"Iya, sebagai neneknya, saya tidak setuju jika Lily harus diasuh oleh ibu tiri nantinya. Apalagi warisan Lily itu nggak sedikit dari ibunya," lanjut wanita itu. "Maaf Bu, tapi saya tulus menyayangi Lily, tidak ada sedikitpun pikiran tentang warisan Lily, bahkan saya tidak pernah tahu tentang hal itu," jelas Mbak Nisa. "Maaf, saya sedang tidak berbicara dengan Anda!" hardik wanita itu. "Sekarang kamu pilih, Lily atau dia?" tunjuk wanita itu pada Mbak Nisa. "Maksudnya apa Bu?" tanya Mas Ivan. "Ya kamu pilih … jika kamu mau hidup dengan Lily, maka tinggalkan perempuan ini! Jika kamu tetap nekad menikahi perempuan ini, maka Lily akan saya bawa, dan saya pastikan kamu tidak akan bisa melihatnya seumur hidup kamu!""Kenapa harus memberi Ivan pilihan seperti itu, Bu? Saya ayahnya Lily, saya lebih berhak dengan Lily.""Kamu memang ayahnya Lily tapi kalau kamu menikah lagi, otomatis Lily akan punya Ibu tiri. Saya nggak mau cucu saya dirawat oleh ibu tiri. Ibu yakin, perempuan ini hanya ing
"Iya! Jalur hukum, agar kalian mendapatkan jawaban yang puas!"Mantan mertua Mas Ivan terlihat saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan."Mbak Nisa yang sabar ya, mereka sepertinya nggak pernah makan bangku sekolah," ucap Riska."Bukan bangku sekolah, tapi gendeng sekolah," sanggah Tristan."Kami akan biarkan kamu merawat Lily, asalkan kamu berikan dulu uang warisan Lily, saya tidak mau jerih payah anak saya jatuh sama perempuan itu!" "Astaga, Bapak waktu pembagian urat malu nggak hadir ya?" tanya Riska."Kamu siapa? Kenapa ikut campur urusan kami?""Saya? Nggak penting siapa saya! Saya yang dari tadi dengar kemauan kalian aja sudah rasanya gerah! Nggak malu apa kalian meminta warisan cucu kalian sendiri? Bukannya ikut merawat malah ribut soal warisan!" geram Riska."Tiga hari lagi, datang ke kantor saya. Saya akan beri dua kali lipat dari uang warisan Lily, tapi dengan syarat, kalian tidak akan pernah lagi mengusik kehidupan Lily," ucap suamiku lantang."Du—a kali lipat?""I
"Wiiiih, cewek tomboy kalau pakai gaun cantik juga ya," ucap Tristan pada Riska. Mata Tristan terus memandang Riska dari atas ke bawah tanpa berkedip. Riska memakai gaun model duyung berwarna peach dan riasan tipis tapi membuatnya sangat berbeda. Memang baru kali ini dia memakai gaun, biasanya hanya celana jeans dan kaos. "Baru sadar kamu?!" tanya Riska ketus. "Iya," jawab Tristan. "Kalau kamu kaya gini bisa-bisa bikin aku nggak bisa tidur." "Jelas lah, kamu pasti akan selalu terbayang wajah cantikku." "Ha ha ha, siapa bilang yang terbayang wajah cantikmu? Justru aku takut kalau mimpi buruk," sahut Tristan. "Kamu?! Awas kamu ya!" Riska kemudian melepas high heels sebelah kanan yang dipakainya dan mengarahkan ke wajah Tristan. "Duh, baru dibilang cantik sekarang malah berubah jadi nenek sihir. Kabur!" Tristan kemudian berbalik dan berjalan cepat menjauh dari Riska. Sementara Riska bersiap mengejarnya dengan mengangkat gaun yang dipakainya setinggi lutut dan berlari mengejar Trist
"Aku hanya mau menjadi pelangi untuk Riska, sama sepertimu," jawab Tristan. "Jika aku mengajaknya liburan aku tidak yakin dia akan mau, makannya aku butuh bantuanmu atau Kakek." "Kamu harus janji dulu untuk menjaga Riska," pintaku pada Tristan. "Ya ampun Va, apa selama kamu mengenalku, aku pernah berbuat tidak baik? Aku janji Va, akan menjaganya, membawa kembali senyumannya." "Oke, nanti Kakek akan mengaturnya, tapi ingat, jaga Riska baik-baik." "Terimakasih Va, terimakasih Kakek, Tristan janji akan jaga Riska baik-baik," ucap Tristan penuh semangat. *** Hari yang dinanti oleh Tristan akhirnya tiba. Aku dan suamiku mengantar kepergian mereka ke bandara. Bukan cuti yang diberikan oleh suamiku, tapi tugas ke Lombok. "Pak Bambang, kenapa sih harus mengirimku dan Tristan ke Lombok? Memangnya nggak ada yang lain?" protes Riska. "Jadi kamu akan menolak tugas yang saya berikan?" "Bukan begitu Pak, setidaknya kalian semua ikut sekalian liburan, kantor propertinya kan dekat
"Wah, keren. Gimana kalau sekalian dibuat motif batik?" usulnya. Nah, kan ternyata dia sebelas dua belas denganku. Banyakan dia malah.Mulai dari hari itu kami berdua jadi lebih akrab. Seva Lidiya Dewi—nama yang dia perkenalkan untukku. Dia pintar, bahkan sangat pintar. Sekolah saja dia selalu paralel satu. Sayang sekali, kepintarannya tak seimbang dengan kehidupan ekonomi keluarganya. Ayah Seva berprofesi sebagai tukang becak, ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, Seva juga punya satu adik laki-laki bernama Seno.Lulus SMP aku putuskan untuk melanjutkan SMA yang sama dengan Seva. Seva tentu saja dengan jalur beasiswa, beda denganku yang harus lewat jalur umum itupun dengan susah payah. Bukannya aku tidak cerdas tapi aku memberikan kesempatan anak yang lain dulu untuk masuk.Seringkali Seva, hanya berangkat tanpa uang saku. Ketika aku mengajaknya ke kantin sering dia beralasan puasa, masih kenyang, ataupun yang lain. Kalau alasannya bukan puasa, aku akan membelikannya makanan ataupun m
Seva POV"Bi Ratih, tolong jaga anak-anak," perintahku pada Bi Ratih."I—iya Nyonya," jawab Bi Ratih.Gegas aku mengambil tas di kamar kemudian keluar lagi menuju garasi. Aku memilih memakai mobil sportku, dengan harapan kecepatannya bisa lebih cepat.Melihat mobilku akan keluar Pak Satpam buru-buru membuka pintu gerbang untukku.Dengan perasaan kalut, aku memacu kuda besiku dengan kecepatan di atas rata-rata, yang aku ingin hanya satu. Segera sampai ke rumah sakit.Dua puluh menit perjalanan akhirnya aku sampai di rumah sakit. Gegas aku menuju ke ruang ICU, ruang yang tadi sempat disebutkan oleh Pak Agus."Nona Bos," ucap Pak Agus saat bertemu denganku."Dimana suamiku?" "I—itu Nona Bos," jawab Pak Agus. Telunjuk Pak Agus menunjukkan salah satu ruang. Aku mendekatinya dengan perlahan. Aku menutup mulutku begitu melihat suamiku di balik kaca. Disana, suamiku terbaring lemah. Dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya. "Kanda," ucapku lirih."Maaf Nona Bos, ini semua salah Agus,
"Ya sudah, tapi nanti Seva makan ya," pinta Ibu. "Jangan sampai kamu sakit, nanti kalau sakit gimana kamu akan jaga suamimu? Ibu dan Seno ada di luar, kalau ada apa-apa panggil Ibu.Aku tetap bergeming, tak menghiraukan ucapan ibu. Tak ada rasa lapar ataupun haus pada perutku, yang ada hanya rasa sesak di hati ini. ***Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, tapi mata ini sama sekali belum terpejam dan aku juga tak ingin untuk memejamkan mataku. Aku terus memantau keadaan suamiku, tak ingin jika nanti suamiku bangun tapi tak ada aku disampingnya.Hawa dingin semakin menusuk di tulang, aku membenarkan posisi selimut yang menghangatkan tubuh suamiku, aku mengontrolnya dengan mengitari ranjang, jangan sampai ada bagian tubuh suamiku yang merasa kedinginan."Kanda lihat, biasanya Kanda yang memelukku erat, tapi sekarang Kanda tega, membiarkan aku kedinginan. Aku rindu pelukan Kanda, aku rindu …."Kuusap pipi suamiku, kupandangi wajahnya. Wajah yang biasanya polos kini harus terpasang ven
"Dinda … ayo bangun." Ah, itu suara orang yang sangat aku rindukan. Apa itu benar? Dimana suamiku? Kenapa gelap? "Dinda …." Suara suamiku masih saja terdengar di telingaku. "Kanda …," gumamku lirih. Aku mencoba membuka mataku. Aroma alkohol begitu menyeruak di hidungku. Ruangan serba putih yang pertama kali aku lihat. Aku mengedarkan pandanganku. Riska terlihat duduk di sampingku. "Va," panggil Riska. "Suamiku mana Ris," tanyaku. "Tadi suamiku memanggilku." "Va, yang sabar ya," sahut Riska. Aku mencoba untuk bangun tapi kepalaku masih terasa pusing. "Istirahat dulu Va, jangan dipaksa." "Aku mau ke suamiku, Ris." "Tenanglah, ada Tristan dan Ibu yang menjaga suamimu," ucap Riska. "Nggak Ris, aku harus menjaga suamiku. Aku nggak mau disini." "Bu Seva … istirahat dulu ya, pulihkan keadaan Ibu," ucap Dokter Gunawan yang berdiri di samping kananku. "Tidak Dok, aku mau menemani suamiku." Aku terus berusaha untuk bangun. Dengan dibantu oleh Riska akhirnya aku berhasil untuk dud
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa