Share

BAB 6

Penulis: Nahla Farisya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Apa yang sebenarnya aku lakukan? Kenapa aku harus marah melihat Erland dengan wanita itu. Bisa saja kan dia rekan bisnisnya. Bodoh. Aku merutuki diri sendiri. Mondar-mandir di kamar tidak jelas. Menunggu kepulangan suamiku. Kenapa aku begitu peduli padanya? 

 

"Ini gila. Aku benar-benar gila." Gumamku merutuki diri sendiri.

 

Untuk mengenyahkan pikiranku pada dua orang itu aku melakukan apapun. Membersihkan kamar mandi,dapur,halaman rumah. Bahkan aku yang sangat malas ngepel akhirnya mengepel seluruh lantai. Menyetrika seluruh pakaian. Namun bayangan mereka tetap saja tertinggal di pikiranku.

 

"Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku begitu memikirkannya." Gumamku pada diri sendiri

 

Sudah hampir tengah malam. Tapi tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Aku menunggunya di teras lalu masuk ke kamar. Ke teras lagi lalu ke kamar lagi. Begitu seterusnya.  Rasa kantuk yang mulai menyerang membuatku hampir menyerah. Namun harus kutahan. Terantuk-antuk di kursi bahkan gigitan nyamuk kutetap bergeming. Dinginnya angin malam tak begitu mengusikku.

 

Kupandangi layar handphone. Ingin menelpon pun percuma. Dia jarang mengangkat telpon kecuali darurat. Biasanya hanya dia yang menghubungiku. Aku hanya memandangi layar handphone. Baru kusadari betapa flat-nya hubungan ini. 

 

TAK

 

Suara pintu terbuka. Aku menolehkan wajah ke arah pintu. Kulihat sosoknya disana. Seketika hatiku merasa lega. Ada raut terkejut yang kentara di wajahna saat melihatku yang belum tidur. Karena biasanya aku begitu masa bodo. Dia pulang kapanpun dan bersama siapapun. Aku tak peduli. 

 

"Kamu belum tidur?" Tanyanya lirih. 

 

"Nggak,aku baru bangun kok." Sahutku sambil pura-pura menguap. "Kakak baru pulang?" 

 

"Ya,tadi mama memintaku mampir ke rumah." Jawabnya tangannya sibuk menuangkan air dari kulkas lalu menenggaknya.

 

"Kok tumben. Apa mama sehat?" 

 

"Mama baik-baik saja. Tadi mama sempat pingsan."

 

"Pingsan?" Aku bertanya penasaran. Tak biasanya mama sampai pingsan kecuali benar-benar shock.

 

"Terlalu banyak pikiran." Jawabnya santai seraya melepas dasi.

 

"Oh. Apa mama masih membahas hal itu?" Tanyaku sendu. 

 

"Ya,apalagi Vanya sedang hamil." Jawabnya lugas seraya menatapku. Aku begitu sensitif padahal apa yang di harapkan dari pernikahan aneh ini.

 

"Begitu ya." Ucapku tenang. Aku sangat memahami perasaan mertuaku. Apalagi setelah Kak Hilma mengalami kecelakaan dan terpaksa mengangkat rahimnya.

 

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku sudah menyiapkan jawaban kalau kamu ingin melanjutkan kuliah."

 

"Syukurlah. Tapi mau sampai kapan kita menyembunyikan fakta?"

 

"Aku pun tak tahu. Jangan terlalu di pikirkan. Biar aku yang akan mengurusnya."

 

"Yasudah. Kalau begitu aku mau istirahat. Selamat malam."

 

"Ya. Selamat malam."

 

Sesampainya dikamar kurebahkan tubuh dikasur empukku. Tak sedikitpun mata ini terpejam. Lintasan memori berkelebat dalam bayanganku. Dia yang tiba-tiba mengajakku menikah. Lalu kami tinggal bersama sebagai suami istri yang aneh. Tak ada kamar bersama. Tak ada makan bersama. Kewajibanku hanya membersihkan rumah ini. Aku yang bebas layaknya gadis yang tidak memiliki suami. Dia yang tak pernah kutahu dunianya sama sekali. Pernikahan macam apa yang kujalani. Air mataku merebak. Ini seperti dilema. 

 

"Apa mungkin aku harus secepatnya bicara?" Gumamku sambil membolak-balikkan tubuh di pembaringan.

