"Ada apa, Anisa, sayang? Apa kamu sudah berubah pikiran?" tanya Mas Bagas.
Mas Bagas, sudah kegeeran karena aku menghentikan mereka. Mas Bagas mengira, kalau aku menyuruh mereka berhenti karena aku telah berubah pikiran. I am sorry, Mas Bro, itu tidak akan pernah lagi terjadi padaku. Karena aku sudah tidak sudi jika harus terus bersama dengannya."Nisa, maafin semua kesalahan, Mas, ya! Mas, berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Mas, menyesal, Anisa. Jika kamu meminta kepada, Mas, supaya Mas memutuskan Ratna. Mas akan lakukan semua permintaanmu itu, Nisa. Asalkan kamu bisa kembali lagi kepada, Mas." Mas Bagas memelas meminta maaf kepadaku, kalau ternyata ia tidak mau putus denganku.Dia bahkan berkata, kalau dia rela meninggalkan Ratna hanya demi aku. Padahal dulu dia jelas-jelas menghinaku, di hadapan kekasihnya itu. Mas Bagas berharap, kalau aku akan memintanya kembali. Padahal, bermimpi kembali padanya pun, aku sudah tidak sudi lagi. "Mas, kok, kamu ngomongnya begitu sih? Kenapa kamu malah lebih memilih si Anisa, ketimbang mempertahankan hubungan denganku? Mas, kamu harus ingat dong, apa yang selama ini telah aku berikan sama kamu! Bahkan lebih berharga, dari kekayaan yang dimiliki keluarga Anisa. Aku telah memberikan segalanya demi dirimu, Mas. Kamu harus ingat semua pengorbananku itu," ungkap Ratna. Ia berkata kepada Mas Bagas, bahwa ia tidak terima jika Mas Bagas mau kembali kepadaku dan meninggalkannya."Sorry ya, Mas, Ratna. Aku meminta kalian berdua berhenti, bukan untuk memintamu kembali, Mas. Tidak ada niatan, dalam hatiku untuk kembali padamu, Mas. Sudah cukup kamu menorehkan luka padaku, bahkan semua itu tidak akan pernah bisa aku lupakan. Sekali lagi aku ingatkan kepadamu, Mas. Kamu jangan pernah bermimpi, kalau kamu mau kembali lagi kepadaku! Apalagi sampai berpikir, kalau aku akan memintamu kembali. I am sorry, Mas bro!" ucapku. Aku menolak ajakan Mas Bagas untuk kembali, sebab aku sangat muak kepadanya.Sampai kapan pun, aku enggak akan pernah sudi menerima penghianat dalam hidupku. Biarpun mereka bersimpuh di kakiku, tetapi hatiku tidak akan mudah luluh. Luka hati yang diberikan Mas Bagas dan Ratna, mampu membuatku menjadi seorang perempuan yang tegas dalam pendirian."Kalau memang niat kamu, hanya mau berbicara seperti itu. Buat apa kamu sampai meminta kami berhenti, Anisa? Buang-buang waktu saja," ujar Ratna."Ratna, aku meminta kalian berhenti, hanya mau mengingatkan kamu! Mulai saat ini, kita berdua bukan lagi sahabat ataupun teman. Kamu tidak perlu lagi menghubungiku, ataupun datang kerumahku. Paham kamu," terangku. Aku menerangkan kepada Ratna, tentang apa maksud ucapanku menyuruh mereka berhenti."Terima kasih, Ratna. Karena selama ini, kamu telah menjadi teman sekaligus sahabatku. Walaupun semua itu, kamu lakukan hanya demi modus kepadaku. Mulai detik ini, aku tidak lagi mau mendengar, kalau kamu meminta bantuku dalam hal apapun. Ingat itu, Ratna!" timpalku. Aku memperingatkan Ratna, bahwa kini hubungan kami, bukan lagi sebagai seorang sahabat."Baiklah, jika itu maumu, Anisa. Akupun tidak akan sudi lagi, menganggap kamu sebagai sahabatku. Karena dari dulu, aku tidak pernah menyukaimu. Kalau bukan karena ingin memanfaatkanmu, dari dulu aku tidak sudi berteman denganmu. Aku mendekatimu, hanya karena aku ingin hidup tercukupi. Namun, semuanya kini telah terbongkar, jadi aku tidak akan berpura-pura lagi di hadapanmu." Ratna terang-terangan mengakui, kalau dia itu berteman denganku bukan karena tulus, tetapi karena modus.Rupanya selama ini, Ratna tidak pernah menyukaiku sebagai temannya. Dia mendekatiku, hanya karena ingin memanfaatkanku. Miris benar nasibku, memiliki teman hanya ingin memanfaatkan diriku saja."Kamu itu perempuan bodoh, Anisa. Kamu mau saja, diperbudakan olehku dan juga Mas Bagas. Kamu terlalu naif jadi orang, makanya kamu mudah untuk di manfaatkan. Kamu juga menerima, Mas Bagas sebagai kekasihmu, tanpa mau mengetahui asal usulnya dulu. Bodoh kamu , Anisa, dasar perempuan bodoh! Mulai detik ini aku tidak akan membiarkan perempuan mana pun, merebut Mas Bagas dariku termasuk kamu, Anisa. Jangankan untuk merebutnya dariku, kalian tidak akan membiarkanku pergi. Ingat itu!" ucap Ratna panjang lebar, ia malah balik mengancamku.Bersambung..."Ya sudahlah, Mas, ayo kita pergi! Nggak ada gunanya lagi, kita berlama-lama disini. " Ratna mengajak Mas Bagas untuk pergi.Tetapi sebelum mereka benar-benar pergi, aku segera menyuruhnya untuk tetap di tempat semula. Aku masih belum selesai bicara, masih ada hal yang ingin aku sampaikan lagi kepada mereka."Tunggu, kalian jangan pergi dulu! Aku belum selesai bicara, dasar pasangan tidak tahu etika! Kalian, jangan pernah meninggalkan tempat ini, sebelum aku perintahkan! Kalian berdua paham?" tanyaku. Aku meminta mereka, supaya tetap di tempat. Karena aku masih ada pembicaraan yang belum selesai."Apalagi sih, Anisa? Bukannya tadi kamu, yang menyuruh kami untuk segera pergi? Kenapa sekarang kamu malah melarang kami pergi?" Ratna bertanya kepadaku, ia juga malah membalikan semua ucapanku.Ratna, sekarang berubah menjadi sangat sinis, jika sedang berbicara denganku. Sangat berbeda dari biasanya, dulu ia selalu lemah lembut dala
"Kenapa kamu bilang begitu, Anisa? Apa kamu tidak menyukaiku? Padahal aku ini pria baik-baik lho, Nia. Berbeda sekali dengan mantan pacarmu tadi," ujar Mas Andre."Iya, Nis, kenapa kamu menolak Nak Andre? Apa alasan kamu menolak dia?" tanya Papa."Karena Mas Andre galak, Pah. Pasti kalau nanti kami sampai menikah, setiap hari aku akan dikasarin terus sama dia, Pah! Makanya, Anisa nggak mau nikah sama, Mas Andre. Pah, nggak usah dilanjut ya nikahnya! Biar nanti, Anisa sendiri yang mencari calon suami buat Anisa." Aku menolak keinginan Papa, aku pun meminta Papa, supaya membatalkan niatnya itu.Aku tidak mau, kalau sampai nanti setelah menikah. Rumah tangga kami berdua, hanya akan dihiasi dengan pertengkaran. Karena tidak didasari rasa cinta, yang tumbuh di dalam hati sanubari kami berdua."Anisa, sudah sejak lama Papa mau menjodohkanmu dengan Nak Andre, tetapi waktu itu kamu bilang sudah ada, Bagas. Makanya, Papa menurut
"Sah ...," ucap mereka serempak."Alhamdulillah," ucap Pak Penghulu. Kemudian, beliau melanjutkannya, dengan doa.Setelah itu, Mas Andre membaca sighat taklik pernikahan. Kemudian dilanjutkan dengan acara yang lainnya, serta di susul dengan acara resepsi pernikahan. Alhamdulillah, acara pernikahanku pun berlangsung khidmat dan lancar. Rupanya, mas kawin yang diberikan Mas Andre kepadaku. Tadinya untuk kado untukku, tetapi sekarang ia alih fungsikan, dengan menjadikan sebagai mas kawin untukku. Acara resepsi pernikahan, yang digelar pun dengan begitu mewah dan meriah. Walaupun kini berganti mempelai pria, tetapi semuanya tetap berjalan dengan lancar."Bu Anisa, Pak Andre selamat ya. Semoga kalian berdua, menjadi keluarga yang samawa." Mirna, mengucapkan selamat, kepadaku, saat acara resepsi berlangsung."Iya, Mirna, terima kasih ya," sahutku."Iya, Bu. Maafkan saya ya, Bu! Karena, saya telah menutupi kejahat
Saking capeknya, sehingga rasa kantuk datang begitu cepat. Tidak terasa aku pun terlelap, walaupun hanya tidur di sofa.Saat dalam tidur, aku bermimpi. Aku bertemu dengan seorang pangeran berkuda. Ia menjadikanku istrinya, aku diperlakukan seperti seorang putri raja. Ia begitu lembut, memperlakukanku. Sang Pangeran, meletakkanku ke atas kasur, yang sangat empuk dan juga indah . Ia pun mengecup keningku, hati ini merasa bahagia mendapat perlakuan romantis dari sang pangeran. Berbeda sekali, dengan kenyataannya. Aku, malah bersuamikan Mas Andre, yang menurutku paling jutek di dunia. Dia tidak memberikan keromantisan untukku, seperti yang Pangeran kakukan dalam mimpiku.*****"Aa ... aa ... a," jeritku, saat aku membuka mata saking kagetnya.Bugh!"Aduh," kataku. Aku mengaduh, saat sebuah bantal
"Maaf ya, Mas, kalau membuatku menunggu lama," sahutku.Kemudian, kami pun shalat subuh berjamaah. Ternyata, Papa memang tidak salah dalam memilihkanku suami. Ia, seorang yang taat akan agamanya, walaupun sifatnya selalu jutek padaku. Mungkin semuanya ini butuh proses untuk kami, supaya kami bisa menjadi suami istri yang romantis. *****"Mas, aku izin sama kamu, aku mau pergi ke kamar Papa dulu ya! Aku mau bangunin Papa, barangkali saja Papa masih tidur karena kecapekan." Aku meminta izin kepada Mas Andre untuk membangunkan Papa."Nisa, kenapa kamu mesti nyamperin ke kamar, Papa? Kenapa, nggak bangunin Papa lewat telepon aja? Kamu mah segalanya di bikin ribet," ucap Mas Andre, ia juga bertanya alasannya kenapa aku mesti nyamperin Papa kekamarnya."Nggak, Mas, lebih baik aku s
"Iya, Nis. Ayo kita pergi ke kamarmu, sebab Papa mau pamit sama suamimu," sahut Papa, sambil menutup pintu kamarnya, kemudian mengajakku kembali ke kamarku.Aku dan Papa pun berjalan menuju kamarku, yang tidak berada jauh dari kamar Papa. Hanya perlu berbelok saja. Kami berdua berjalan berdampingan. Aku berjalan, sambil bergelayut manja di tangan Papa, kepalaku pun aku senderkan ke pundaknya Papa. Perlakuan seperti itulah, yang selalu membuatku nyaman, bila sedang bersama Papa.Aku memang sangat manja kepada Papa. Makanya, Mas Andre selalu bilang, kalau aku adalah seorang anak manja, yang hanya bisa berada di bawah ketiak Papa. Aku hanya memiliki Papa, jadi aku hanya bisa bermanja kepadanya. Andai Mama belum meninggal, mungkin aku juga akan manja kepada Mamaku."Nis, kamu yang baik ya, ladenin suamimu. Ia adalah imammu sekarang," pesan Papa, saat kami menuju kamarku."Iya, Pah, tapi Mas Andrenya saja yang suka n
Mendengar perkataan, Mas Andre dan Papa membuatku kesal dan juga malu. Saking kesalnya, aku pun tidak lagi berkata apapun. Aku tidak ikut berkomentar, dengan apa yang sedang dibahas Papa dan Mas Andre.'Ih lagian salah, Papa juga. Kenapa dia nikahin aku sama manusia dingin dan jutek macam begini? Coba kalau Papa cari orangnya yang lebih seru, mungkin akan asyik menikmati malam pertama tadi. Ini boro-boro berbuat yang asyik-asyik, tapi Mas Andre malah bikin aku naik darah melulu. Bagaimana aku mau punya anak, kalau suaminya saja jutekin aku melulu,' gumamku."Ya sudah, Papa pergi dulu ya! Kalian baik-baik di sini, yang akur-akur ya, biar cepet punya dede bayi." Papa pamit, sambil kembali berpesan tentang keinginannya untuk memiliki cucu."Iya, Pah. Papa nggak usah khawatir, Andre akan menjaga Anisa kok, Pah." Mas Andre menyahut ucapan Papa.Setelah pamit, Papa pergi dari kamar kami. Mas Andre pun, kembali memainkan
"Cantik," lirihnya, ucapan Mas Andre hampir saja tidak terdengar olehku saking pelannya."Apa, Mas, kamu barusan bilang apa?" Aku bertanya kepada Mas Andre, barangkali saja telingaku salah mendengar, dengan apa yang diucapkan oleh suamiku itu."Oh, ng ... nggak kok, aku nggak bilang apa-apa. Kamu salah dengar kali, Nis. Sudah ah, ayo kita turun mumpung masih pagi! Setelah sarapan, nanti sekalian kita jalan-jalan ketaman," ajaknya.Mas Andre pun mengajakku untuk yang kedua kalinya, tapi menurutku ada yang aneh, dengan nada bicaranya. Ia tidak sejutek dan sesinis seperti tadi, malahan kedengarannya terasa lembut di telingaku.Setelah mengajakku, Mas Andre pun duluan melangkah, kemudian aku mengekorinya dari belakang. Namun, setelah berada di luar, ia memintaku untuk menggandeng tangannya. Rasanya aneh banget, dengan permintaannya ini. Biasanya juga ia selalu mengejekku, tapi kali ini Mas Andre malah memintaku, supay
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k