Malam ini, rasanya asing. Tak ada Alisha di sini membuat sebagian hatiku terasa kosong. Ya, belum sehari saja aku sudah merindukannya. Padahal aku bilang sama Icha kalau jangan cengeng, tapi ternyata aku yang cengeng. Aku menatap kamar Alisha yang kini sudah kosong. Hanya ada tempat tidur di sana dan sisa-sisa barang yang tak dia bawa. Kuberjalan menuju rak dan mengambil beberapa buku miliknya. Kuusap dan kudekap. Ingin rasanya dia masih di sini. Air mata luruh, tak kuasa kutahan lagi. Kupejamkan mata dan beristighfar banyak-banyak. Ikhlas … ikhlas … ikhlas ….Namun, kata itu tak semudah yang kutulis dan kuucapkan. Aku mengajarkan dia untuk iklhas dan tegar, tapi aku pun sama, masih harus banyak belajar. Ikhlas … ikhlas … ikhlas …. Terbayang lagi senyuman, tawa, ketegasan dan kemandirian Alisha. Dialah putriku, perempuan yang kuharap jauh lebih tangguh dan beruntung dari pada aku. Icha … Ibu rindu, Nak! Aku bergerak naik ke atas tempat tidurnya dan membaringkan diri sambil mem
Pov Salmah Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu juga Pak Rayyan terus-menerus muncul dalam kehidupanku dan Adrian. Kegiatannya setiap akhir pekan dengan Adrian selalu ada saja. Bahkan mereka begitu kompak, sesekali mereka berdualah yang pergi ke pasar untuk berbelanja. “Bu, ada lagi gak yang mau dibeli?” Pak Rayyan muncul. Bahkan panggilannya sudah berubah, hmm entah sejak kapan. Tak lagi memakai embel-embel namaku di belakangnya, mengikuti panggilan Adrian. Itu jika ada dia. Namun, jika kami berdua saja, justru dia hanya memanggil nama dan aku mulai terbiasa.“Sudah semua yang dalam listnya Ian, Pak Rayyan.” Aku, masih memanggilnya seperti dulu. Satu tahun, tapi tak mengubah apapun dalam hatiku selain rasa mulai terbiasa. “Oke, kami berangkat! Assalamu’alaikum!” Dia menautkan jempol dan telunjuknya lalu berangkat bersama Adrian ke pasar. Minggu ini adalah minggu terakhir Adrian berada di rumah. Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan menyusul Alisha ke boarding school
Pov Salmah Di ruang tengah rumah sederhana milik Ibu dan Bapak, aku ,Alisha dan Adrian kini berada. Kemarin sore aku menjemputnya ke asrama. Alisha dan Adrian cukup mendukung keputusanku. Mereka bilang, sudah lama memang menginginkan pengganti Mas Heru. Selain ada aku dan anak-anak, hadir juga Anto dan Intan dan dua anaknya, Febri dan April. Entah kenapa dia sangat suka mengambil anak dari nama bulan. Mungkin jika anaknya ada dua belas, akan dinamainya dari Januari sampai Desember. Dia adikku yang pertama, selama ini mereka tinggal di Bandung. Anto---adikku kerjanya freelance, dia tinggal di rumah mertuanya karena istrinya adalah anak satu-satunya. Ada juga Arif dan Nur, Adik keduaku ini cewek, Nur namanya, Arif itu nama suaminya. Hanya saja, karena dulu selagi masih serumah dia sering iri. Katanya Ibu dan Bapak lebih sayang padaku dari pada dia, karena itu juga kami tak terlalu dekat. Untungnya, dia mau tinggal bersama Ibu dan Bapak menemani hari tuanya. Suaminya kerja di pabrik s
Pov Dirga“Tunggu!!! Hentikan dulu semua ini, tolong!” Aku berdiri mematung menatap adegan ijab qabul yang membuat darahku mendidih. Dua bulan lalu aku meminta Papa mengabarkan pada Rayyan akan kepulanganku ke Indonesia. Aku memintanya menjemput. Tak sabar aku ingin segera mendengar kabar calon keluarga yang kutitip padanya. Namun, sedikit kaget ketika tadi di bandara yang ada hanya Papa dan Mama yang datang, dia bilang hari ini Rayyan menikah. Beruntung, fligthku awal. Aku langsung meluncur ke kediaman Rayyan. Sedikit kesal ketika dia tak mengundangku, padahal selama ini aku sudah meminta banyak pertolongan padanya. Apa dia sudah tak menganggapku kawan? Namun rumahnya sudah sepi, keluarga besarnya sudah pergi ke rumah mempelai perempuan.Dari tetangganya, aku diberi tahu alamat ini. Bergegas aku meminta sopir meluncur ke alamat ini. Namun, duniaku seakan runtuh ketika melihat siapa perempuan yang duduk bersisian dengan Rayyan. Salmah, kenapa Salmah?*** Satu tahun lalu. Tangan yan
Pov Rayyan“Tunggu!!! Hentikan dulu semua ini, tolong!” Ijab qabul yang baru saja hendak kuucap, terhenti. Aku kaget bukan main ketika melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Dirga? Kenapa dia bisa datang pada saat sakral seperti ini. Bukankah kepulangannya masih minggu depan? Padahal aku sudah semaksimal mungkin mengatur pernikahanku dengan Salmah, sebelum dia pulang. “Tenang, Pak! Kami mohon jangan membuat kegaduhan di sini!”Suara adik lelaki Salmah terdengar menghalau. Dia berjalan mendekat ke arah Dirga yang berdiri masih mengenakan tongkat.“Ya, maaf, saya tak bernaksud membuat keributan, maaf. Hanya saja … saya butuh penjelasan dari kawan saya, Rayyan. Kenapa dia malah jadi pagar yang makan tanaman?Selama saya mengobati kebutaan dan kelumpuhan saya akibat kecelakaan, dulu saya titipkan Salmah dan anak-anak padanya. Namun, kenapa kini dia malah mengambil semua yang saya titip itu!” Aku menelan saliva. Keringat dingin terasa mulai bermunculan. Apalagi ketika aku menatap k
Pov Salmah “Maafkan saya, maaf. Kesalahan saya cuma satu, jatuh cinta pada perempuan yang dicintai Dirga. Harusnya kalau dia tak datang, semua tak akan seperti ini. Kami juga sama-sama saling mencintai. Kumohon … pernikahan ini jangan dibatalkan! Ini hanya kesalahan kecil dan kami masih bisa memperbaikinya!” Pak Rayyan mencoba meyakinkan keluargaku. Namun, dari kalimatnya itu jelas … dia menambah rasa tidak percayaku. “Pak Rayyan, enteng sekali kamu mengatakan ini kesalahan kecil. Semakin yakin untuk saya tak melanjutkan semua ini. Seseorang yang menganggap kebohongan itu kesalahan kecil, akan mudah melakukan kebohongan-kebohongan itu lagi di masa depan! Tolong, hargai keputusan saya. Tak akan ada pernikahan hari ini. Kalian semua terima kasih, sekarang boleh pulang!” Aku bicara untuk yang terakhir kalinya. Lalu bersegera masuk ke dalam kamar. Kamar orangtuaku pastinya. Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Aku merebahkan tubuh dan menutup telinga dengan bantal. Aku tak
Pov Dirga “Jadi gini … kemarin, sewaktu kamu masuk ke dalam kamar. Ada hal yang terjadi di ruang tengah dan hal itu … sudah mengubah kehidupan kita berdua.” “Hal yang terjadi? Mengubah kehidupan kita berdua? Apa itu?” Dia menautkan alis. Kedua iris berwarna cokelat terangnya menyipit. Aku mengulum senyum, tak bisa kutampik jika Salmah tak kehilangan pesonanya pada umurnya yang sudah kepala tiga. Hanya saja, wajahnya yang terlihat serius membuatku ragu. Khawatir Salmah belum siap menerima semua informasi ini dengan hati yang lapang. Lebih khawatir lagi, kalau nanti dia malah menarik lagi Adrian dan tak akan dimasukkan ke boarding school. Wataknya yang tegas membuatku harus berpikir ulang. Bijakkah jika aku menyampaikannya sekarang? Selain itu, mengingat kondisiku pun belum pulih betul. Hanya khawatir pada dua hal. Pertama … dia menerima meski terpaksa, tapi pasti aku akan merepotkannya. Namun ini masih lebih baik dibanding kemungkinan kedua, dia akan menolak dan membenciku. Dia aka
Pov SalmahDia tersenyum miring, “ Menikah, itu bukan sebuah solusi bagi saya. Saya tak percaya lagi pada janji laki-laki. Semua sama.” Kulihat, Pak Dirga mengusap wajah dan menarik napas kasar. Entah apa yang dia pikirkan. Aku … tak bisa menerkanya. Aku meninggalkan dia yang masih mematung di teras. Lekas menghampiri Alisha dan Adrian yang tengah berada di ruang tengah. Keduanya tampak asik bercengkrama terkait acara televisi yang ditontonnya. “Icha … bukannya mau berangkat sekarang, ya?” Aku melirik jam dinding, sudah hampir pukul delapan. Alisha menarik napas kasar, lalu menoleh padaku, “Iya, Bu. Ini tinggal berangkat, kok.” “Bersiaplah, tak enak sama Pak Dirga. Nanti terlalu malam.” Alisha mengangguk, Adrian bersiap juga. Keduanya lekas menuju kamarnya msaing-masing. Aku sendiri mematikan televisi, lalu mengambil bantal-bantal yang berserakan. Rasanya berat setiap harus melepas Alisha pergi. Namun, aku tak boleh terlihat cengeng di depannya. Bagaimana dia bisa tegar kalau ak
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le