"To--long ... panggil RT. Kasihan Maya," Ibu menatap iba kearahku. Aku hanya bergeming, berpura tak melihat tatapan menyedihkan itu. Dari pada memisahkan Maya dan Yayah lebih baik aku menikmati tontonan ini.Karna ... entah mengapa hatiku sangat puas melihatnya."Huhu, tolong siapa saja lapor RT," Ibu meratap keluar pintu, dimana tetangga sudah padat menyaksikan pertikaian ini."Itu si Maya beneran pacaran sama laki orang? Ya ampun. Malu-maluin ya, ga nyangka!" cibir suara sumbang dari kerumunan."Idih najis ya ... sampai dilabrak sama istri sah nya. Gelayy!" sahut entah suara siapa."Pantes selalu modis, selingkuhan Om-Om kali ya. Apa Aki-Aki? Haha ..." Gelak tawa meremehkan terdengar riuh. Ibu semakin merunduk, tak punya muka untuk membantah ucapan mereka.Aishh ... kidmat sekali mendengarnya.Bibirku tersungging dengan sendirinya, kutatap wajah Arya yang sudah membuka mata dengan rasa haru.Lihatlah, sayang. Bahkan Bunda tak perlu repot, membalas mereka semua. Nenek dan Bibimu suda
"Lo liat dan pelototin tuh kelakuan Adek lo. Hebat, kalau lo ga jijik!" cibir Yayah dengan senyum menyerigai.Gusar, Mas Andri meraih gawai dari tangan Yayah. Tak begitu lama mata itu terbelalak, dengan wajah memerah dan nafas yang memburu. Aku sampai menegakkan badan, mencuri pandang kearah gawai yang ada ditangan Mas Andri.Gambar apa sih?"Gila lu, May! Bener-bener ga beradab, murahan!" Geram Mas Andri sambil menoleh kearah Maya.Ibu yang panik langsung merampas gawai yang tergenggam ditangan Mas Andri, matanya pun ikut membesar saat melihat sesuatu yang ada didalam layar."Jangan percaya, Mas. Ini pasti editan!" bantah Ibu. "Kau pasti ingin menjatuhkan anakku kan, dasar penipu. Kurang ajar!" maki Ibu menunjuk-nunjuk wajah Yayah."Ck! Ga usah nunjuk-nunjuk muka saya, Bu!" Yayah menepis tangan Ibu dengan kasar."Sebagai orang tua, Ibu harusnya sadar diri, malu melihat tingkah menjijikan anak Ibu. Saya sudah sabar selama ini, saya sudah baik-baik menegur agar jalang cilik itu menjauh
"Ibu fikir Bapak tidak punya telinga? Aib keluarga ini sudah pasti menyebar dengan cepat. Siap-siap saja, anak kesayangan Ibu mati ditangan Bapak." Sahut Mas Andri dengan senyum mengejek.Hatiku bersorak, tak sabar menunggu Bapak pulang dari tempat kerja.Sepertinya Mas Andri sudah sangat muak melihat Ibu yang terus-terusan membela Maya.Ibu semakin cemas, berkali dia memijat kening dengan gusar."Huh ... bagaimana ini," gumam Ibu sambil menjatuhkan tubuh disofa tunggal. Ibu menyenderkan tubuh dipunggung sofa sambil memijit pelipis dengan mata terpejam. Ketara sekali dia sedang sangat gelisah."Kenapa Ibu terus membela Maya, jangan-jangan Ibu sudah tahu kalau si Maya pacaran sama suami orang," Mas Andri mengamati Ibu dengan tajam. Ibu yang sedang bersandar langsung menegakkan badan, terkejut mendengar ucapan Mas Andri."Ka-mu bicara apa sih. Ibu ga tau apa-apa," bantah Ibu sedikit gelagapan."Kemarin si Maya dapet hape baru dari pacarnya. Ibu juga dibeliin gamis dan kerudung mahal. Ba
"Ada apa, Mas?" tanyaku."Bapak ..." jawab Mas Andri dengan wajah tegang.Tubuhku ikut menegang, dengan langkah pelan aku melebarkan pintu keluar dari kamar. Sengaja aku berdiri didepan pintu dan menutupnya, takut suara bising mereka mengganggu tidur Arya."Anak s*tan. Malu-maluin keluarga, buka pintunya si*l!!" Teriak Bapak begitu lantang, membuat tubuhku bergetar hebat. Selama tinggal dirumah ini, Bapak orang yang paling bijak. Dia tak banyak bicara, dan tak pernah menyusahkan aku sebagai menantunya.Brakk braaakk!!Bapak menendang pintu dengan keras, karna Maya tak juga membuka pintu, Bapak langsung beranjak menuju dapur. Ibu yang sejak tadi mengekori Bapak mencoba menahan, tapi sepertinya usaha Ibu sia-sia."Diem kamu, Bu. Jadi orangtua harusnya malu, anak salah jangan dibela. Matiin aja dari pada lempar kotoran kemuka orangtua!" sentak Bapak sambil menghempas tubuh Ibu dengan kasar."Bapak mau ngapain, Pak. Sudah kasihan Maya dari tadi dipukulin orang. Huhu," Ibu merengek, menang
Hai Kakak, jangan lupa subcribe dulu ya sebelum membaca. Jika sudah, trimakasih banyak. 🥰🥰------ofd------"Tespack siapa nih," gumamku sambil membuka isi didalam kotak tersebut."Haah ..."Mataku membulat saat melihat garis dua yang terlihat didalam benda tersebut.Tubuhku membeku, fikiran langsung tertuju pada satu nama.Mungkinkah ... tapi masa iya sampai sejauh ini? Kembali aku mengamati dengan teliti, benda ini benar-benar menunjukan garis dua meski garis yang satu masih terlihat samar.Dengan hati-hati aku menaruh benda itu diatas laci tempat penyimpanan sampho lalu melanjutkan aktifitas.Aku simpan benda itu didalam lemari pakaian, Mas Andri bergeliat saat mendengar suara Arya yang mulai menangis."Dek, siapkan aku makan, bawa kedalam ya. Aku malas makan diluar," ucap Mas Andri sambil bangkit dari tidurannya, lalu menimang Arya."Iya," sahutku singkat lalu keluar kamar menuju dapur.Eh, rujak nanas siapa nih?Langkahku terhenti dimeja makan, saat melihat irisan nanas segar le
Alisku menaut saat melihat bak mandi dan ember tidak berada ditempatnya. Seperti ada orang yang menggeser-geser letak bak dan mencari sesuatu."Minggir!" Aku tersentak saat Maya menarik kasar tubuhku keluar dari toilet. Tatapannya begitu bengis, seakan ingin menerkamku.Brakk!!Pintu dibanting keras dari dalam, jantungku hampir saja copot mendengar bantingan pintu itu."Dasar valak!" rutukku sambil meninju pintu toilet. Tuman!"Heh. Sial lu ya!" Geram Maya. Aku melipat tangan, menunggu Maya keluar dari pintu. Sesekali harus diremes mulutnya. Aku Kakak iparnya, secuil pun dia tidak pernah menghormatiku.Pintu terbuka kasar, Maya sedikit terkejut melihat wujudku yang berdiri tepat didepannya."Awas lu, ngalangin pandangan gua aja!" Lagi dia mendorong tubuhku. Aku menarik nafas dalam-dalam, menguatkan hati dan fikiran. Tangan sudah terkepal kuat, masa iya aku harus nonjok muka Maya yang sudah babak belur?Sabar ... sabar. Biarkan orang lain aja yang hajar itu bocah tengik.Aku menghibur
"Ampun, Pak. Huhuhu," Maya menangis sesegukan bersimpuh dikaki Bapak memohon pengampunan.Bapak bergeming, tanpa kata tangannya langsung menyeret tubuh Maya keluar dari pintu dan menutupnya dengan bantingan kencang.Deg!!Jantung terasa loncat dari tempatnya, bantingan itu menggetarkan kaca jendela dan isi rumah sekaligus membuat ngilu ulu hati.Syukurlah ... Pintu tak roboh karna ulah Bapak."Pak, jangan begitu sama anak, Pak." Ibu masih merengek."Lu kalau ga suka sama cara gua, lu susul aja sonoh anak lu. Jangan balik kesini lagi sekalian!" Bapak menuding wajah Ibu dengan bengis.Mata Ibu membesar, tak percaya dengan kata-kata yang Bapak lontarkan. Biasanya apapun keinginan Ibu, Bapak selalu patuh. Tapi sepertinya tidak untuk saat ini."Anak ga punya harga diri, lu tau muka gua mau ditaro mana? Malu gua tiap papasan sama orang. Malu!" Sembur Bapak murka."Sonoh pergi susul anak lu. Muak gua lama-lama liat muka lu." sengit Bapak sambil menghempas tangan Ibu, yang sejak tadi dipegang
"Dih," Emak menyenggol lenganku. "Lu emang ga kenal ya sama si Yayah."Alisku semakin menaut mendengar Emak menyebut nama Yayah."Emang siapa, Mak?""Anak Pak Sanusi, RT disini," jelas Emak."Hah masa sih, Mak? Pantes Nur kaya pernah lihat muka dia. Dulu dia kan kurus kerempeng kaya Nur, kok sekarang bisa gen ...""Ya itukan dulu, sekarang dia punya buntut tiga, banyak duit. Badan jadi semakin melar," jawab Emak."Kemarin dia kerumah, bilang sama Emak kalau Adik ipar lu udah pacaran sama lakinya. Si Firman," jelas Emak. "Emak ditunjukin juga rekamannya," bisik Emak sambil celingukan.Mataku membulat, Emak menyipitkan mata sambil menganggukkan kepalanya."Anak muda jaman sekarang pada berani ya, pacaran sama laki orang. Ckckck," Emak menggelengkan kepala, tak habis fikir."Kok, Pok Yayah bisa kesini Mak?" tanyaku. Heran aja, kok tahu-tahu Yayah datang kerumah."Dia awalnya nanya, si Nur tinggal dimana sekarang. Terus nanya-nanya yang lain, sampai bahas si Maya," jelas Emak. "Dia bilang
"Tadi Ibu mimpi, Mila menangis kesakitan Pak, sambil menggendong bayi merah penuh darah. Huhuhu," Ibu menangis sesegukan, membuat hatiku sakit teriris-iris."Astagfirulloh ..." lirih Bapak dengan wajah sedih. Tangannya mengusap wajah dengan kasar."Istigfar, Buk. Jangan nangis gerung-gerung begitu, engga enak didenger tetangga." ucap Bapak sambil mengusap-usap pundak Ibu.Ibu masih terisak-isak, matanya bahkan tak bisa terlihat saking sembabnya."Ibu juga ga ngerti, Pak. Hati Ibu rasanya sakit, sediihhh saja bawaannya. Huhuhu," balas Ibu sambil sesegukan."Panggil Uwak Haji Sain, May. Suruh kesini, biar dibacain doa," titah Bapak. Maya langsung bangkit dari tempatnya, berjalan keluar kamar.Kupijiti kaki, Ibu dengan pelan. Sementara mulutku tak berhenti bergerak membaca ayat suci Alquran yang aku hapal.Aku merasa ada Mila ditengah-tengah kami, hari ini tepat kepergian Mila dua bulan. Mungkin saja, Mila datang kesini untuk melihat keadaan keluarganya."Ya Alloh, Buk. Nyebut, Buk ..."
Pov Andri.Ada rasa takut, saat Nurma mengingatkan masalah Mila dan mengaitkannya dengan Maya. Hatiku bahkan masih berdenyut ngilu, membayangkan hal buruk, jika memang Maya nekat mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya.Sebagai seorang Kakak, aku memang mengakui kurang memberi perhatian pada kedua Adikku. Aku pun tidak ingin terlalu mencapuri masalah pribadi mereka. Aku menganggap semua baik-baik saja, dan menganggap mereka masih anak-anak.Ragu ... aku mengetuk pintu kamar Maya, hati tiba-tiba merasa tercubit saat melihat Maya membuka pintu dengan mata sembab dan memerah. Pipinya bahkan terlihat besar sebelah."Eh, Mas Andri," Maya sedikit tergagap melihat keberadaanku. Dengan cepat dia menundukan wajah dengan tangan meyeka wajah secara kasar."Ada apa, Mas?" tanya Maya, kali ini disertai senyum kecil yang menurutku terlalu dibuat-buat."Mas mau bicara," jawabku lalu berbalik badan melangkah menuju teras rumah.Kuhempaskan tubuh dikursi plastik depan jendela, tak lama M
Selesai mencuci aku langsung membawa ember kesamping rumah, mumpung Arya masih terlelap aku segera menjemur pakaian.Maya meringis saat menghampiriku menjemur, dia mengamati gerakanku dengan tatapan lurus dan senyum simpul."Kenapa, May?" tanyaku. Maya menggeleng sambil tersenyum tipis.Belum selesai menjemur, suara tangis Arya terdengar dari dalam kamar aku langsung meninggalkan cucian beranjak menemui Arya."Aduh, anak Mamah. Baru tidur sebentar sudah bangun aja." gumamku sambil berbaring disamping tubuh mungilnya lalu mengeluarkan asi.Kumainkan gawai sambil menunggu Arya tertidur kembali, namun mata terasa berat hingga aku pun ikut tertidur disampingnya."Dek ..." tepukan hangat membuat mata mengejrap, menyipitkan mata saat samar melihat sosok Mas Andri yang duduk disampingku."Eh, Mas ..." pelan, aku melepas asi dari mulut Arya tangan kanan terasa sakit akibat terlalu lama miring menyusui."Pegal?" tanyanya."Heum," balasku sambil merentangkan tangan."Sholat sana, sudah jam sete
Gawai ditanganku berdering, langsung menaruh ditelinga setelah menggeser tombol hijau."Ada apa, Dek?" tanya Mas Andri disebrang telepon."Bisa pulang sekarang ga, Mas?""Pulang? Ada apa emang?" cecar Mas Andri."Si Maya pulang sekolah wajahnya penuh lebam, katanya dipukulin sama Firman." jelasku sambil melirik kearah Maya yang masih menangis sesegukan."Hah! Apa?" teriaknya."Si Maya dipukulin Firman," jelasku."Huh! Astaga ... ada aja lagi, dah!" geram suamiku sambil memutus sambungan."Lu kenapa bisa dipukulin saja si Firman, May. Lu salah apa?" cicit Ibu dengan wajah cemas."Huhu ... Bang Firman ga mau diputusin, Bu. Dia marah-marah, dan mukulin Maya ..." adu Maya sesegukan."Ya Alloh, tega banget si Firman." Ibu mengelus dada."Sudah biarin, biar si Andri urusannya. Biar dia yang ngajar balik si Firman. Ibu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini, kalau perlu kita tempuh jalan hukum!" sungut Ibu berapi-api sambil memegangi wajah Maya.Kusodorkan segelas air dingin kearah Maya,
Aku pandangi wajah lelah suamiku, terpaan sinar matahari pantai membuat wajahnya sedikit kusam. Melihat wajah tenangnya, entah mengapa hati menjadi haru. Sikap Mas Andri yang semula dingin dan tak acuh perlahan mulai mencair."Dek ..." tubuh itu bergeliat, matanya mengejrap melihatku."Kok belum tidur?" Mas Andri beringsut duduk sambil menguap panjang."Iya, Mas. Ini mau tidur kok," jawabku seraya tersenyum."Sini ..." Mas Andri sedikit memberi ruang menepuk bantal disampingnya. Aku menurut, merebahkan tubuh didekatnya."Hujan-hujan gini, paling enak peluk kamu, Nur. Empuk," ucapnya sambil mendekap tubuhku lalu menarik selimut. Untuk sesaat mata kami saling beradu, Mas Andri tersenyum manis lalu memejamkan mata. Sepertinya Mas Andri sangat kelelahan.Adzan subuh berkumandang, gegas aku menuruni ranjang berjalan menuju kamar mandi. Mata menyipit, melihat Ibu yang sibuk didepan kompor."Masak apa, Bu?" tanyaku."Eh, sudah bangun Nur?" senyum Ibu merekah terlihat ringan tanpa beban."Sud
"Pagi, Mbak. Saya Firman, Maya nya ada?"Aku bergeming ditempat, nama Firman seperti familiar dipendengaran."Si-apanya Maya ya?" tanyaku."Temannya," jawabnya seraya tersenyum."Oh ... ya sudah, mari masuk." aku membuka pintu pagar dengan lebar lalu melangkah masuk kedalam rumah."Bu, Ibu ..." mata dan kakiku mengedar mencari keberadaan Ibu."Iya, Nur. Kenapa?" tanyanya."Ibu habis dari mana?" aku balik melempar tanya."Dari kamar Mila," lirihnya. Aku menarik nafas, sambil melengok pintu kamar Mila yang terbuka setengah."Itu ada tamu, namanya Firman. Dia bilang temannya Maya." jelasku."Firman?" Ibu menautkan alis. "Mau apa dia kesini?" tanya Ibu. Aku hanya mengangkat bahu.Dengan wajah cemas Ibu melewatiku berjalan menuju ruang tamu."Bu ..." aku lihat Firman tersenyum ramah, mencium tangan Ibu."Ada apa, Nak? Kenapa kesini, nanti istrimu ngamuk lagi mukulin Maya," tanya Ibu dengan wajah cemas.Oh ... jadi ini yang namanya Firman. Pacar Maya?"Saya mau cari Maya, Bu. Sudah satu min
Aku dan Mas Andri kompak berlari menuju kamar, sesampainya didalam Maya menjerit melihat Ibu yang sudah tergeletai diatas lantai."Ya Alloh. Angkat, Mas. Naikin diatas kasur," teriakku sambil memegangi tangan Ibu."Ibu ... huhu, Ibu kenapa Buk?" Maya menangis melihat Ibunya."Dek, oles minyak angin. Mas mau ke bidan Tinah ya. Ibu harus diperiksa," ucap Mas Andri dengan wajah panik. Aku hanya mengangguk, mata mengedar keatas nakas mencari minyak angin."Ini, Mbak." Maya menyodorkan minyak angin padaku. Aku langsung menuang sedikit ditelapak tangan lalu mengolesnya pada kening dan hidung Ibu."Kok bisa kejang, tadinya kenapa May?" tanya Mas Andri."Tadi Ibu sudah sadar, pas manggil nama Mila langsung kejang. Huhu," Maya menangis tersedu-sedu.Aku jadi semakin panik, sudah hampir sekujur tubuh mengeloskan minyak angin namun Ibu masih belum sadar juga.Ibu ... aku rasa dia sangat shock berat. Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya."Mas cepat ya, jangan lama-lama!" teriakku saat Mas A
"Saya bisa saja melaporkan balik perbuatan tidak menyenangkan ini." Ucap Mas Andri dengan nada mengancam, sorotnya tajam menatap Deni dan kedua orangtuanya bergantian.Suasana semakin mencekam, suara isak Ibu masih terdengar menyayat hati."Bukan begitu, Pak?" kini tatapan tajam itu mengarah pada kedua Polisi yang menyimak dengan serius."Hmm?""Iya. Tentu saja bisa, Pak." jawab Pak Polisi."Mereka datang dengan tuduhan yang tidak jelas. Jatuhnya fitnah karna tidak ada bukti yang menguatkan. Apa kata tetangga, jika tahu ada Polisi yang mencari saya kerumah? Omongan orang bisa kemana-mana, mereka pasti menganggap saya tidak beres." seloroh Mas Andri dengan tatapan sinis.Wajah Ibu Deni yang semula bengis berubah datar, lalu raut cemas mulai menjalar dimatanya."Nama baik saya sudah tercoreng, dengan kehadiran Bapak yang ingin menangkap saya dirumah saya sendiri." suara Mas Andri terdengar marah. Dua Polisi nampak manggut-manggut, sepertinya mereka menyetujui ucapan Mas Andri."Pak ..."
"Cepat masuk, tuh lihat sudah banyak orang yang celingukan kesini." bisiknya pelan. Aku mengayun langkah dengan kaki yang bergetar. Hati tak tenang memikirkan maksud tujuan Polisi itu mencari suamiku."Ada apa ini, Nur?" wajah Ibu berubah panik, bertanya-tanya saat melihat dua laki-laki berseragam itu masuk kedalam rumah."Benar ini rumah Andri Hidayat?" Polisi bertanya pada Ibu."I-iya benar. Ada apa ya?" jawab Ibu gugup."Saudara Andrinya ada?" Polisi kembali bertanya."Masih di bengkel. Coba kamu telepon, Nur." ibu menoleh cemas kearahku."Iya, Bu." aku langsung masuk kamar mengambil gawai yang tergeletak diatas bantal.Panggilan langsung terhubung, detik berikutnya suara Mas Andri terdengar dari sebrang telepon."Kenapa, Nur?""Eh ... itu, Mas. Ada yang nyariin kamu." jawabku dengan suara bergetar."Siapa? Bentar lagi Mas pulang. Ini lagi tutup bengkel." jawabnya."Po-lisi Mas." jawabku pelan."Hah. Siapa?"Aku menghirup nafas panjang, sebelum menjawab ucapan Mas Andri."Ada Polis