"Mas Parmin … sudah, jangan seperti ini. Kasihan nanti suamiku … suamiku nanti sedih melihat Mas Parmin seperti ini," ucap Ibu. "Tapi aku belum sempat meminta maaf pada Parjo, Mar. Bahkan sampai akhir hayatnya aku tidak tahu apakah Parjo sudah memaafkan aku atau belum." "Sudah Mas … hari itu sebenarnya bapak mau jenguk Mas Parmin ke penjara, tapi malah jatuh di kamar mandi," sambung Ibu. "Ya Allah Parjo …," seru Pakde Parmin sambil memeluk nisan bapak. Kami semua menatap Pakde Parmin, membiarkannya meluapkan rasa yang selama ini dipendamnya. Penyesalan memang datangnya belakangan, tapi … itu lebih baik daripada tidak sama sekali. "Va, aku belum sempat ke rumah Bude Ratmi nih," ucap Mbak Nisa saat nyusul ke rumah ibu. Mbak Nisa memang tadi sedang keluar kota jadi tadi hanya mengabari lewat telepon saja. "Ya udah, ayo aku antar ke rumah Bude," usulku. "Aku ikut ya," pinta Riska. "Kamu juga belum kesana, Ris?" tanya Mbak Nisa. "Ya belum lah, tadi jagain si kembar. Ngg
[ Va, aku nggak jadi nebeng. Dijemput sama ayang beb ] Riska mengirim pesan saat aku tengah bersiap berangkat kuliah. Tadinya Riska mau ikut berangkat bareng karena kebetulan jadwal kita sama, tapi ya sudahlah biarkan saja Riska menikmati masa kasmarannya.[ Ok ] send."Kanda, Riska nggak jadi ikut," ucapku pada suamiku yang tengah bersiap ke kantor. Ada urusan katanya."Dinda berangkat sendiri?""Iya ….""Oh iya, mobil buat Seno besok datang sama mobil buat Dinda juga.""Aku? Mobil? Kan mobilku masih bagus … sayang kalau ganti," protesku."Loh, yang bilang ganti siapa? Itu mobil buat gonta-ganti Dinda. Memangnya Dinda nggak bosen bawa mobil itu itu terus?" "Nggak lah, aku kan bukan tipe orang yang bosenan.""Benarkah? Apa Dinda tidak bosan dengan Kanda?" lanjut suamiku. Tangannya kini sudah melingkar di perutku. "Dinda cantik sekali hari ini," ucapnya sambil mengusap pipiku dengan lembut."Bawaan bayi jadi lebih cantik," jawabku singkat. Aku menurunkan tangan yang melingkar di perut
"Aku cuma mau kamu Va … mau kamu menerima cinta aku. Udah gitu aja." "Gil* kamu ya?! Bukankah aku sudah bilang kalau aku sudah punya suami dan punya anak?" "Maksudmu suamimu yang sudah tua itu?" tanya Zaky dengan menyunggingkan bibirnya. "Itu kamu tau, seharusnya juga kamu sadar diri." "Ayolah … nggak usah munafik, kamu cuma jadikan dia sugar daddy kan?" Zaky mulai mencibirku. Dikira aku wanita yang hanya mencintai harta suamiku saja. "Kamu salah! Aku tulus mencintai suamiku, aku bahagia bersamanya! Dan kamu … jangan coba-coba menggangguku! Aku akan berteriak kalau kamu tetap berada di depanku!" ancamku pada Zaky. "Ha ha ha, silahkan saja berteriak! Tidak akan ada yang mendengar, semua kelas sudah sepi, dan para bodyguard kamu juga pastinya tidak akan masuk ke dalam kampus kan?" jawab Zaky. "Guys, bawa dia ke gudang!" perintah Zaky. Aku mundur mendengar perintah Zaky pada teman-temannya, namun begitu mundur aku justru menabrak salah satu temannya. Dia mendekapku dari belakang
Braaak!Tiba-tiba pintu didobrak, membuat aku dan Zaky sama-sama terkejut.Para bodyguard langsung menerobos masuk dan berusaha mendekatiku, tapi tangan Zaky ternyata lebih cepat. Dia sudah mengeluarkan pisau kecil yang entah diambilnya dari mana no. Diarahkannya pisau kecil itu pada leherku."Jangan mendekat! Atau pisau ini akan melukainya!" ancam Zaky. Melihat pisau yang diarahkan di leherku seketika para bodyguard yang tadinya maju ke arahku jadi berhenti. Dua bodyguard yang baru masuk langsung siaga dengan mengarahkan pistolnya pada Zaky. "Turunkan senjata kalian!" perintah Zaky.Perintah Zaky tidak diindahkan oleh kedua bodyguard, mereka terus maju ke arahku."Lepaskan dia Zaky," ucap Pak Faisal, wakil dekan yang ternyata juga datang bersama security kampus. "Kamu mahasiswa yang pintar, jangan kamu kotori dengan tindakanmu yang konyol ini.""Aku tidak peduli! Walaupun aku pintar, tapi orang tuaku tidak ada yang bangga padaku! Barangkali kalau aku jahat justru mereka bangga padaku
