Pov Maya.{Kapan kita bertemu?}Pesan dari Bang Firman aku baca berulang kali. Aku melirik kearah Ibu, yang sejak tadi hanya melamun memegangi seragam sekolah Mila.{Sabar, Bang. Ibu masih belum bisa ditinggal,} balasku lesu.{Kapan, dong? Abang sudah ga tahan nih.} Balas Bang Firman dengan cepat.Aku menghela nafas membaca pesannya, kembali memandang Ibu yang masih setia memeluk seragam Mila.Sejujurnya aku pun sudah sangat rindu dengan Bang Firman, terlebih dengan uangnya. Kalau mengandalkan uang jajan dari Ibu, hanya cukup untuk beli cilok dan es saja. Berbeda dengan Bang Firman, yang sangat royal padaku."Kalau masih ada, si Mila sudah pulang sekolah ya, May jam segini." Lirih Ibu sambil memandang pakaian Mila. Aku tersenyum kecut, menatap Ibu dengan iba."Sudah, Ibu. Jangan terus-terusan difikirin. Nanti Ibu malah sakit," ucapku mencoba menenangkan fikirannya."Mila kenapa ya, May. Apa dia marah sama Ibu, karna belakangan ini sering Ibu suruh-suruh?" sahut Ibu, mengabaikan ucapan
Tak lama motor yang dikendarai Deni berhenti dirumah kosong terbengkalai. Lalu keduanya masuk kedalam rumah dengan bergandengan tangan.Setelah keduanya masuk, aku segera menuruni motor dan menaruhnya disemak-semak yang terparkir lebih jauh dari rumah kosong itu.Pelan, aku jalan mendekati rumah. Sesekali kepala celingukan memastikan tidak ada yang melihat keberadaanku. Aku mengendap-endap, pintu sudah terkunci dari dalam.Ck! Bocah tengik. Masih kecil sudah berani jadi bajingan!Gigi bergeletuk hebat, aku melangkah mengitar rumah mencari jalan masuk untuk masuk kedalam. Mendorong jendela yang sudah rapuh kayunya, aku menahan nafas saat jendela itu bisa terdorong masuk. Untung saja tidak ada tralis, jadi aku bisa masuk kedalam tanpa mengeluarkan suara."Eh, kamu mau apa Den? Katamu yang lain sudah nunggu disini," samar aku mendengar percakapan mereka."Sabar ... nanti juga yang lain datang," suara Deni terdengar.Aku mengendap pelan, merapatkan tubuh disisi tembok. Perlahan kepalaku m
Tunggulah bocah tengik ... aku akan membuatmu merasakan apa yang Mila rasakan!Setelah membayar kekasir, aku langsung memasukan dua kaleng itu didalam ransel yang biasa aku bawa. Lalu menaruh plastik belanjaan distang motor.Udara malam semakin dingin, aku langsung menaikan kecepatan berkendara untuk mempersingkat waktu."Assalamuallaikum ..." aku berucap saat kaki sudah memasuki pintu rumah. Dari dalam terdengar Emak dan Bapak menyahut salamku."Ini, Mak. Buat ngemil," aku menaruh plastik belanjaan diatas meja."Repot-repot kamu, Ndri." Emak tersenyum lepas menatapku."Engga apa-apa, Mak." aku membalas senyum Emak."Ngopi, Ndri?" Bapak menimpali."Wah mantap tuh, Pak. Tadi Andri beli biskuit buat temen Bapak ngopi," sahutku."Ini, Pak." Emak menyodorkan biskuit kepala kearah Bapak."Wih ... mantap dah. Cocok," Bapak meraihnya antusias."Kedalem dulu, Mak, Pak." aku langsung masuk kedalam kamar setelah kedua mertua mengiyakan ucapanku.Pelan, aku mendorong pintu kamar. Aku lihat Nurma
Bibirku melengkung sempurna melihat status online dihalaman profilnya, tak menunggu waktu lama pesan video yang aku kirim sudah bercentang dua berwarna biru.{Lihat kelakuan bejat anakmu yang masih ingusan itu, Bu Haji. Dia melecehkan, memperkosa bahkan merusak teman wanitanya sendiri.}Pesanku langsung centang dua berwarna biru, aku melepas nafas melalui mulut dengan perasaan puas luar biasa.Tauk rasa kau bocah tengik, berani bermain api denganku? Akan aku bakar kau hidup-hidup!Menaruh gawai diatas meja, aku bangkit dari kursi sebab ada motor yang memasuki halaman kecil bengkel milikku."Mas, ganti oli." ucap laki-laki sekitar umur 30 tahunan, sambil menurunkan bocah perempuan dari atas jok motornya."Oke siap!" sahutku bersemangat sambil memamerkan senyum. Entah mengapa energiku seakan bertambah berkali lipat, saat membayangkan kericuhan yang akan terjadi pada keluarga harmonis itu.Ditengah kesibukan, gawai tak henti mengeluarkan getar dan suara. Aku tersenyum sinis, melihat nome
Nikmati ketenaranmu saat ini, Deni. Siapa suruh, Ibumu memaki dan memblokir nomerku. Sekarang terimalah akibatnya!"Mas ... kok diam aja sih!" Maya mengguncang tubuhku."Ya, terus Mas harus ngapain?" jawabku santai."Mas kok biasa aja. Ga senang atau gimana," cibir Maya. Aku hanya meringis, lalu terkekeh kecil."Siapa yang nyebarin video itu, May?" tanyaku pura-pura bodoh. Aku tak ingin siapapun tahu kalau itu ulahku sendiri, meski dengan Maya sekali pun. Aku takut mulutnya ember atau keceplosan."Enggak tau, Mas. Siapa juga awalnya yang masukin video ini ke facebook. Tapi paling sebentar lagi akan dihapus sendiri sama aplikasinya, tapi ga masalah sih. Karna di wa videonya sudah menyebar luas," jawab Maya penuh semangat."Ini ceweknya siapa ya, sayang banget ga terlalu jelas mukanya." sambung Maya."Mending lu hapus aja videonya, May. Anak sekolah kaya lu, engga pantes nyimpen video asusila kaya gitu. Yang penting cukup tau aja," sahutku mengingatkan. Yah ... walau aku sendiri tahu, k
Jahat sekali orang itu. Apa salahku padanya?Air mata luruh begitu saja, berkali merapal doa menyebut nama Tuhan untuk melonggarkan pernafasan.Tubuh ini mendadak lemas, suaraku bahkan tercekat dikerongkongan. Aku paksa berdiri, berjalan sambil memegangi tembok."Ndah ... Eli, Mimin." aku panggil semua anak perempuanku, tapi tidak ada satu pun yang menyahut atau mendengar suaraku."Ya Alloh," nafas kembali sesak, tubuhku lunglai dalam sekian detik aku merasa tubuh melayang dan terjatuh diatas lantai.Mata terbuka pelan saat terasa ada hawa hangat yang masuk kedalam indra penciuman. Samar aku melihat Mimin dan Indah duduk diatas ranjang dengan tatapan sedih."Ibu kenapa, kok jatuh dari kasur?" Mimin menatap dengan wajah khawatir."Min, Indah ..." lirihku sambil mengedarkan pandangan."Alhamdulillah," Indah tersenyum lega, saat melihatku membuka mata."Sudah, Ibu jangan banyak fikiran. Tuh, sampai jatuh begitu." ucap Mimin."Yang lain pada kemana?" tanyaku pelan."Lagi diruang tengah."
Aku menjadi bimbang, sejauh ini memang betul sikap Mas Andri sudah berubah menjadi lebih baik.Tapi jika harus kembali kerumah, itu berarti aku harus siap menjadi babu gratisan lagi.Haduh, bagaimana ini?Rengek suara Arya membuyarkan lamunan, aku langsung mengangkat tubuh mungilnya dan membawa keluar kamar. Hati terus diselimuti kegelisahan, memikirkan bagaimana cara menolak atau memberi alasan yang baik agar Mas Andri tidak tersinggung.Selesai mandi, Mas Andri langsung mengemasi pakaiannya sendiri, aku hanya diam memperhatikan aktifitasnya."Gimana, Dek. Mau ikut apa tetap tinggal disini? Aku engga mau maksa ya, terserah kamu aja. Kalau mau ikut ayo, kalau engga juga ga masalah," ucapnya seraya menyempurnakan menarik resleting ransel."Tapi ini sudah mau magrib, Mas. Kasihan Arya malam-malam keluar rumah," sahutku."Ga sekarang, kan bisa besok pagi sekalian ke bengkel," jawabnya."Iya, Mas. Aku ikut," ucapku. Mas Andri tersenyum tipis menganggukan kepalanya. Biar bagaimana pun, aku
"Kenapa, Dek. Kok melamun?" Mas Andri menghempaskan bobot didepanku. "Arya tidur?" katanya lagi."Iya." jawabku sambil menoleh kearah Arya."Kenapa? Kok kaya ga semangat gitu?" Mas Andri menatap lekat.Aku menarik nafas dalam, sebelum mengeluarkan suara. "Jujur saja aku tidak nyaman ada disini," ucapku pelan."Kenapa, bukannya Ibu sudah baik?" kepalaku mendongkak, menatap lekat sorot matanya."Seharusnya, jika sudah menikah apa lagi punya anak. Sudah seharusnya kita hidup mandiri, Mas." ucapku hati-hati."Terus ... kamu maunya gimana, ngontrak?" tanyanya."Ya. Engga masalah sih, Mas. Ngontrak tiga petak juga, yang penting ga satu atap sama mertua." jawabku. "Tinggal satu rumah, ga jarang selalu ada bentrok. Kurang nyaman, karna aku selalu merasa ada mata yang mengawasi gerak-gerikku." sambungku dengan suara pelan. Berharap Mas Andri mau mendengar kata-kataku."Tapi sayang uangnya, Dek. Bayar kontrakan mahal, lebih baik ditabung uangnya." bantah Mas Andri."Mahalnya berapa sih, paling