"Sebenarnya Mama adalah orang yang paling menderita, tapi kamu adalah kekuatan dan harapannya setiap kali dia merasa ingin menyerah." lanjut ayahnya mengalihkan pandangannya ke gelas yang terletak di hadapannya. Lisa tahu ayahnya sedang berusaha membela nama baik ibunya di hadapan Lisa. Tapi Lisa tidak tertarik untuk mengubah sudut pandangnya. Bagi Lisa ibunya adalah orang yang paling munafik. Selama ini dia menekan dan menghukum Lisa karena kesalahan yang dia buat sendiri di masa lalu. Lisa tidak pernah benar-benar menyukai ibunya, tapi saat ini dia merasa sangat membenci ibunya. "Mama-" Pak Adhitama baru mengucapkan satu kata, Lisa langsung berdiri dari kursinya. "Cukup dulu Pa, aku butuh waktu mencerna semuanya. Kalau Papa memberikan terlalu banyak informasi, aku bisa kewalahan." potong Lisa sambil menepuk punggung ayahnya, "Aku pergi ya Pa, sudah janjian sama yang lain mau sarapan bareng." sambung Lisa berbohong, lalu memeluk ayahnya dari belakang dan pergi meninggalkan rumah
"Gue mau nanyain keadaan Rebekha." jawab Lisa sekenanya, tiba-tiba bayangan Rebekha melintas di kepalanya. "Loh kok nanya ke gue?" tanya Steven bingung. "Mamanya Rebekha nggak mau gue ikut campur lagi urusan yang kemarin. Kata Rebekha dia merasa bersalah. Tapi kalian katanya bakalan jadi saksi." jawab Lisa mulus. Dia berhasil membuat Steven percaya bahwa dia benar-benar menghubunginya karena alasan itu. Padahal dia menelepon Steven karena rindu. Steven mengangguk tanda mengerti kegelisahan yang dirasakan Lisa terkait Rebekha. "Nanti kalau ada apa-apa gue kabarin ya. Tenang aja." ucap Steven menenangkan Lisa yang tersenyum manis senang karena motifnya yang sebenarnya tidak ketahuan. "Ngomong-ngomong, lo kok bisa sih nggak hapal nama-nama mahasiswi yang lain tapi hapal nama kami berempat?" desak Lisa. Tentu dia tahu alasannya. Tapi entah mengapa dia tetep penasaran jawaban apa yang akan diberikan Steven yang tampak kebingungan. "Soalnya kalian berempat mencolok." jawab Steven meski
"Ma. Mama." Lisa panik, dia mengguncang tubuh ibunya yang terkulai lemah. Lisa segera mengambil minyak kayu putih dan mengoleskan ke pelipis dan leher ibunya. Lalu meletakkan sedikit di lubang hidung ibunya. Perlahan-lahan Bu Gayatri membuka matanya. "Mama udah sadar?" tanya Lisa pelan sambil memperbaiki posisi ibunya. Bu Gayatri mengangguk. "Mama istirahat dulu deh, jangan mikirin apa-apa dulu. Nanti pingsan lagi." perintah Lisa sambil menyelimuti ibunya, lalu berjalan keluar kamar. Bu Gayatri hanya bisa menuruti Lisa, tubuhnya terlalu lemah untuk berpikir macam-macam. Lisa duduk sendirian di teras, diam dengan pikiran kosong. Dia memandangi halaman yang dipenuhi dengan tanaman hias yang dirawat bagaikan anak oleh ibunya. Lisa lelah, bahkan untuk berpikir pun dia tidak sanggup. Seumur hidupnya, sembilan hari ini adalah masa terberat dan terlelah bagi Lisa. Selain karena masalah yang datang silih berganti, kesepian dan kesendirian membuatnya semakin berat. Di masa depan, biasany
Lisa terus menangis dalam pelukan ayahnya. Kekesalannya berkurang tapi airmata nya tak mau berhenti. Dia menangis bukan hanya karena kemarahannya tapi juga karena kerinduannya. Lisa masih terisak-isak ketika tiba-tiba dokter memanggil mereka. "Bagaimana dok?" tanya Pak Adhitama khawatir. Lisa berdiri dibelakang ayahnya dengan mata bengkak dan merah. Dokter melirik Lisa. "Tekanan darah pasien sangat rendah. Sepertinya itu yang membuat kehilangan kesadaran. Untuk sementara saya sarankan untuk dirawat dulu satu atau dua hari, agar dapat diawasi dokter spesialis dan dipastikan keadaannya." terang dokter UGD. "Bapak silahkan urus administrasi untuk rawat inap. Setelah selesai nanti pasien akan kami pindahkan ke ruangan rawat inap." lanjut dokter sambil menunjuk meja tempat mengurus administrasi. "Baik dok." jawab Pak Adhitama cepat lalu segera berlari ke meja administrasi. Setelah semua urusan selesai, Bu Gayatri akhirnya masuk ke kamar kelas satu yang sudah dipesan Pak Adhitama. "B
"Karena batinnya menderita. Mama itu seperti harimau yang terluka. Karena dia tidak tahu bagaimana caranya meminta tolong, dia terus mengaum dan mencoba menyerang orang-orang yang ada di sekitarnya." terang Pak Adhitama sambil tersenyum getir. "Harimau itu harus dilumpuhkan dulu baru bisa diobati. Papa rasa saat kamu tahu kenyataan yang terjadi, saat itulah Mama dilumpuhkan. Sekarang saatnya mengobati Mama dan hanya kamu yang bisa mengobatinya." sambung Pak Adhitama menggenggam tangan Lisa sedikit lebih kencang. Lisa diam. Tidak tahu harus berkata apa. "Tidak harus sekarang, karena Papa yakin batinmu sendiripun sedang terluka. Sembuhkan saja dulu lukamu. Lalu Papa mohon bantulah Mama." mohon Pak Adhitama. Lisa mengganguk pelan meskipun dia tidak sepenuhnya mengerti maksud perkataan ayahnya. *** "Sudah makan?" tanya Bu Gayatri begitu melihat suami dan anaknya masuk. Pak Adhitama dan Lisa mengangguk. Pak Adhitama melirik Lisa. "Papa mau pulang sebentar, ngambil baju dan beberapa bar