"Ka Za—ky?" Ulang Riska dengan terbata. Pastinya Riska nggak akan menyangka seorang Zaky bisa melakukan tindakan seperti ini padaku."Permisi Bos, mobil sudah datang," ucap Pak Agus di depan pintu kamar."Oke," jawab suamiku singkat. "Panggil Seno, Gus!""Siap Bos.""Dinda, ayo … itu mobilnya sudah datang," ajak suamiku."Mobil? Mobil siapa? Jadi pengin tau," ucap Riska."Mobil hadiah ulang tahun Seno, Ris," jawabku. "Yuks, lihat bareng-bareng, aku juga penasaran."Akhirnya kita semua keluar dari kamar dan menuju ke teras depan. Terlihat dua buah mobil yang masih ditutup dengan kain warna hitam sudah terparkir di halaman rumah.Seno yang datang dengan menggendong Baby Ar langsung menghampiri kami. Baby Ar yang melihatku langsung mengarahkan tangannya meminta untuk digendong olehku. "Unda," ucap Baby Ar lirih. Tangannya yang mungil langsung melingkar di leherku. Kepalanya disandarkan pada bahuku. Kucium pipinya yang gembul dan kuusap punggungnya. "Tangan Dinda masih sakit, sini biar
Hari ini, tepat tiga minggu lagi akan dilangsungkannya pernikahan Mbak Nisa. Persiapan hampir sembilan puluh persen selesai, itu kata Mbak Nisa. Mbak Nisa dan Mas Ivan sendiri yang mengurus pernikahan impian mereka. "Yah, Tristan dan Andi barusan telepon," ucap Mbak Nisa saat aku dan suamiku tengah bermain bersama anak-anak di depan ruang tv. "Oh ya, ada apa?" "Mereka mau tinggal disini selama menunggu pernikahanku. Boleh nggak?" "Boleh lah, masa nggak, bagaimanapun juga mereka tetap cucuku. Benar kan Dinda?" "Iya, benar." Andi … apa ini saatnya aku bertemu dengan Andi? Batinku. Andi yang dulu pernah menyatakan cinta kepadaku tapi aku menolaknya. Andi, yang ternyata adalah cucu dari suamiku yang sampai saat ini tidak pernah tau kebenaran siapa aku sebenarnya. "Kapan mereka kesini?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Sebentar lagi sampai, tadi mereka telepon sudah di jalan dari bandara." Andi dan Tristan memang selama ini tinggal di Australia. Walaupun orang tua mereka sudah bertind
"Andi ke rumah saudaranya, nggak ikut nginap disini," jawab Tristan. Ada perasaan lega saat mengetahui Andi tidak ikut bersama Tristan, tapi entah kapan saatnya juga aku pasti bertemu dengannya, dan kalau saat itu terjadi aku berharap Andi sudah punya keluarga sendiri. "Seva, aku minta maaf atas perlakuan orang tuaku padamu," ucap Tristan."Aku sudah memaafkannya," jawabku singkat."Terimakasih. Sungguh, aku tidak menyangka orang tuaku bisa bertindak kejam seperti itu.""Sudahlah, lupakan. Aku sudah tidak mau mengingatnya," kilahku."Ternyata memang kamu aslinya lebih cantik daripada yang di foto," ungkap Tristan."Apa kamu sedang menggoda istri Kakek?" tanya suamiku."Ma—maaf Kek, bukan itu maksud Tristan. Tristan tadi di mobil tiba-tiba menerima kiriman foto Seva dari Tante Nisa, tapi setelah melihat foto itu malah Andi menghubungi saudaranya dan memutuskan untuk pulang ke rumah saudaranya," ungkap Tristan.Penjelasan Tristan membuat suamiku tertawa, "Kakek hanya bercanda."Trista
"Sungkem sama aku aja, Mbak," usul si cunguk Riska. Entah dia dapat ide darimana. "Gil* kamu! Sini praktek sungkem sama aku dulu!" sela Tristan. "Idih, emang kamu siapanya aku?! Suruh sungkem segala!" protes Riska. "Hish, kalian bisa diam nggak?!" hardik Mbak Nisa. Seketika Tristan dan Riska diam, tapi tidak dengan matanya. Mereka saling menatap tajam seolah-olah akan memangsa satu sama lain. "Va … boleh nggak, aku pinjam ibumu buat nanti momen sungkem?" pinta Mbak Nisa. "Tapi kalau nggak boleh juga nggak apa-apa," lanjut Mbak Nisa. "Boleh Mbak …," jawabku mantap. "Ibu bagaimana?" "Begini Nak Nisa, Ibu tidak keberatan tapi … apa rasanya nggak aneh?" tanya Ibu. "Daripada sama Seva, malah lebih aneh. Ayolah Bu, katanya sudah anggap Nisa sebagai anak," bujuk Mbak Nisa. "Ada yang mau jelaskan sama aku nggak?" tanya Tristan. "Ah, iya, sampai lupa kalau kamu belum kenalan sama Bu Marni. Beliau adalah ibunya Seva, tapi aku sudah menganggapnya sebagai Ibuku," jelas Mbak Nisa pada
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa