"Iya, Pah ini calon suaminya, Nisa." Aku menjawab pertanyaan Papa."Sudah berapa lama, kalian berhubungan?" tanya Papa.Papa bertanya, tentang hubungan kami sudah berjalan berapa lama. Aku pun menjadi bingung, aku juga merasa takut, kalau Mas Bagas bilang baru dua hari. Jika berkata seperti itu, pastinya nanti Papa akan curiga kepadaku."Kami sudah berhubungan sekitar satu bulan yang lalu, Pah." Aku sengaja menjawab duluan, supaya jawaban Mas Bagas nanti bisa akurat."Lho, kok kamu yang jawab sih, Nisa. Papa kan nanyanya sama, Dia? Siapa tadi namanya, Papa lupa?" Papa bertanya nama Mas Bagas, ia juga protes kenapa aku yang menjawab pertanyaan darinya."Namanya Bagas, Pah," sahutku.Aku kembali menjawab pertanyaan dari Papa, mewakili Mas Bagas."Oh iya, Nak Bagas, kamu kerja di mana?" tanya Papa pura-pura tidak tahu."Mas Bagas, kerja di perusahaan Papa. Kan tadi, Anisa sudah bilang sama Papa. Aku kembali menjawab pertanyaan yang Papa lontarkan untuk Mas Bagas."Nisa, Papa nanya sama
Aku sampai bengong, mendengar Papa mempertanyakan hal tersebut kepada Mas Bagas. Ternyata dibalik sikap Papa yang tegas, Papa juga begitu mengkhawatirkan aku. Papa tidak rela, jika aku seorang anak gadis satu-satunya, menderita karena cinta."I ... iya, Om, sa ... saya sanggup." Mas Bagas berkata sampai terbata, mungkin karena saking gugupnya."Kenapa bicaranya gugup begitu, Nak Bagas? Apa bukan dari hati mengatakannya?" tanya Papa kepada Mas Bagas."Ti-tidak, Om. A-aku benar-benar mencintai anak om kok, dari hatiku yang paling dalam." Mas Bagas menjawab pertanyaan Papa.Mas Bagas terus berkata gugup, hingga membuat Papa bertanya. Aku pun heran sama dia, kenapa menjawab pertanyaan Papa saja sampai gugup? Padahal kalau memang benar ia menyukaiku, seharusnya tidak perlu merasa gugup seperti itu, justru seharusnya ia harus bersikap tegas."Baiklah, Bagas, kita lihat saja nanti. Kalau sampai ucapan kamu tidak sesuai dengan kenyataannya, jangan salahkan, Om, kalau Om sendiri yang akan tur
Aku yang mendengarkan setiap perkataan Papa, begitu terharu dan tidak dapat membendung air mata yang memaksa keluar. Ternyata sebesar itu rasa sayangnya Papa padaku. Aku tidak menyangka karena demi aku, Papa rela menduda, sampai puluhan tahun."Papa, maafin Anisa ya. Anisa tidak tahu, kalau selama ini ternyata Papa begitu mengedepankan perasaan Anisa, ketimbang egonya Papa. Maafin semua salah Anisa ya, Pah!" ucapku."Iya, Nisa, Papa maafin kamu kok. Bahagia Papa itu gampang, Anisa. Asalkan kamu bahagia, Papa pun ikut bahagia. Tetapi sebaliknya, jika kamu terluka. Maka Papa yang akan lebih terluka dari pada kamu. Paham kan, Nisa?" tanya Papa."Iya, Pah, Anisa paham sekarang," jawabkuAku berkata, sambil menghambur ke dada Papa. Papa pun membalas dengan memelukku erat. Ia mencium pucuk kepalaku yang terbungkus kerudung, sambil mengusapnya dengan lembut."Syukurlah kalau kamu sudah paham," ungkap Papa."Iya. Pah, Anisa paham. Anisa akan tetap bahagia, Anisa tidak akan bersedih lagi demi
"Lagian juga, jika nanti kalian berdua berjodoh, rumah ini juga akan menjadi rumah kalian juga. Makanya kalimantan sungkan-sungkan, Nak Bagas." Papa, menyuruh Mas Bagas untuk makan dan menganggap rumah Papa sebagai rumahnya sendiri."Terima kasih, Om," sahut Mas Bagas."Iya, Mas, kamu jangan sungkan ya," timpalku.Kami pun akhirnya makan dengan tenang, tanpa bersuara sedikitpun. Mas Bagas juga kelihatannya begitu menikmati, masakan yang dihidangkan ini. Aku pun merasa bahagia melihatnya, apalagi sudah mendapat restu dari Papa.*****"Ratna, hari iniaku sedang bahagia ... banget," kataku memulai pembicaraan."Memangnya ada apa, Nisa? Kamu baru menang lotre atau apa?" tanya Ratna dengan raut wajah heran."Bukan begitu, Ratna, tetapi ada hal lainnya. Ratna terima kasih ya, kamu sudah memperkenalkan aku sama Mas Bagas. Kini kami telah resmi menjadi pasangan kekasih, Papa juga sudah merestui." Aku menceritakan isi hatiku kepada Ratna.Aku curhat dan juga berterima kasih, saat dia berkunjun