 

Aku bebas namun merasa terkekang selama ini. Karena harus terus mendengar banyak cibiran semua orang yang mengenal kami. Bahkan sandiwara-sandiwara memuakkan yang harus kulakukan di depan keluarganya. Sebenarnya apa yang harus ku pertahankan dari pernikahan ini. Jika benar karena uang,lantas apakah selamanya akan seperti ini? 

 

"Pria bodoh itu Erland. Punya wajah rupawan dan mapan malahan milih tikus jalanan. Sepertinya dia di guna-guna oleh wajah sok polos itu"

 

"Iya betul. Gadis itu mungkin saja sudah one stand night dan menggoda banyak pria. Salah satunya Erland."

 

"Dia sangat mencoreng nama besar Rasendria. Padahal kakeknya amat sangat berharap padanya. Tapi sangat mengecewakan."

 

"Mengecewakan dan membuat malu. Mana kerjaannya hanya guru TK. Ga ada masa depan sama sekali." 

 

"Bahkan dia masih belum juga hamil setelah 2 tahun menikah. Jangan-jangan dia mandul."

 

Itulah penghinaan yang selalu kuterima sejak pertama kali dikenalkan pada keluarganya. Suara-suara sumbang itu selalu berdenging di telinga dan kepala. Namun dia tetap menikahiku. Dia selalu membelaku di depan keluarganya. Tapi apa bedanya jika dia memperlakukanku hanya untuk menyingkirkan stigma yang melekat padanya. Apalagi ditambah mama yang baik hati itu sampai pingsan karena memikirkan nasib pernikahan kami.

 

Keputusanku sudah bulat. Aku harus melepaskan diri dari pernikahan palsu ini. Ya benar. Pernikahan adalah ibadah terpanjang. Yang dijalani oleh dua orang untuk saling melengkapi. Namun jika kenyataannya hanya saling menyakiti seperti ini untuk apa dipertahankan? Mungkin aku sangat gegabah menerima tawarannya. 

 

Keesokan harinya aku sungguh terkejut. Pria nan gagah itu tengah mencuci pakaian milikku. Biasanya aku menaruhnya di keranjang di dalam kamar. Namun semalam aku kelupaan. Pakaian yang bekas kupakai tadi siang setelah membersihkan rumah kutaruh di kamar mandi begitu saja. Ah kenapa aku ceroboh sekali. Membiarkan pakaian kotorku tergeletak begitu saja? Mampuslah kau Maudy. Kuketuk kepalaku dengan kepalan tangan. Dan apa itu? Dia sedang memegang kain yang begitu kukenal.

 

"Jangaan...!!!" Teriakku sambil berlari kerahanya. Dia yang terkejut reflek melemparkan yang dipegangnya.

 

"Astaga. Kau membuatku terkejut."

 

"Kak biar aku yang mencucinya ya. Dan jangan sentuh apapun apalagi yang satu ini." Ucapku sambil menyembunyikan BH merah mudaku.

 

"Pft. Jujur aku geli. Ternyata cupnya lumayan juga ya."

 

"Dasar mesuuummm!!!" Ujarku sambil berlari meninggalkannya. Sedangkan dia tertawa terpingkal-pingkal. 

 

Aku tertegun. 2 tahun tinggal bersama baru kali ini aku melihatnya tertawa selepas itu. Tanpa sadar aku tersenyum. Apakah mungkin karena begitu tak dekatnya kami sehingga melewatkan banyak hal. Untuk saat ini aku begitu ingin mengenalnya. Ya ijinkan aku mengenalmu.

 

Kutatap potret pernikahan kami 2 tahun lalu. Dia tersenyum sangat tulus. Aku pun seperti itu. Tangan kokoh itu melingkar dipinggangku. Jika saja kita menjalani pernikahan ini selayaknya pasangan yang lain. Mungkin aku akan bahagia. Aku terenyuh. Ingat bagaimana dengan lantangnya dia mengucapkan ijab kabul. Lalu menyematkan cincin di jari manisku. Mengecup keningku untuk pertama kalinya. Rasanya debaran itu masih terasa sampai sekarang. 

 

Kusandarkan tubuhku di samping jendela sambil memandangi taman. Dan di taman sana kulihat pria itu tengah merapikan tanaman lalu menyiraminya dengan selang air. Wajahnya dihiasi senyuman seolah bunga-bunga itu temannya. Hingga aku membayangkan jika menjadi bunga-bunga itu. Betapa menyenangkannya. Disentuh,di perlakukan begitu istimewa. Dirawat dengan penuh kasih sayang seperti malika kedelai hitam. Ah apaan sih pikiran konyolku ini. 

 

Aku tertawa sendiri menyadari betapa konyolnya aku. Sampai kusadari sepasang mata setajam elang di bawah sana tengah menatapku tanpa kedip. Padahal jauh dibawah sana namun sukses membuatku salah tingkah. Aku membalikkan badan kemudian menutup jendela kamarku. Aku malu ketahuan mengintip.

Bab terkait

  • KALI KEDUA   BAB 7

    Akhirnya kuputuskan untuk tidak membahas perihal perceraian. Ingin rasanya mencoba untuk menjadi istri sesungguhnya. Mungkinkah akan ada perubahan besar dalam hubungan kami ke depannya? Apalagi kemarin aku lihat ulet keket yang bergelayut manja di lengan suamiku. Tapi darimana aku harus memulainya? Ayolah berpikir Maudy.Aha aku ada ide!"Hallo mama,apa kabar?"[Baik. Kamu apa kabar cantik?]"Baik juga ma. Oya boleh Maudy bertanya sesuatu?"[Tentu sayang. Tanyalah apapun gratis kok]"Terimakasih ma. Sebenernya apa makanan atau minuman kesukaan Kak Erland?"[Tunggu! Kamu masih manggil suamimu Kakak?]Astaga naga mati aku."Maaf ma. Maksud Maudy..."[Hahaha mama hanya bercanda sayang. Panggil dia sesukamu. Makanan kesukaan suamimu ya? Sebenarnya mama ga terlalu tahu makanan kesukaan dia saat ini. Karena hampir 5 tahun Erland di Aussie. Tapi seingat mama waktu kecil Erland suka garang asem. Nanti mama kir

  • KALI KEDUA   BAB 8

    Aku meringkuk diatas ranjang. Perutku terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum. Sakit dan perih. Kuraih obat pereda nyeri lambung dan mengunyahnya. Kutarik selimut semakin rapat. Mataku terpejam namun tak bisa tidur.TOKTOKTOKSuara ketukan pintu membuat mataku terbuka. Aku bangkit dari ranjang dengan terhuyung kugapai gagang pintu dan membukanya. Wajah tampan itu tersenyum tangannya menenteng segelas teh manis dan semangkuk bubur. Dia segera masuk dan menuntunku. Mendudukanku diatas ranjang. Sikapnya yang lembut membuatku nyaman."Kubuatkan bubur putih. Tadi kuhaluskan dengan foodprocesor dulu. Kemarin dokter bilang magh-mu kambuh. Harus makan yang halus." Kuperhatikan gerak bibirnya dan mengangguk."Taruh saja diatas meja nanti kumakan." Ujarku merebahkan diri."Kau harus banyak makan. Kusuapi ya." Bujuknya menyendokkan bubur."Aku bisa makan sendiri." Ucapku merebut sendok dan mangkuk. Menyuapkan sedikit bubur kedalam mulut

  • KALI KEDUA   BAB 9

    Aku terpukau dan takjub dengan susunan foto tersebut. Mungkin jika di ikut sertakan dalam pameran akan menjadi menarik pikirku. Hingga akhirnya kututup pintu rahasia disebalik rak buku tersebut."Lancang!" Serunya ketus. Kutersentak kaget hingga buku merah itu jatuh dari tanganku.Aku tak berani membalikkan tubuhku. Suara tegas nan dingin di belakangku membuatku gemetar. Aku sudah tertangkap basah. Kupejamkan mata. Kudengar langkah kakinya mendekat. Bisa kurasakan emosi yang tertahan darinya. Aura di kamar ini mendadak engap dan sesak. Lalu tanpa di duga dia memegang erat lenganku kemudian menarikku keluar dari kamarnya."Pergi!" Sergahnya seraya menutupnya sangat keras bahkan hentakannya membuat seluruh ruangan bergetar.Kutekan dadaku. Tubuhku meluruh ke lantai. Sungguh aku sangat menyesal. Namun disatu sisi aku merasa takjub. Ada satu hal yang membuatku semakin tersadar. Dia bukan laki-laki sembarangan. Foto-foto tadi membuktikan segalanya. Aku t