"Mama sangat menyesal karena telah membuat batinmu terluka. Mama bodoh. Mama tidak tahu cara Mama salah." lanjut Bu Gayatri memaki dirinya sendiri. Lisa berdiri, berjalan pelan ke arah ibunya, lalu duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur ibunya. "Mama tidak mau kamu mengalami apa yang Mama alami. Dibuang seperti sampah oleh orang-orang yang dulu memuja dan mencintai Mama. Kehilangan mimpi dan masa depan. Hidup dalam penyesalan dan rasa malu yang tiada akhir." ucap Bu Gayatri sambil menangis tersedu-sedu. Lisa ikut merasa terluka mendengar perkataan ibunya. Hati Lisa bergetar hebat, dan seperti mendapat suruhan untuk merangkul ibunya. Untuk pertama kali Lisa memeluk ibunya. Bu Gayatri balas memeluk Lisa. Dia menangis lebih keras lagi dalam pelukan Lisa membuat Lisa juga tidak dapat membendung airmatanya. Lisa tersadar dia bukan membenci ibunya tapi dia mendambakan cinta dan kasih sayang yang tidak pernah dia dapatkan dari ibunya. Seingatnya ibunya tidak pernah memeluk dan m
Lisa kembali meraung. Baru saja beban berat terangkat dari pundaknya, kini dia mendapat beban yang lebih berat lagi. Setidaknya dia sudah terbiasa dengan pengabaian yang dilakukan ibunya. Tapi kehilangan dirinya adalah persoalan yang dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Lisa terus menangis di balik selimut hingga tertidur. *** Lisa membuka matanya perlahan. Dia meraih telepon genggamnya dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Dia tertidur cukup lama. Lisa teringat pembicaraannya dengan Steven semalam. Sudah sepuluh hari dan Lisa merasa dirinya semakin menjauh dari dirinya sendiri. "Apakah aku bisa kembali pulang?" guman Lisa sambil memandang langit-langit kamarnya. Membayangkan anak-anaknya yang akan kehilangan ibunya dan suaminya yang akan menjadi duda. Belum lagi ibunya yang sudah mulai tua, siapa lagi yang akan menemaninya selain Lisa. Lebih dari itu membayangkan akan kehilangan begitu banyak kesempatan yang belum dia raih membuat Lisa semakin putus asa.
"Panjang umur lo, lagi dibahas langsung muncul." sapa Ersa begitu melihat Lisa memasuki kantin. Lisa terpaksa harus ke kampus setelah kedua orangtuanya memaksa untuk mengantarkan Lisa sebelum pulang ke rumah. "Ngomongin apaan?" tanya Lisa santai lalu duduk di samping Donna yang sedang makan mi instan. "Kayaknya beberapa hari ini lo berubah deh. Beda banget. Kuliah sering bolos. Terus kayak nggak peduli sama nilai. Padahal biasanya kalo lo dapat nilai B, lo bisa stres kayak habis putus cinta." jelas Ersa diiringi anggukan kepala kedua sahabatnya yang lain. "Sebenarnya lo kenapa sih?" selidik Ersa. "Gue lagi pengen santai aja, kayak elo nggak ngotot harus dapet nilai bagus." sindir Lisa sambil menunjuk Ersa yang memang nilainya selalu paling rendah diantara mereka berempat. Wajah Ersa berubah kesal. "Sialan lo! Maksud lo apa?" protes Ersa mendengar sindiran Lisa. Sementara Donna dan Rebekha tertawa terbahak-bahak. "Becanda bu. Gitu aja ngambek. Gue lagi banyak urusan keluarga, jad
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Anak-anak bagaimana?" tanya Steven yang membayangkan kepanikan anak-anaknya karena ibu dan omanya sama-sama berada di rumah sakit."Mereka ketakutan, apalagi mereka yang pertama kali menemukan bu Gayatri," jawab Ibu Steven dengan nada sedih."Kalau bisa, tolong antarkan mereka kesini. Lebih baik mereka bersama aku disini, supaya mereka tidak terlalu ketakutan," pinta Steven. Berada di samping ayah mereka pasti akan membuat kedua anaknya tenang."Oke, kami hanya akan memastikan keadaan mertuamu, lalu segera kesana." Bu Gayatri mematikan teleponnya, lalu memeluk kedua cucunya agar mereka tidak terlalu ketakutan.***"Kamu sudah enakkan?" tanya Steven kepada Lisa yang sudah sadar. Steven diperbolehkan masuk sebentar, sebelum diadakan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui alasan kepala Lisa tadi terasa sangat sakit."Iya, tadi kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Tapi sekarang rasa sakitnya benar-benar hilang." Lisa memegang kepalanya dengan tangan yang tidak diinfus."Tapi kamu tetap harus
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan