"Ini resepsi lagi, Ta?" Rani, teman sekantor sekaligus sahabat Sita mengernyitkan kening saat membaca undangan yang baru saja diberikan Sita."He'em.""Apa tidak berlebihan?""Apanya yang berlebihan?""Dimas setuju?"Sita mengangguk sambil menggoyangkan bahunya."Kapan pula lelaki itu tidak setuju denganmu ya, Ta." Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa kecil.Sita hanya menanggapi sambil tertawa renyah."Tunggu! Mau kemana?" Rani menahan tangan Sita yang terlihat akan berdiri."Memberikan undangan pada yang lain." Sita menggoyangkan undangan di tangannya."Ta." Rani menarik napas, wanita yang menggunakan setelan merah muda itu menatap Sita."Duduklah dulu," sambungnya.Sita menatap Rani tidak mengerti, tetapi karena wajah Rani terlihat serius tak urung Sita menurutinya.Rani adalah sahabat Sita. Pada Rani lah wanita cantik itu sering berkeluh kesah. Saat memutuskan bercerai dengan Dimas dulu, Rani adalah pelariannya.Rani ingat sekali, malam sebelum pembacaan ikrar
Rani menghela napas mengingat kejadian lima tahun yang lalu. Bahkan bayangan Sita pingsan di ruang persidangan hari itu masih terlihat jelas.Teriakan terkejut dan tangisan berbaur menjadi satu.Pengap.Sita akhirnya dilarikan segera ke Rumah Sakit terdekat karena suhu tubuhnya mendadak turun. Dingin. Saat itu badan Sita terasa sangat dingin.Dimas hanya menatap dengan mata basah kepergian Sita. Mantan Ayah mertuanya tegas melarang saat akan membantu Sita."Ran?"Rani tersadar dari ingatan lima tahun yang lalu mendengar suara Sita."Ada apa? Katanya mau bicara?""Ta, aku tahu kau sangat menginginkan hari ini. Hari saat kau dan Dimas bisa bersama lagi. Tapi, bisakah kau sedikit mengurangi euforia?" Rani berkata hati-hati."Maksudmu?""Ta, Dimas baru saja bercerai minggu lalu. Apa kata teman-teman yang lain kalau kau membagikan undangan ini? Tidak masalah kalau hanya selamatan kecil, tapi ini sengaja menyewa gedung, Ta.""Memangnya apa kata mereka?""Ta ….""Aku tahu, Ran. Tapi aku bisa
"Nin, istirahat dulu." Mbok Ti melongok dari pintu, melihat Hanin yang sedang sibuk berkutat di dapur."Sedikit lagi, Bu." Hanin mengelap keringat yang mengucur di dahinya.Dari selepas waktu Isya' tadi wanita itu sudah sibuk di dapur. Sudah hampir lima jam dia menyiapkan bumbu-bumbu dan bahan masakan. Sesekali dia ke kamar, mengecek dan memberi Dipta ASI. Bayi yang belum genap berusia enam bulan itu seperti paham ibunya sedang sibuk. Dia hanya menangis sedikit kalau lapar atau popoknya basah. Setelah diberi ASI dan popoknya diganti, cepat saja bayi laki-laki itu kembali terlelap."Ayamnya dipindahkan ke wadah atau dibiarkan saja di kukusan, Kak?" Saldi yang sedari tadi sibuk memasak ayam ungkep bertanya."Biarkan saja disana di sana, Sal. Tutupnya dibuka, terus kasih alas kain bersih di atas meja itu di tutupnya. Baru kau tutupkan lagi. Jangan terlalu rapat menutupnya."Saldi mengangguk. Segera melakukan perintah kakaknya."Selesai itu tidurlah. Besok kau sekolah. Sudah hampir jam s
Siang itu, satu mobil mewah berhenti tepat di depan warung Hanin. Terlihat seorang wanita cantik dengan pakaian modis keluar dari mobil. Terik matahari membuat wanita itu mengernyitkan kening. Wanita itu berjalan cepat menuju warung sambil melindungi wajahnya dengan tas yang dia bawa."Hanin."Hanin yang sedang sibuk mengisi ulang lauk dan sayuran di meja prasmanan menoleh. Sita. Wanita cantik itu berdiri menatapnya. Mau apa dia kemari? Hanin menghela napas panjang.Bergegas Hanin menemui Sita setelah pekerjaannya selesai."Ya, Ta? Mau makan di sini?" Hanin bertanya sambil menunjuk salah satu meja yang kosong. Tadi dia meminta Mbok Ti menggantikannya sebentar di meja kasir."Lumayan juga ya tempat usahamu ini." Sita mengangguk-angguk sambil melihat sekeliling."Alhamdulillah." Hanin tersenyum."Banyak juga rupanya uang yang diberikan Dimas untuk menebus harga dirimu ya." Sita tersenyum sinis menatap Hanin yang memasang wajah datar."Seharusnya kau berterima kasih pada Dimas, Nin. Kare
"Kau terlalu jumawa, Nin. Tempat usahamu ini baru saja mulai. Wajar jika masih ramai. Karena orang sedang coba-coba. Tunggu saja sebulanan lagi, pasti sudah sepi.""Jodoh, maut, rezeki, itu semua mutlak kuasa Allah, Ta. Siapa dirimu bisa memastikan rezekiku?" Hanin tersenyum menatap Sita."Kalau aku terlalu jumawa, lalu dirimu apa? Seolah yakin kau akan menjadi istri Mas Dimas kembali? Bahkan esok hari masih terlalu lama, untuk setiap detik, bagi takdir yang Allah gariskan untuk kita lalui."Sita membisu."Ngomong-ngomong. Kau masih kerja, Ta? Tidak ambil cuti? Pagi kan akad nikah lanjut resepsi? Tidak ada persiapan khusus kah?" Hanin menatap Sita bingung.Sita menarik napas panjang. Dia sebenarnya mau saja mengajukan cuti, namun keadaan di kantor tidak kondusif. Rumor tentang dia yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mantan suaminya santer terdengar.Bahkan beberapa hari yang lalu, wanita cantik itu dipanggil oleh atasannya untuk meredam rumor yang beredar. Bukan Sita namanya
"Kau bisa hadir karena aku tidak menjadi orang ketiga dalam rumah tanggamu! Kau sadar posisimu saat ini, Ta? Kau tidak lebih dari seorang pencuri hina yang datang lagi pada korbannya, meminta agar barang curiannya diikhlaskan!""Oh, kau belum ikhlas rupanya?" Sita tertawa meremehkan."Kerudungmu ini hanya hiasan, jika ikhlas tak mampu kau berikan. Cih!" Sontak Hanin menjauh. Menghindari ludah Sita."Jangan bawa-bawa kerudungku! Apa kau pikir ikhlas semudah itu datang? Kami sah bercerai belum genap dua minggu!"Hanin menarik napas panjang. Berusaha meredam emosinya yang tersulut. Hanin memilih duduk. Menenangkan diri.Sementara Sita sibuk mengibas-ngibaskan tangannya.Gerah."Pasang AC di warungmu, Nin! Panas sekali di sini.""Pergilah, Ta. Anggap kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya." Lemah suara Hanin terdengar.Dia benar-benar lelah dengan semua kelakuan Sita. Sebenarnya apa yang ditakutkan wanita ini? Bukankah dia sendiri pun menyadari kalau dirinya lebih segalanya dari Han
Hanin terbangun saat mendengar tangisan Dipta. Ini sudah yang ketiga kalinya malam ini Dipta menangis. Bergegas diraihnya bayi mungil itu. Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, Dipta langsung tenang kembali. Hanin memperhatikan lamat-lamat wajah anaknya yang sedang menyusu sambil terpejam. Ah … sungguh, dia sangat mencintai makhluk ini.Wanita itu melihat ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan jam dua dini hari. Tidak seperti biasanya, malam ini tidur Dipta seperti gelisah. Sepertinya ikatan mereka sangat kuat. Karena sebenarnya hati Hanin pun sedang gelisah.Wanita bermata teduh itu masih terbawa perasaan tentang kejadian di warung siang tadi."Sita." Suara Hanin terdengar berbisik.Hanin tidak habis pikir, entah apa yang ada di otak wanita itu hingga mendatanginya kembali. Apakah Sita benar-benar berpikir dia akan bersedia datang? Atau sebenarnya wanita itu hanya ingin menunjukkan padanya bahwa besok dia telah sah menyandang gelar sebagai Nyonya Dimas?Setetes air mata Hanin meng
Setiap kali melihat dan memikirkan Dipta, hatinya selalu merasa tercubit. Dia merasa sangat bersalah pada buah hatinya itu.Andai dulu dia menolak lamaran Dimas, mungkin dia tidak akan membuat seorang anak ini lahir dan tumbuh tanpa kehangatan kasih seorang ayah. Andai dia melakukan sedikit aturan ketat tentang jadwal dan tempat Dimas mengunjungi Rindu, mungkin saat ini mereka sedang bercengkrama di kamar, tertawa, bercanda, bergantian menimang Dipta.Andai, andai dan masih banyak andai yang lainnya.Setelah puas berkeluh kesah, Hanin akhirnya membereskan mukena dan meletakkan pada tempatnya. Kemudian wanita itu kembali berbaring sambil membelai wajah anaknya.Pun di sini.Terpisah dua puluh kilometer dari tempat Hanin membuai Dipta. Di sini, Dimas tengah membelai Rindu.Sudah beberapa malam ini Rindu memilih tidur di rumah Dimas. Gadis kecilnya itu begitu bahagia akhirnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya.Ada yang hangat di hati Dimas saat akhirnya dia bisa membayar tahu
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"