"Nih, begini cara mengirisnya, Anisa! Kamu lihat baik-baik, bagaimana caranya kalau mengiris bawang." Mbak Maya memberi contoh, dengan cara mempraktekannya."Sini, Mbak, biar aku coba," ujarku.Aku meminta kembali, bawang yang sedang diiris Mbak Maya tersebut, supaya aku bisa mempraktekkannya. Disaat aku sedang mengiris bawang, Mbak Maya terus saja bertanya, tentang semua hal. Namun, aku hanya menjawab alakadarnya saja. Bahkan, Mbak Maya pun bertanya, tentang masalah pribadi, antara aku dan Mas Andre."Anisa, apakah kalian berdua, sudah pernah melakukan malam pertama?" Mbak Maya, bertanya hal yang sangat intim dan juga sensitif menurutku."Kenapa, Mbak, kok nanyanya pribadi sekali?" Aku balik bertanya kepada Mbak Maya, aku ingin tahu apa maksudna dari pertanyaan tadi."Nggak, apa-apa sih, Mbak, hanya kepingin tahu aja! Soalnya 'kan, kalian menikah itu bukan atas dasar suka sama suka, tetapi karena ter
"Tapi semua ini juga ada aku 'kan, Mbak." Aku berkata tidak mau kalah."Iya memamg kamu membantuku, tetapi aku yang memasak, jadi aku yang lebih banyak kerja. Sedangkan kamu apa? Disuruh ngiris bawang saja, kamu nggak becus," ujar Mbak Maya."Ya sudah, terserah Mbak saja," ucapku, sambil berlalu membawa masakan, yang telah jadi untuk dihidangkan di meja makan.Walaupun memasak sambil mendengarkan ucapan Mbak Maya yang tidak mengenakan hati. Tetapi masakan kami pun pada akhirnya selesai juga, walau dengan telingaku yang harus pengang, serta hati yang bergemuruh menahan emosi. Selesai memasak, aku dan Mbak Maya menata masakan, serta menyiapkan piring dan perlengkapan untuk makan lainnya. Setelah semuanya tersedia di atas meja, aku memanggil Mas Andre untuk mengajaknya makan. Kemudian, kami bertiga pun segera makan bersama-sama. Mungkin, sudah menjadi kebiasaan bagi Mbak Maya, walaupun sedang makan, ia terus saja mengoceh. Mbak
Aku berbicara panjang lebar, sampai berkata kasar untuk mengungkapkan semua unek-unek yang ada di dalam hatiku, serta akibat dari luapan emosi. Aku malah tidak jadi makan karena mendengar ucapan Mbak Maya tersebut, tetapi aku segera berdiri dan pergi dari hadapan Mas Andre dan Mbak Maya. Aku mengambil tas selempang, yang ada di kursi ruang keluarga dan segera keluar dari rumah itu. Aku merasa muak, jika harus berlama-lama bersama dengan Mbak Maya, yang mulutnya rese. Bisa-bisa aku terkena darah tinggi, kalau harus terus menerus berada di dekatnya."Nis, mau kemana?" tanya Mas Andre, tetapi tidak aku gubris.Sudah, Andre, biarin saja dia pergi. Dasar cengeng, begitu saja kok ngambek." Mbak Maya malah menyuruh Mas Andre, supaya membiarkan aku pergi.Aku terus saja berlalu dari ruang makan.Aku berjalan tergesa-gesa menuju halaman, serta segera membuka pintu gerbang. Aku kemudian berjalan menuju jalan raya untuk menyetopkan taksi atau k
"Anisa, Mas berharap sama kamu, supaya kamu jangan sampai terpengaruh oleh ucapan, Mbak Maya. Kamu jangan seperti mantan pacar Mas dulu, yang mudah sekali terpengaruh oleh ucapannya Mbak Maya." Mas Andre memintaku, supaya aku tidak terpengaruh oleh Kakak iparnya itu."Mas, pasti bohong, 'kan? Aku nggak percaya sama, Mas. Karena apa yang di bilang Mbak Maya sangat berbeda sekali, dengan apa yang radi Mas bilang kepadaku," ujarku.Aku mengomentari ucapan suamiku, sebab aku tidak begitu saja percaya, dengan ucapan Mas Andre tersebut. Walaupun Mas Andre telah menerangkannya kepadaku, dengan panjang lebar."Apa yang Mas katakan itu, semuanya bener, Nisa? Kamu harus percaya sama, Mas. Sebab apa yang Mas katakan semuanya benar. Asal kamu tahu, Nis. Kalau waktu itu, Mas hampir saja menikah, dengan mantan pacar Mas. Tetapi semuanya gagal, gara-gara ulahnya Mbak Maya," ujar Mas Andre."Masa sih, Mas? Kok bisa ya, Mas, ada o
"Kok kamu ngomongnya begitu sih, Nisa? Apa kamu selama ini nggak percaya sama, Mas?" Mas Andre, malah balik bertanya kepadaku, kalau aku ini percaya kepadanya atau tidak."Maaf, Mas, kalau aku belum sepenuhnya percaya sama, Mas. Karena, Mas, kemarin nikahin aku bukan karena Mas cinta sama aku, tetapi karena Papa yang meminta. Sebenarnya Mas terpaksa 'kan, nikah sama aku?" tanyaku.Aku menanyakan alasan, kenapa Mas Andre mau menikah denganku. Padahal dia tidak mencintaiku."Mas, aku melihat kalau Mbak Maya, sepertinya sangat mencintaimu. Ia juga bilang, kalau Mas sebenarnya mencintai dia. Mbak Maya memberitahuku, kalau Mas juga pernah mengungkapkan perasaan kamu terhadapnya. Kata Mbak Maya, Mas Andre pernah mengungkapkan perasaan Mas terhadapnya. Waktu itu Mas telah mengatakan cinta kepada Mbak Maya, tetapi waktu itu suaminya Mbak Maya masih hidup. Apa itu benar, Mas?" tanyaku.Aku mengatakan, apa yang tadi aku dengar la
Mas Andre membujukku, supaya aku mau di ajak masuk lagi ke rumahnya. Aku pun menyetujui ajakan suamiku itu. Apalagi saat mendengar, kalau dibelakang rumah ada taman."Ok, Mas, kalau begitu aku mau kembali. Tapi benar ya, nanti setelah makan Mas akan mengajakku ke taman? Aku sumpek, Mas, kalau terus melihat Mbak Maya terus. Mataku butuh penyegaran, jadi aku harus melihat pemandangan untuk cuci mata." Aku mengungkapkan semua yang aku rasa saat ini."Iya, Nisa. Apalagi besok pagi, kita 'kan diminta Papa untuk datang ke kantor, buat mengurus cabang yang tadinya dipimpin Bagas. Betul tidak?" tanya Mas Andre, ia membenarkan ucapanku.Mas Andre mengajakku kembali kerumahnya, ia juga mengajakku untuk cuci mata untuk melihat taman bunga, yang ada di belakang rumahnya. Mas Andre juga mengingatkanku, kalau besok pagi harus ke kantor cabang sesuai perintah Papa. Aku disuruh Papa untuk menyelesaikan urusanku, dengan kedua cecunguk yang bernama B
"Mbak Maya, nggak sih, Mbak, kalau bicaranya sedikit saja baik untukku. Mbak, tidak perlu berkata seperti itu, karena bagaimana pun ini adalah rumah mertuaku juga. Kita di sini punya hak yang sama ya, Mbak. Kita sama-sama sebagai menantu," ungkapku."Tapi, kamu itu baru menjadi menantu di sini. Sedangkan aku sudah lama, serta sudah memiliki anak?" Mbak Maya ngeles."Biarpun aku baru di keluarga ini, tapi suamiku masih hidup, Mbak. Jadi aku lebih berhak tinggal disini, Mbak. Aku mau datang atau pergi, ya terserah aku. Mbak nggak usah ngatur-ngatur aku dan nggak ada hak untuk itu! " Aku mengungkapk
"Sudahlah, Mbak, nggak usah diperpanjang lagi, ini cuma masalah sepele kok. Lagian juga aku masih mampu untuk mengambilnya sendiri. Lagian juga Anisa baru beberapa hari menjadi istriku, makanya ia belum terbiasa dengan semuanya ini," sahut Mas Andre.Mas Andre benar-benar membelaku, dihadapan Mbak Maya ini. Aku merasa percaya diri sekarang, sebab suamiku membelaku di hadapan orang yang mau menjatuhkanku."Mbak Maya, kalau memang Mbak mau membantu Anisa, supaya menjadi istri yang berbakti kepada suami, aku akan sangat berterima kasih sama Mbak. Tetapi jika Mbak Maya cuma mencari celah kesalahannya Anisa, hanya untuk sekedar mengatainya, lebih baik Mbak diam saja." Mas Andre berkata lagi mengomentari ucapan Mbak Maya iparnya."Kok, kamu malah bicara seperti itu sih, Andre?" Mbak Maya sepertinya tidak suka, ketika Mas Andre berbicara seperti tadi.Mbak Maya terlihat jelas tidak suka, saat suamiku membelaku. Mas Andre juga sampai
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k