"Anisa, bukanlah uang segitu tidak ada apa-apanya buat kamu? Masa Iya sih, kamu nggak mau modalin calon kekasihmu? Lagian juga ini semua untuk penampilan calon suami kamu, biar lebih pede ketika bertemu dengan Papamu." Ratna mendesaknya, supaya aku memberi uang tersebut.Ia juga memberikan alasan, kalau uang yang ia minta itu untuk menunjang penampilan Bagas. Supaya Bagas tidak minder lagi saat bertemu Papa. Namun tetap saja aku juga mesti tahu, kemana saja uang sebanyak itu."Iya, Ratna, tapi untuk apa saja uang dua puluh juta itu?" Aku bertanya kembali kepada Ratna, tentang fungsi uang dua puluh juta tersebut."Begini ya, Anisa. Bagas itu tidak mempunyai pakaian, serta sepatu yang bagus untuk menunjang penampilannya. Dia juga harus pergi ke salon, supaya kelihatan lebih tampan dan terawat. Jangan sampai Papa kamu melihat Bagas, hanya dengan sebelah mata. Walaupun Bagas bukan orang kaya sepertimu, tetapi jika melihat penampilannya berkelas. Bukankah akan kelihatan berkelas juga nanti
"Iya dong, Nisa. Aku memang ikut seneng, soalnya kamu sudah tidak jomblo lagi, selamat ya sahabatku," ujar Ratna, sambil memelukku"Oh ... begitu, terima kasih ya, Ratna. Kamu emang teman terbaikku," timpalku. Aku pun membalas pelukan Ratna, kami berdua saling berpelukan saling bahagianya."Nis, mana uangnya? Aku mau segera pulang, aku juga akan segera mengabari Bagas. Pasti dia seneng banget, saat mendengar kamu menerima cintanya." Ratna meminta uang untuk merubah penampilan Bagas. Ia pun mengurai pelukan kami."Oh iya, Ratna, sebentar ya." Aku berdiri untuk mengambil dompet, dari tas yang tadi siang aku pakai."Ini, Rat, pakai aja kartu debitku. Soalnya aku nggak punya uang kes sebanyak itu di rumah, jadi harus narik dulu. Saldonya juga kalau gak salah, masih sekitar lima puluh jutaan. Masih ada sisa, dari yang kamu minta." Aku menyerahkan kartu ATMku kepada Ratna."Kenapa kamu nggak pakai kartu kredit saja, Nisa? Kalau pakai debut 'kan, nanti uang tabungan kamu habis." Ratna ber
Setelah Ratna menghilang dari pandangan, aku pun kembali ke dalam rumah. Aku mau makan karena perut sudah berbunyi, minta diisi dari tadi. Semoga saja Ratna amanah, dia tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.*****Setelah salat Isya, aku tidak keluar kamar lagi Aku menonton televisi di kamar, sambil menunggu mata ngantuk. Aku menonton sinetron kesayanganku, yang sedang viral saat ini, yaitu sinetron ikatan cinta. Pada saat aku sedang asyik menonton film Andin, suara handphone-ku berbunyi. Aku pun segera mengambil benda pipih tersebut, yang berlogo apel digigit. Benda pipih itu tergeletak, di atas meja depan sofa yang sedang aku duduki. Aku juga segera membuka kunci layar, untuk melihat siapa yang menghubungiku. Rupanya notifikasi tadi, chat dari nomer yang tidak aku kenal. Aku penasaran siapa orang ini, lalu segera aku baca chat tersebut.[Assalamualaikum, Anisa. Mungkin kamu heran ya, kenapa ada nomer baru mengirim chat kepadamu. Ini nomerku, Nis, Mas Bagas. Begini, Nisa, Ma
Lama menanti balasan, yang tidak kunjung ada, sampai akhirnya kantuk pun datang. Aku pun mematikan televisi dan naik ke atas spring bed king size milikku. Lampu kamar pun di ganti dengan lampu tidur, serta tidak lupa memakai selimut super tebal, tetapi bahannya tidak panas. *****"Nis, kapan calonmu, akan menemui Papa?" Papa kembali bertanya kepadaku, tentang calon suamiku kapan akan menemuinya. Papa bertanya kepadaku, pada saat kami akan sarapan bersama."Nanti Nisa akan menanyakannya dulu ya, Pah. Kapan waktunya dia bisa menemui Papa," jawabku.Aku menjawab pertanyaan Papa dengan perasaan yang lumayan lega, soalnya aku merasa yakin, kalau Mas Bagas telah siap menemui Papa."Ok, Nisa, Papa tunggu ya," ujar Papa, sambil menyendok nasi."Iya, Pah, pokoknya Papa tenang saja ya. Anisa pasti akan membawa calon suami Anisa ke hadapan Papa," sahutku."Iya, Anisa, Papa akan tetap menunggu kapanpun itu. Ayo kita sarapan dulu," ajak Papa.Setelah itu kami pun makan dengan tenang, selesai maka
[Iya silahkan, Nisa! Kebetulan sekali, Mas juga belum ada kegiatan di kantor.] balasan dari Mas Bagas. Rupanya ia sudah berada di kantor saat ini.'Anak, yang baik," gumamku. Aku pun menganti chat dengan vidio call dan panggilan pun berdering. Mas Bagas pun menerima sambungan vidio dariku, wajah Mas Bagas kini berada di layar handphone milikku. Ternyata betul apa kata dia, kalau kini dia sedang berada di kantor, tepatnya berada di depan meja kerjanya."Ada apa, Nis? Kamu kangen ya sama, Mas?" tanya Mas Bagas, saat vidio kami telah tersambung."Ih ... apaan sih kamu, Mas?" tanyaku. Aku berpura-pura tidak kangen dengannya, padahal sebenarnya aku juga sedang merindukannya.'Kok dia tau saja sih, kalau aku sedang kangen sama dia,' kataku dalam hati."Kamu jangan bohong deh, Nis. Soalnya Mas tau kok ekspresi orang yang sedang kangen," ujarnya.Perkataannya membuat aku tambah malu, aku menjadi salah tingkah, sebab malu dibilang begitu oleh Nas Bagas. Dia juga pasti melihat wajahku langsun
"Iya, Pah ini calon suaminya, Nisa." Aku menjawab pertanyaan Papa."Sudah berapa lama, kalian berhubungan?" tanya Papa.Papa bertanya, tentang hubungan kami sudah berjalan berapa lama. Aku pun menjadi bingung, aku juga merasa takut, kalau Mas Bagas bilang baru dua hari. Jika berkata seperti itu, pastinya nanti Papa akan curiga kepadaku."Kami sudah berhubungan sekitar satu bulan yang lalu, Pah." Aku sengaja menjawab duluan, supaya jawaban Mas Bagas nanti bisa akurat."Lho, kok kamu yang jawab sih, Nisa. Papa kan nanyanya sama, Dia? Siapa tadi namanya, Papa lupa?" Papa bertanya nama Mas Bagas, ia juga protes kenapa aku yang menjawab pertanyaan darinya."Namanya Bagas, Pah," sahutku.Aku kembali menjawab pertanyaan dari Papa, mewakili Mas Bagas."Oh iya, Nak Bagas, kamu kerja di mana?" tanya Papa pura-pura tidak tahu."Mas Bagas, kerja di perusahaan Papa. Kan tadi, Anisa sudah bilang sama Papa. Aku kembali menjawab pertanyaan yang Papa lontarkan untuk Mas Bagas."Nisa, Papa nanya sama
Aku sampai bengong, mendengar Papa mempertanyakan hal tersebut kepada Mas Bagas. Ternyata dibalik sikap Papa yang tegas, Papa juga begitu mengkhawatirkan aku. Papa tidak rela, jika aku seorang anak gadis satu-satunya, menderita karena cinta."I ... iya, Om, sa ... saya sanggup." Mas Bagas berkata sampai terbata, mungkin karena saking gugupnya."Kenapa bicaranya gugup begitu, Nak Bagas? Apa bukan dari hati mengatakannya?" tanya Papa kepada Mas Bagas."Ti-tidak, Om. A-aku benar-benar mencintai anak om kok, dari hatiku yang paling dalam." Mas Bagas menjawab pertanyaan Papa.Mas Bagas terus berkata gugup, hingga membuat Papa bertanya. Aku pun heran sama dia, kenapa menjawab pertanyaan Papa saja sampai gugup? Padahal kalau memang benar ia menyukaiku, seharusnya tidak perlu merasa gugup seperti itu, justru seharusnya ia harus bersikap tegas."Baiklah, Bagas, kita lihat saja nanti. Kalau sampai ucapan kamu tidak sesuai dengan kenyataannya, jangan salahkan, Om, kalau Om sendiri yang akan tur
Aku yang mendengarkan setiap perkataan Papa, begitu terharu dan tidak dapat membendung air mata yang memaksa keluar. Ternyata sebesar itu rasa sayangnya Papa padaku. Aku tidak menyangka karena demi aku, Papa rela menduda, sampai puluhan tahun."Papa, maafin Anisa ya. Anisa tidak tahu, kalau selama ini ternyata Papa begitu mengedepankan perasaan Anisa, ketimbang egonya Papa. Maafin semua salah Anisa ya, Pah!" ucapku."Iya, Nisa, Papa maafin kamu kok. Bahagia Papa itu gampang, Anisa. Asalkan kamu bahagia, Papa pun ikut bahagia. Tetapi sebaliknya, jika kamu terluka. Maka Papa yang akan lebih terluka dari pada kamu. Paham kan, Nisa?" tanya Papa."Iya, Pah, Anisa paham sekarang," jawabkuAku berkata, sambil menghambur ke dada Papa. Papa pun membalas dengan memelukku erat. Ia mencium pucuk kepalaku yang terbungkus kerudung, sambil mengusapnya dengan lembut."Syukurlah kalau kamu sudah paham," ungkap Papa."Iya. Pah, Anisa paham. Anisa akan tetap bahagia, Anisa tidak akan bersedih lagi demi
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k