"Eng ... enggak, kok, Nis. ATMnya gak kenapa-napa, cuma saja ...!" Ratna, menggantung ucapannya."Cuma apa, Ratna? Kamu kalau ngomong yang jelas dong , biar aku bisa paham," desakkuAku meminta Ratna, supaya ia berbicara yang jelas dan jangan bertele-tele. Karena aku tidak suka, jika ceritanya sengaja dibelit-belit seperti benang kusut. "Tapi, Nisa, kamu jangan marah ya," pintanya."Kenapa juga aku mesti marah sama kamu, Ratna? Memangnya kamu berbuat salah ya sama aku?" tanyaku.Aku semakin heran dengan sikap Ratna, yang tidak biasa. Entah mengapa dia terus berkata seperti itu, sebab aku merasa kalau Ratna tidak memiliki salah kepadaku."Jadi begini, Nis. Saldo di dalam ATMnya, cuma tersisa satu juta. Tadinya 'kan, saldomu ada lima puluh satu juta terus kemaren dibeliin perlengkapan buat Bagas. Total semuanya habis empat puluh juta, termasuk beli handphone," terang Ratna. "Iya, Ratna, terus yang sepulu jutanya kemana ?" tanyaku lagi."Uang yang sisa sebelas juta, aku pake sepuluh ju
Ia pikir karena Papa banyak uang, maka aku akan bebas untuk menghamburkannya sesukaku. Tanpa dia tahu, kalau uang yang ada di ATM-ku tersebut, adalah uang hasil aku menyisihkan, dari jatah bulanan yang Papa berikan."Iya, Ratna, tidak apa kok. Tapi benar ya, nanti kamu ganti uangku." pintaku. Aku meminta supaya Ratna mengganti tangerang ia pakai dari ATM-ku. Padahal aku tahu, kalau selama ini dia tidak pernah mengembalikan apapun dan sepeserpun. Walaupun dia bilang meminjam uang, ataupun barang kepadaku. Ratna tidak pernah berniat untuk mengembalikannya kepadaku. Ia menganggap semua yang diucapkannya dengan kata meminjam, tetapi kenyataannya itu adalah memintanya dariku. Semua itu ia sering lakukan kepadaku ataupun kepada Papa. Tetapi aku ataupun Papa, selalu tidak pernah jera untuk membantunya. Kami selalu merasa simpati melihatnya."Baiklah, Anisa, aku pasti akan membayarnya kok. Kamu memang sahabat terbaik, yang aku miliki, Nisa. Kamu selalu mengerti, dengan kondisiku," ujar Ratna
"Iya diajak dong, Mas. Mada iya tidak," sahutku. Aku merasa sebal, saat mendengar Mas Bagas begitu perhatian sama Ratna. Tetapibaku menutupi perasaanku ini, dengan memberi senyuman kepadanya. Supaya tidak terlalu ketara, kalau hatiku ini berkata lain."Ya sudah kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajakku kemudian, sambil memberikan kunci Mobilku kepada kekasihku."Iya ayo," sahut mereka berdua.Kami pun berpamitan terlebih dulu, kepada Papa dan juga Bi Minah. Kemudian kami pun segera pergi, setelah pamit kepada Papa dan juga Bi Inah. Kami bertiga pun berjalan menuju mobilku, yang akan membawa kami ke tempat tujuan. "Nis, aku mau duduk di depan, ya. Soalnya aku suka mual-mual, kalau duduknya di belakang," pinta Ratna. Ia meminta, supaya dia bisa duduk di depan."Ya sudah kalau begitu, aku saja yang nyetir ya, Mas." Aku meminta, supaya aku yang membawa mobilnya.Karena Ratna meminta ingin duduk di depan, aku langsung berinisiatif, kalau aku yang akan membawa mobilnya. Masa iya sih aku ha
Mas Bagas melajukan mobil ke arah tempat tujuan, sepanjang jalan mereka ngobrol dan juga tertawa bersama, seolah tidak ada aku disana. Sedangkan aku diam saja, sebab yang mereka bahas adakah tentang pertemanan mereka dan kebersamaannya.Sesampainya di tempat yang kami tuju, Mas Bagas menghentikan laju mobil, kemudian memarkirkannya. Tempat yang kami datangi saat ini, adalah sebuah tempat wisata alam. Suasananya sangat sejuk dan pemandangannya, sangat memanjakan mata.Aku sangat terpesona, dengan hamparan bunga, yang sedang mekar berwarna-warni. Tidak menunggu perintah, aku segera meluncur ke arah hamparan bunga tersebut. Hati yang tadi sedang gondok pun, menjadi terobati, setelah melihat semua ini."Ratna, ayo kemari! Lihat, bunganya cantik-cantik!" seruku."Iya, Nis, sebentar," sahutnya.Aku memanggil Ratna, yang sedang tertawa dengan Mas Bagas. Namun entah apa, yang membuat mereka tertawa. Ratna pun kemudian menghampiriku, disusul oleh Mas Bagas di belakangnya. Suasana taman bunga
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k