POV DILA
Seminggu berlalu …."Sah!" jawab semua orang yang menjadi saksi pernikahan kami. Pernikahan yang cukup sederhana dan hanya dihadiri oleh penghulu serta keluargaku. Dari keluarga Lingga yang hadir hanya Kak Adi dan Rahma serta anaknya. Tidak nampak kedua orangtua dan Kakeknya. Kak Adi bilang, Tante Tami sedang sakit, dan Om Bram menjaga istrinya. Sementara Kakek pergi ke luar kota. Selesai akad, acara langsung bubar. Karena memang tidak ada acara syukuran sama sekali. Pernikahan ini memang sangat sederhana. Tidak ada riasan mewah ataupun pakaian pengantin yang glamor seperti acara pernikahan Rara yang kulihat di album fotonya. Tapi tidak masalah, apapun itu aku menerimanya dengan lapang, karena aku mencintai Lingga. Kami akan berkumpul menjadi keluarga bahagia. Aku akan merasakan kebahagiaan seperti Rara.****Sore menyapa, selesai bersiap dan berganti pakaian, Lingga pun mengajak aku serta Gara untuk pindah kSatu jam berlalu. Aku telah selesai memasak cumi balado, cah kangkung, ayam goreng juga sambal terasi. Tidak tahu mereka suka atau tidak. Karena itu bahan yang ada untuk dimasak. Ada juga bayam dua ikat yang kujadikan sayur bening. Pasti mantap jika dimakan barengan cumi balado. Setelah menyiapkan semua di meja makan, aku kembali ke ruang keluarga kalau misal masakan sudah siap. "Sayang, darimana?" tanya Lingga. Ternyata dia sudah bangun dan juga sudah siap mandi. Nampak Gara juga sudah mandi. "Abis masak untuk makan malam, Mas." Terlontar juga kata Mas untuk orang yang kini sudah menjadi suamiku itu. Sebenarnya, lidahku sedikit kelu. Mungkin karena belum terbiasa. "Wah, pasti enak. Kamu mandi gih. Nanti kita makan malam bersama. Gara sudah mandi sama aku," ujarnya. Aku mengangguk dan segera berlalu ke kamar untuk mandi. ***** "Dila!" panggil Mama. Mama ini, memanggil
POV TANIA Ini sudah dua Minggu aku tinggal di rumah Mbak Lirna tanpa Dila. Tinggal bersama mereka disini kenapa menimbulkan kecemburuan sosial. Bima dan Rara, meski keduanya belum dikaruniai seorang anak tapi rumah tangga mereka sangat bahagia. Semoga saja Dila juga merasakan hal yang seperti Rara dan Bima rasakan. Terlebih Dila telah memiliki Gara. Bocah kecil lucu yang sangat tampan. "Gara, Nenek rindu sayang." "Tania! Ayo coba lagi. Kamu sudah hampir bisa jalan," teriak Mba Lirna membuatku kembali tersadar. Setiap pagi, aku dan Mbak Lirna memang selalu terapi jalan. Disini aku juga seperti nyonya besar. Tidak kekurangan apapun dan semua kebutuhan dicukupi oleh Kakak tiriku itu. "Tania! Ayo," teriaknya lagi. Aku pun jalan tertatih menghampirinya. Dengan terpaksa pun, aku mengulas senyum ke arahnya. Aku kalah dari Lirna! Semua gara-gara Mas Adrian! Hikz … sumpah batinku menangis seperti ini. Tak suka aku dengan kebahagiaan
POV DILA Sore ini aku masih berada di rumah Mas Bima dan enggan beranjak pulang. Rasanya aku ingin lebih lama berada di sini. Di rumah mertuaku, aku sama sekali tidak nyaman. Sungguh, aku ingin cepat pergi dari sana. Ingin aku ceritakan kisah rumah tanggaku pada mereka. Tapi bagaimana perasaan suamiku nantinya. Jujur, aku inginkan rumah tangga bahagia seperti Rara dan Mas Bima. Penuh suka cita dan keromantisan. Aku tidak tahu kalau syarat tinggal bersama mereka akan menyiksaku seperti ini. "Hari ini kita makan malam bersama gimana?" tanya Rara. "Nggak usah bawa Gara. Biar kalian bisa habiskan waktu berduaan. Kaya kami gini jadi berasa menikmati masa pacaran dulu," lanjutnya. "Gimana, Yang?" Aku bertanya pada Lingga. Lingga mengelus pucuk kepalaku. "Boleh juga," ucapnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan malam bersama di luar nanti. *** Malam menyapa waktu juga sudah menunjukkan pukul 7 malam. S
Tok … tok … tok …!" "Mama….!" panggil Gara. Aku segera mengusap air mata dan beranjak membuka pintu. Sebelum keluar, aku bercermin sebentar. Nampak di kaca mataku sangat sembab. "Iya, Sayang," jawabku seraya membuka pintu. "Mama, aku lapar. Tadi aku mau makan bareng dedek Ica, tapi nggak boleh sama Nenek," ucapnya menunduk. Anakku terus memegangi perutnya. Sejenak dadaku terasa sesak. Mama mertuaku benar-benar sudah kelewatan. "Tadi waktu dedek Ica makan, nggak ada Tante Rahma, Sayang?" tanyaku. "Nggak ada, Ma. Tante Rahma lagi muntah-muntah," ucapnya polos. "Ya udah, kita makan yuk ke dapur," ajakku. *** "Jangan ambil nasi itu! Saya tidak ikhlas makanan saya dimakan oleh kalian!" cegah Mama yang Tiba-tiba muncul di dapur. Aku menyunggingkan sebelah bibir tersenyum kecut. Sedikit aku gelengkan kepala menatap ke arahnya. Tatapan yang tak habis pikir dengan sikap semacam itu. Menjijikkan! Tak b
Akhirnya akupun memilih untuk mendengarkan percakapn mereka hingga seleseai terlebih dahulu. "Jujur aku mencintai istriku. Namun, aku juga masih ada rasa untukmu. Lantas bagaimana sekarang? Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur," ujar Lingga. "Brengsek. Laki-laki brengsek," gumamku. 'Tega sekali kamu Mas ….' "Aku juga tidak ingin keluargaku hancur. Tapi rasaku padamu masih besar, Kak …," ucap Asta. "Kak, aku ingin kamu. Biarkan semua mengalir dengan sendirinya. Aku tidak mampu untuk tidak bisa memikirkanmu. Aku ikhlas meski kutahu ke depannya aku akan tesisih dan tersakiti. Biarkan aku terus mencintaimu. Aku mencintaimu, Kak," lanjutnya terdengar memaksa. Tak kuat aku pun menoleh ke belakang. Dapat kulihat mereka saling berpegangan tangan dengan erat. Setelah obrolan berlanjut diantara keduanya, mereka pun sama-sama mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan hubungan yang salah itu. "Aku tahu, ini sangat salah. Tapi aku tak mampu
POV LINGGA Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Tak sadar aku dan Asta telah melakukan sebuah dosa. Entah kenapa, aku begitu menikmati saat bersamanya. Jujur saja, aku merasa bersalah pada Dila. Aku sendiri tak menyangka bisa terjebak cinta masa lalu. Masa lalu yang belum sepenuhnya dapat kulupakan. Aku bingung, sebegitu lemahkah hatiku untuk mencinta? Bahkan harus kuakui, sama Rara pun sebenarnya aku masih mencintainya. Sudah kucoba menepis bayangan tentang wajahnya, dan mensugestikan diri kalau aku hanya mencintai Dila. Namun jujur, ternyata hatiku berkata lain. Aku sangat bingung dengan hati yang mudah mencinta ini. "Kenapa melamun?" tanya Asta yang tengah bergelayut manja dipundakku. Semalam aku dan dia telah melakukan kesalahan. Tapi entah kenapa aku bahagia meski ada rasa ketakutan dan rasa bersalah dalam diri ini. "Aku tahu apa yang kita lakukan adalah hal yang salah," ujarku lirih. Asta masih bergelayut manja sembari sesekali menyentuh tengku
POV Dila …. Aku langsung menghubungi Radit untuk bersiap setelah mencium gelagat tidak beres dari Mas Lingga. Aku pun tidak tahu kenapa seakan bergantung pada Radit. Apa-apa Radit. Apa-apa Radit. Padahal aku tahu dia juga sangat sibuk mengurus kantor milik Kakak Iparku. Setelah aku tiba di rumah Mas Bima mengantar Gara untuk dititipkan pada Mama, nampak mereka tengah bersiap. "Dila kebetulan sekali mau ikut liburan kah? Kami mau pergi ke Bandung. Mau refreshing di sana. Katanya di kota Bandung wisatanya banyak dan sangat indah. Dari kota Bandung, kami juga ingin berlanjut ke kota Jogja. Bulan ini kami mau menghabiskan waktu liburan. Melepas sejenak urusan kantor," ujar Mas Bima yang tengah memeluk Rara. Melihat pasangan itu sungguh membuat setiap mata yang memandang merasa iri. Apalagi aku yang merasa bernasib sangat tidak beruntung ini. "Kamu ngapain kesini bawa Gara? terus kamu mau pergi kemana?" Mama bertanya dengan tatapan me
"Kamu ngapain disini? Sama Radit lagi. Bukannya kamu bilang mau pergi ke rumah Rara?" tanyanya sambil membukakan pintu mobil. Manis sekali. "Oh, tadi aku minta tolong diantar pulang ke rumah oleh Radit. Gara kan ikut Mas Bima dan keluarga besar liburan ke Bandung. Nah, di jalan, Radit dapat telpon dari Desi. Jadi mampir dulu. Casan hape rusak, butuh buat menghubungi kamu karena baterai ponselku habis, nakat deh ketuk pintu apartemen tetangga. Malah ada kamu di dalam," ujarku mencari alasan yang tepat untuk menjelaskan. Mas Lingga sendiri sudah siap dengan kemudinya. Aku melirik ekspresi wajah Mas Lingga yang terlihat sangat cemburu. Nggak tahu masuk akal atau tidak alasanku. Masalahnya otaku saat ini sangat kalut. Rasanya ingin sekali menonjok wajah laki-laki yang ada di sampingku saat ini. "Beneran kaya gitu?" tanyanya. "Iya bener lah, Mas. Ngapain pun aku bohong. Jadi tadinya aku mau minta jemput kamu di apartemen Desi itu. Soalnya R
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su