  • KALI KEDUA   BAB 10

    Sebulan sudah dia menghilang bagai ditelan bumi. Tak sekalipun menghubungiku. Bahkan tak bisa di hubungi sama sekali. Mungkin ini kali ketiga dalam 2 tahun terakhir dia menghilang. Pernah kutanyakan pada mama ataupun Pak Bayu namun mereka hanya bungkam. Hingga akhirnya aku memilih pura-pura abai. Walaupun tak kupungkiri rasa khawatir selalu menyeruak mengusik ketenangan hari-hariku. "Sebenarnya dia menghilang kemana? Apa mungkin dia pergi ke Aussie?" Tanyaku dalam hati. Setiap kepulangannya dari bertapa. Ya aku menyebutnya bertapa karena dia seolah tak ingin seorang pun mengetahui apapun yang dia lakukan. Dia akan membawa oleh-oleh yang berbeda-beda. Entah itu memar di telapak tangan,memar di wajah sampai patah tulang. Kadang aku berpikir,apakah dia di begal dijalan ataukah dia digebukin perampok. Namun itu tidaklah mungkin. Karena yang kutahu. Erland bukan manusia bodoh yang mati-matian mempertahankan harta sedangkan nyawanya terancam. Dan setiap kutanya dia

  • KALI KEDUA   BAB 11

    Sudah 3 hari dia tak terlihat keluar kamar. Hanya Antony yang selalu terlihat keluar masuk kamarnya. Aku sendiri hanya bisa melihat betapa sibuknya Antony tanpa bisa membantu apapun. Beberapa kali bertanya bagaimana keaadan suamiku tanpa mendekatinya. Katanya tuan muda sudah lumayan pulih. Aku bersyukur dan sedikit lega. Setidaknya dia baik-baik saja. "Nona,apa anda sedang sibuk?" Tanya Antony pagi ini saat aku tengah menyiapkan bekal di dapur. "Bisa iya dan bisa juga tidak. Ada apa?" Jawabku balik bertanya. "Bisakah anda membujuk tuan muda agar memeriksakan diri di rumah sakit." "Antony, bukankah kamu tahu kalau tuan mudamu begitu membenciku?" "Aku mohon nona. Tuan muda sangat keras kepala. Sedangkan luka sabetannya cukup serius." "Luka sabetan? Maksud kamu luka sabetan pedang?" "Ah tidak. Aku kelepasan." Lirihnya menangkupkan tangan di wajah letihnya. "Antony,aku tidak akan membujuk tuanmu jika kamu tidak

  • KALI KEDUA   BAB 12

    Seminggu semenjak kejadian itu. Aku memutuskan untuk keluar dari sekolah tempatku mengajar. Dan memilih untuk bekerja meneliti naskah di museum tengah kota. Para siswa menangis saat aku berpamitan. Bahkan ada yang mogok tak mau pulang. Hingga aku harus membujuknya supaya kembali ceria. Bahkan Ferra bilang dia yang merasa terzholimi karena aku tak pernah mengatakan apapun selama ini dan tiba-tiba memutuskan untuk resign."Maafkan aku." Ucapku tulus pada Ferra yang tak hentinya mengeluarkan airmata. Kami duduk di samping kelas. Hanya tinggal kami berdua yang berada di sekolah."Kamu tega banget deh. Ninggalin aku tiba-tiba." Ucapnya sambil mengguncang bahuku."Sebenarnya ini sudah kupikirkan sejak awal tahun. Hanya saja baru sekarang terlaksana. Karena aku ingin memperdalam passionku." Jelasku padanya agar dia tak berpikir yang aneh-aneh."Kamu yakin itu alasannya? Bukan karena hal lain?" Tanyaya curiga. Kuhembuskan napasku dengan berat."Ya te

  • KALI KEDUA   BAB 13

    Setalah mama,papa dan kak Hilma pamit. Aku segera membereskan rumah. Menyapu dan mengepel lantai. Sedangkan pria sedingin es membantu membersihkan dapur dan peralatan makan. Dia begitu cekatan membilas piring dan menaruhnya di rak. Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri berusaha mengusir penat. Tanganku terasa kebas dan linu. PRAK Tanganku tak sengaja menyenggol Vas bunga. Serpihan kaca bening itu berserakan di lantai. Aku memungutnya namun tangan dan kakiku tanpa sengaja menginjak serpihan kecil yang tak terlihat. "Auh." Aku mengaduh. Rasa perih menjalar di jari serta telapak kaki. Hingga bercak darah menempel di lantai. "Astaga. Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya pabik seraya memegang tanganku. "Iya biar kubereskan dulu." "Biar aku saja." Cegahnya. Ditangannya sudah ada sekop dan sapu. Aku berjinjit menuju sofa. Namun rasa perih semakin menjalar. Sakit sekali. Lalu kedua tangan kekar itu dengan sigap menggendongku. K

  • KALI KEDUA   BAB 14

    Aku mencuci pakaian dan bedcover yang telah terpakai. Agar dirumah baru nanti pekerjaanku tidak terlalu banyak. Ditempat menjemur pakaian kulihat Erland sibuk di dapur. Seperti biasa dia membuat sarapan sebelum ke kantor. Aku memandang wajahnya. Tangannya berkali-kali mengusap keringat. Tak kupungkiri wajah tampannya."Ketampanannya bertambah jika sedang memegang spatula begitu." Pujiku. "Namun sayang sebentar lagi akan menjadi mantan. Mantan terindah." Imbuhku lalu kugelengkan kepala. Bahaya jika diteruskan bisa diabetes.Masuk kedalam kamar. Aku mengepack pakaian,make up dan sepatu ke dalam koper sedangkan buku-buku sudah terlebih dulu di kirimkan kesana oleh Erland. Kutinggalkan gaun-gaun pesta. Aku sudah tidak begitu membutuhkannya nanti. Biarlah menjadi urusan Erland. Mau dibuang atau disumbangkan."Tinggalkan beberapa pakaianmu." Pintanya. Aku berbalik menatapnya heran."Kenapa?""Aku hanya memberitahu mama dan p

Bab terbaru

  • KALI KEDUA   BAB 22

    Tubuhku gemetar... Erland mendekatkan tubuhnya sedangkan aku memundurkan tubuhku. Dia tersenyum namun lima detik kemudian dia mendekatkan wajahnya. Dan CUP. Satu kecupan berhasil dicurinya dariku. Kucoba untuk bangkit. Namun tangannya berhasil menahanku. Sekali lagi dia mendekatkan wajahnya. Seketika aroma mint berembus menerpa wajahku. Getaran di dadaku semakin bertalu. Tanpa sadar kupejamkan mataku. Hingga hembusan napasnya terasa sangat dekat. "Kau sangat cantik istriku." Bisiknya. Aku membuka mata dan terlihat senyuman manis itu di depan mataku. Kupalingkan wajah ke kanan. Namun hembusan napasnya terasa di leher. "Aku menginginkanmu sayang." Lirihnya. Bulu kudukku terasa meremang bahkan aliran darahku terasa cepat. "Apa yang kau inginkan?" Tanyaku polos. "Hakku. Yaitu tubuhmu." "Ja-jangan!" "Kenapa? Bukankah kita sudah terlalu lama menunggu moment malam pertama ini setelah tertunda berbulan

  • KALI KEDUA   BAB 21

    Sebulan setelah kejadian itu ayah dan ibu kembali ke rumah. Keadaan ibu mulai berangsur membaik walaupun tatapannya masih sedikit kosong. Ayah tak pernah meninggalkan ibu sejenak pun. Hingga malam itu ibu memintaku datang ke kamarnya. Ibu menangis memelukku begitu pula aku. Bagaimanapun beliau adalah seseorang yang sangat berarti dalam hidupku."Ada rahasia yang harus kamu ketahui nak. Tapi ibu mohon jangan potong cerita ibu hingga selesai.""Baik bu. Aku akan mendengarkan baik-baik.""Malam senin 27 tahun yang lalu. Ibu menemukan seorang bayi perempuan cantik di depan gubuk kami. Saat itu ayah kamu pulang setelah mengairi sawah terkejut melihat ibu sudah menggendong bayi merah. Ayah meminta ibu untuk menyerahkan bayi itu pada perangkat desa. Namun ibu bergeming. Hati ibu tertaut pada bayi mungil itu." Ibu berhenti lantas menarik napas sejenak."Lima tahun kemudian,tuan Rasendria datang ke rumah ini untuk membawamu pergi. Namun ibu lagi dan lagi mem

  • KALI KEDUA   BAB 20

    Pikiranku begitu buntu mendengar bahwa orang tuaku di jemput oleh orang yang tak dikenal. Aku masuk ke dalam rumah dan mencoba mencari petunjuk. Namun tak kutemukan sedikitpun. Aku hanya bisa manangis dan menghibur diriku sendiri agar tenang. Namun tak bisa. Hingga suara handphone menyadarkanku agar lekas menghubungi pihak berwajib. Tapi saat aku memencet tombol dial. Nomor tak dikenal terpampang dilayar 5.5 inch ditanganku."Hallo..." Ucapku tak sabar. Aku yakin jika dilah yang membawa ayah dan ibu."Bagaimana kejutan dariku?" Ucap seseoramg di seberang sana. Aku sangat mengenal suaranya."Dimana ayah dan ibuku jalang." Tanyaku sarkas."Tentu saja di tempat yang...ra-ha-sia." Sahutnya tertawa."Ini tidak lucu. Cepat katakan dimana ayah dan ibuku?""Tentu saja aku tidak mau.""Lalu apa maumu?""Oh malangnya. Apa kau mau mengabulkannya jika tau apa mauku?""Ya. Apa maumu dan jangan sakiti ayah dan ibuku!""Tentu sa

  • KALI KEDUA   BAB 19

    Berada dalam pelukannya hanya membuatku merasa sesak. Tak sepicing pun mataku terpejam. Semua rasa terasa menguap begitu saja. Aku ingin menyelami dasar hatinya. Namun aku pun tersedak rasa dari ombak perasaanku sendiri. Hembusan napasnya jelas terasa di tengkuk ku. Begitu teratur dan nyaman mungkin dia sudah terlelap dalam mimpi indahnya.Kuelus lengannya dengan lembut. Dan menggumamkan kata maaf. Dan aku tersentak saat tangan itu bergerak membalikkan tubuhku mengahadapnya. Ternyata dia belum tidur. Dia tersenyum."Kau belum tidur?" Dia bertanya seraya menyinkirkan anak rambutku yang berkeliaran di wajahku."Belum. Aku tidak bisa tidur." Sahutku menatap manik matanya yang cobalt."Jangan terlalu dipikirkan. Apapaun pilihanmu aku akan mengabulkannya." Yakinnya."Lalu kenapa kau masih mengenakan cincin?" Tanyaku menunjuk jari manisnya."Ah ya. Selama dua tahun aku tak pernah melepasnya. Jadi boleh aku menggunakannya sampai selesai persi

  • KALI KEDUA   BAB 18

    Seminggu telah berlalu. Radit dan Michael sangat membantuku di laboratorium. Mengarahkan ini dan itu. Aku merasa sangat terbantu berkat mereka. Bahkan Radit sempat ngotot ingin mengantarku dan menjemputku namun Mike selalu mengingatkannya agar tak menggangguku apalagi mencampuri urusanku. "Menurutlah padaku Dit sebelum kau jadi daging cincang. Kau ingat betapa mengerikannya pria itu jika marah?" Mike berkata datar pada Radit yang disambut kekehan. "Ya,ya. Apa salahnya mengantarnya pulang atau menjemputnya? Toh dia juga sepupu kita." Bantah Radit kemudian "Tapi tindakanmu sangat lancang." Mike menoyor kepala Radit gemas. "Ah tidak apa-apa aku pulang sendiri saja." Segera kusudahi perdebatan mereka. "Apa Kak Erland tinggal bersamamu?" "Tidak. Aku tinggal sendirian. Tapi sewaktu-waktu Erland mampir." "Wah jadi benar rumor itu? Kalau begitu kapan-kapan kami boleh main kan? Aku ingin bertemu Kak Erland." Rumor apa? Tan

  • KALI KEDUA   BAB 17

    Setelah kepergian Antony,hanya dua wanita itu yang terlihat sibuk menata barang-barangku. Aku berkeliling melihat satu persatu ruangan. Rumah ini lebih kecil dari rumah sebelumnya. Hanya ada dua kamar,ruang tamu,ruang keluarga dan dapur. Di belakang rumah ada taman kecil dan kolan ikan. Sepertinya aku memang tidak butuh pelayan. Erland berlebihan sekali. "Ada yang bisa kami kerjakan lagi nona?" Tawar salah satu yang terlihat lebih tua. "Tidak. Duduklah. Kita belum sempat berkenalan." Kupersilahkan mereka duduk. "Baik nona." Mereka malah duduk di lantai. Aku terkejut. "Di kursi saja. Lantainya sangat dingin." "Maaf nona. Tidak apa-apa kami sudah biasa." "Jangan dibiasakan jika dirumahku. Aku ingin kalian nyaman disini." "Baik nona. Terima kasih." Lalu keduanya dusuk diatas kursi. "Siapa nama kalian?" Tanyku seraya memandang keduanya bergantian. "Nama saya Fitri dan dia adik saya Nia nona Maudy." Fitri

  • KALI KEDUA   BAB 16

    "Dy...Maudy." Panggilan itu samar namun semakin jelas. Lalu kemudian samar lagi."Sadarlah!" Kurasakan dia menepuk pelan pipiku. Lalu menggendongnya ke kamar. Ingin kubuka mataku namun seperti di olesi lem. Sangat lengket.Sepertinya aku tidak sadarkan diri tadi. Tubuhku lemas dan tak bertenaga. Aku hanya bisa mendengar suara grasak grusuk tanpa bisa melihatnya. Hingga sebuah benda dingin menekan dadaku. Dan aroma minyak kayu putih semakin kuat menusuk indra penciumanku.Saat tersadar aku melihat ruangan serba putih. Hingga mataku menangkap sosok pria yang tengah tertidur dipinggir ranjang. Wajahnya yang tenang terlihat sangat lelah. Sedangkan di samping tanganku selang infus menjuntai hingga menancap di pergelangan tangan kiriku.Kuelus rambutnya yang hitam kecoklatan. Setelah beberapa bulan tak menyentuhnya. Kini aku bisa mengelus rambutnya bahkan pipinya."Maafkan aku sudah merepotkanmu. Harusnya aku pindah hari ini." Lirihku cairan

  • KALI KEDUA   BAB 15

    TOK TOK TOK Suara pintu di ketuk. Aku membereskan peralatan makan. Dan segera menuju pintu. Saat pintu terkuak. Seraut wajah laki-laki sebaya nan berwibawa itu muncul. Wajahnya sangat mirip dengan Vanya. Paman Andreas. Aku menundukkan kepala. "Paman?" Sapaku seraya menunduk menjabat tangannya. Namun dia mengibaskan tangan seperti jijik. Aku melihat ke belakangnya. "Aku hanya mampir sebentar. Jadi hanya sendiri." Beliau menjawab seolah tau apa yang ada di kepalaku. Aku pun mengangguk. Pertanda mengerti. "Silahkan duduk Paman." Kupersilan beliau duduk. Aku pun menyusul beliau duduk sedikit jauh. "Maaf,ada yang bisa Maudy bantu Paman?" Tanyaku hati-hati. Karena beliau hanya diam tanpa bicara. "Sebenarnya aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Karena tanpa kuminta kau mau melepaskan diri dari Erland." DEG. Jantungku berdetak lebih cepat. Apa maksud beliau. Apakah Erland sudah memberitahunya? Sedangkan

  • KALI KEDUA   BAB 14

    Aku mencuci pakaian dan bedcover yang telah terpakai. Agar dirumah baru nanti pekerjaanku tidak terlalu banyak. Ditempat menjemur pakaian kulihat Erland sibuk di dapur. Seperti biasa dia membuat sarapan sebelum ke kantor. Aku memandang wajahnya. Tangannya berkali-kali mengusap keringat. Tak kupungkiri wajah tampannya."Ketampanannya bertambah jika sedang memegang spatula begitu." Pujiku. "Namun sayang sebentar lagi akan menjadi mantan. Mantan terindah." Imbuhku lalu kugelengkan kepala. Bahaya jika diteruskan bisa diabetes.Masuk kedalam kamar. Aku mengepack pakaian,make up dan sepatu ke dalam koper sedangkan buku-buku sudah terlebih dulu di kirimkan kesana oleh Erland. Kutinggalkan gaun-gaun pesta. Aku sudah tidak begitu membutuhkannya nanti. Biarlah menjadi urusan Erland. Mau dibuang atau disumbangkan."Tinggalkan beberapa pakaianmu." Pintanya. Aku berbalik menatapnya heran."Kenapa?""Aku hanya memberitahu mama dan p

DMCA.com Protection Status