ingat betapa bencinya kamu sama mamamu? Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, karena aku hanya mendengar ceritamu. Ketika kamu bangun dari koma, tiba-tiba kamu sangat menyayangi dan mempercayai mamamu. Aku benar-benar kaget, aku pikir kamu sudah melepaskan diri dari trauma masa lalumu. Tapi semakin hari, aku sema
"Bangun," bisik guru meditasi Lisa sambil menepuk pundaknya dengan lembut. Lisa membuka matanya, lalu sang guru memberi sinyal agar Lisa berdiri dan mengikutinya."Ada apa?" tanya Lisa sambil duduk di hadapan sang guru."Kamu tidak bisa melakukan meditasi. Terlalu banyak gangguan," jelas sang guru sambil memandang Lisa dengan lekat."Gangguan apa guru?" Lisa bingung, dia tidak merasa terganggu dengan apapun."Pikiran yang penuh dengan keraguan, ketakutan dan trauma," jelas sang guru membuat Lisa mengernyitkan alisnya."Kamu tidak tenang, kamu terus gelisah selama melakukan meditasi. Berbahaya kalau dilanjutkan," sambungnya lalu berdiri."Traumamu harus disembuhkan dan meditasi bukan jalannya. Kamu harus menemui profesional." Sang guru berdiri setelah mengucapkan selamat tinggal.Lisa kembali ke dalam mobilnya, dia kembali mencari klinik psikolog yang terkenal. Dia merasa psikolog terakhir yang dia temui tidak terlalu bagus.Lisa sangat beruntung. Baru saja, salah satu klien psikolog t
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Anak-anak bagaimana?" tanya Steven yang membayangkan kepanikan anak-anaknya karena ibu dan omanya sama-sama berada di rumah sakit."Mereka ketakutan, apalagi mereka yang pertama kali menemukan bu Gayatri," jawab Ibu Steven dengan nada sedih."Kalau bisa, tolong antarkan mereka kesini. Lebih baik mereka bersama aku disini, supaya mereka tidak terlalu ketakutan," pinta Steven. Berada di samping ayah mereka pasti akan membuat kedua anaknya tenang."Oke, kami hanya akan memastikan keadaan mertuamu, lalu segera kesana." Bu Gayatri mematikan teleponnya, lalu memeluk kedua cucunya agar mereka tidak terlalu ketakutan.***"Kamu sudah enakkan?" tanya Steven kepada Lisa yang sudah sadar. Steven diperbolehkan masuk sebentar, sebelum diadakan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui alasan kepala Lisa tadi terasa sangat sakit."Iya, tadi kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Tapi sekarang rasa sakitnya benar-benar hilang." Lisa memegang kepalanya dengan tangan yang tidak diinfus."Tapi kamu tetap harus
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan