Aku bertanya kepada Ratna, tentang apa yang mesti aku lakukan untuk Mas Bagas. Memang benar dengan apa yang diucapkan Ratna, jika selama setengah tahun hubunganku dengan Mas Bagas, ia masih menjadi karyawan biasa.Aku pikir tidak apa-apa, sebab yang pasti aku selalu membantunya, saat dia butuhkan sesuatu. Baik membantu dalam hal tenaga maupun materi. Karena masalah pekerjaan, harus menggunakan skill, bukan karena ada orang dalam."Menurutku begini, Nisa. Lebih baik kamu membantu Mas Bagas, Anisa. Seperti waktu dulu, saat kamu membantuku. Aku waktu itu 'kan langsung di angkat menjadi HRD di kantor cabang Papamu, masa iya untuk calon suamimu nggak bisa?" tanya Ratna, ia juga mengingatkan, kalau aku telah membantuannya."Iya, Ratna, nanti deh aku bicarakan dulu sama Papa. Tadinya sih aku ingin, supaya Mas Bagas memiliki karir dari hasil kerjanya sendiri. Bukan dari bantuanku, ataupun bantuan Papa." Aku menjelaskan maksud dan tujuanku kepada Ratna, tentang karir Mas Bagas tersebut."Nisa,
Mas Bagas ini menurutku aneh, orang dia yang ingin mengadakan acara. Tapi kenapa, dia malah bertanya kepadaku masalah biayanya? Aku pikir karena dia yang menginginkan ada acara, maka dia juga sudah siap dengan biayanya."Lho ... kok Mas malah bertanya kepadaku masalah uangnya? Aku kira Mas mau ngadain syukuran, Mas sudah siap dengan biayanya?" tanyaku."Nggak ada, Nisa. Mas tidak ada uangnya, makanya Mas bilang sama kamu, supaya kamu yang handle keuangannya." Mas Bagas de ringan itu bicara kepadaku.Apa dia pikir, aku ini ATM pencetak uang, yang ketika dia butuh tinggal gesek? Lama kelamaan aku merasa dimanfaatkan oleh dia, sebab segala sesuatunya selalu bergantung sama aku."Lho ... kok begitu sih, Mas? Yang punya acara kan kamu, kenapa aku yang mesti mengeluarkan uang?" tanyaku."Ya kamu bantu Mas lah, Nisa. Semua ini juga demi reputasi keluarga kita," ujarnya.Mas Bagas meminta bantuanku, dengan sedikit memaksa. Ia bahkan mengatakan jika semua ini menyangkut, tentang masalah harga
"Bagaimana aku tidak sewot sama kamu, Mas? Orang kamu diajak bicara malah fokus dengan cincin. Memangnya kamu lagi memilih cincin untuk siapa sih?" tanyaku balik."Kamu jangan marah dulu dong, Sayang! Mas memilih cincin ini karena Mas ingin membelikannya buat Ibu. Tapi nggak jadi, sebab Mas sedang nggak pegang uang. Buat acara syukuran saja Mas kan minta sama kamu," jawab Mas Bagas. Mas Bagas menjawab pertanyaanku, sambil memasang wajah memelas. Membust aku menjadi tidak tega dibuatnya."Ya sudah kalau kamu mau membeli cincin buat Ibu, kamu tinggal pilih saja ya, Mas. Biar babti aku yang bayarin, tapi benar kan cincinnya buat Ibu, bukan buat perempuan lain?" tanyaku menyelidik."Ya iya dong sayang, Sayang. Cincinnya buat Ibu, masa ita buat cewek lain?" Mas Bagas malah balik tanya kepadaku.Ia berkelit, jika tidak ada cewek lain menurutnya. Tapi semua itu biar waktu saja yang menentukan."Ya kali saja, Mas punya cewek lain selain aku," kataku asal."Nggak ada kok, hanya kamu saja,
Aku bertanya, kenapa Mas Bagas membawa Bapaknya ke rumah sakit elit, kalau memang tidak punya banyak biaya. Akhirnya aku juga yang dimintai buat membiayanya. Menikah saja belum, tetapi Mas Bagas selalu saja meminta segala hal kepadaku. Semua yang di mintanya juga, selalu yang mahal serta mewah."Asal kamu tahu ya, Nisa. Mas, ingin yang terbaik buat Bapak. Kok kamu ngomongnya malas begitu sih, Nis? Apa kamu keberatan, sebab Mas minta tolong sama kamu? Ya sudah, kalau begitu Mas mau minta tolong sama Ratna saja. Ratna pasti mau membantu Mas," ucap Mas bagas, sambil mematikan sambungan teleponnya.''Mas Bagas apa-apaan sih, main matiin telepon saja. Lagian apa dia amnesia atau bagaimana? Memangnya selama ini siapa, yang selalu membantumu dan keluargamu? Aku, Mas, aku, bukannya Ratna! Walaupun kamu ditolong sama Ratna, tetapi Ratna selalu berbalik minta tolong sama aku. Berarti aku-aku juga dong, yang selalu membantumu bukannya Ratna!" sungutku, sambil membantingkan handphone ke atas ka
"Kamu tengokin lah, Nis, atau mau bareng sama Papa nengoknya?" Papa bertanya, sambil mencuci tangan di kran."Iya, Pah, Nisa juga mau nengokin. Cuma tadi Mas Bagas bilang, ia sedang butuh biaya buat perawatannya. Mas Bagas dan kakaknya, sudah patungan buat bayar pengobatan. Tetapi katanya tidak mencukupi, sekarang aja masih kurang lima puluh juta, buat pembayarannya. Gimana Pah, apa Papa bisa bantu?" Aku menjelaskan maksudku dan bertanya, kalau saja Papa bisa bantu."Aneh, calon suamimu itu, Nisa. Tau nggak punya uang, kenapa dibawanya ke rumah sakit elit? Sudah pastilah biayanya besar. Papa rasa Bagas itu sedang memanfaatkan kebaikan kamu deh, Nisa. Sepertinya, ia tidak benar-benar mencintaimu. Ia hanya mau morotin uangmu saja," ungkap Papa.Papa malah menceramahiku, saat aku memberitahu, kalau Bapaknya Mas Bagas masuk rumah sakit. Aku juga bilang, kalau Mas Bagas meminta bantuan biaya kepadaku."Papa, kok ngomongnya begitu sih?" tanyaku tidak suka. "Nisa, biarpun Papa diam, tetapi
Teg!Aku begitu kaget, saat mendengar penuturan Ratna. Karena ternyata Ratna dari pagi berads, di rumah sakit dan di jemput oleh Mas Bagas. Ia juga ada saat Bapaknya Mas Bagas mau di operasi. Sedangkan aku, dikasih tahunya saja sudah lewat ashar.'Apa-apaan ini? Ada apa sebenarnya dengan mereka berdua? Ternyata ucapan Papa ada benarnya juga, kalau aku memang harus menyelidiki ini semua. Aku yakin semua ini pasti ada apa- apanya, tidak mungkin semua ini hanya sekedar kebetulan belaka.' Aku bergeruru dalam hati. "Oh ... seperti itu ya, Rat. Aku di telpon Mas Bagasnya sudah lewat ashar lho, Rat. Makanya aku baru datang sekarang," terangku dengan jujur.Aku berkata seperti itu sengaja, aku kepingin tahu bagaimana reaksinya Ratna."Eh, Rat, cincinnya lucu banget," kataku saat melihat ke jari manisnya Ratna, yang ternyata dilingkari cincin emas."Iya, Nis, ini kado ulang tahun dari pacarku." Ratna memberitahuku, dari mana ia mendapat cincin itu."Tapi kok," aku menggantung ucapanku, sambil
Aku berharap, akan ada penjelasan tentang cincin ini. Aku tidak mau aku terus-terusan suuzon, yang nantinya dapat menimbulkan fitnah. Bu Ani pun, menengok ke layar handphone, yang aku sodorkan sambil bertanya kepadaku."Cincin apaan ya, Non?" tanya Bu Ani."Ini, Bu, cincin yang seperi di gambar ini. Apa Ibu pernah menerimanya dari Mas Bagas? Mungkin juga Ibu pernah melihat, kalau Mas Bagas menyimpannya, atau juga memberikannya kepada orang lain?" tanyaku.Aku kembali bertanya, kepada Bu Ani dan memperbesar foto cincin yang ada dihandphoneku tersebut."Nggak, Non, perasaan Ibu tidak pernah, diberi cincin dari Bagas. Apalagi cincinnya sebagus ini, Non. Cuma waktu itu, ibu memang pernah melihat cincin seperti ini dipegang Bagas. Tetapi Ibu juga nggak tahu, serta tidak melihatnya, jika Bagas memberikan untuk siapa? Ibu malah mengira, kalau cincin tersebut Bagas berikan buat Non Anisa. Memangnya kenapa, Non?" tanya Bu Ani. "Oh ... begitu ya, Bu. Nggak apa-apa kok, Bu. Nisa cuma nanya s
"Belum ada kabar, Non . Sebenarnya kemana ya, Bagas?" tanya Bu Ani, ia malah bertanya balik kepadaku.Aku menunggu Mas Bagas di rumah sakit ini, sampai merasa bosan. Aku juga sebenarnya merasa heran kepada Mas Bagas. Sebenarnya ia sekarang sedang berada di mana? Apa benar ia sedang mengantar pulang Ratna, atau malah sedang mengajaknya jalan-jalan? Aku benar-benar merasa jengkel dibuatnya, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang, daripada kelamaan menunggu Mas Bagas. Aku pun segera menelepon Pak Sarip, ia merupakan supir pribadi Papa. Aku meminta Pak Dario, supaya ia datang menjemputku. Sebenarnya aku ingin pulang naik angkutan umum, tetapi Papa tidak mengizinkannya. Aku merasa menyesal, kenapa tadi tidak membawa mobil sendiri. Andai saja tadi aku membawa mobil sendiri, aku pasti tidak akan terlantung seperti ini. Setelah Pak Sarip berada di parkiran, aku pun segera pamit kepada keluarga Mas Bagas. "Bu, Mas Bagus, aku pulang dulu ya. Itu Pak Saripnya sudah ada di parkiran, maa
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k